Oleh Ibrahim Arsyad
dari Pantau Gambut

Kerusakan ekosistem gambut di Sumatera Selatan disebabkan oleh tata kelola lahan yang tidak berkelanjutan ditambah dengan alih fungsi lahan serta kebakaran. Dampak buruk yang ditimbulkan bukan hanya merugikan dari segi lingkungan saja, tetapi juga berdampak pada masyarakat.

Desa Lebung Itam, Kecamatan Tulung Selapan, Kabupaten Ogan Komiring Ilir (OKI), memiliki luas kawasan seluas 30.496 Ha, dimana sekitar 84 persennya adalah lahan gambut. Pengelolaan lahan gambut yang kurang baik, yaitu pembukaan lahan dengan dibakar, masuknya perusahaan dan pembuatan kanal yang membuat gambut menjadi kering serta ditambah dengan musim kemarau berkepanjangan menjadikan lokasi ini sering mengalami kebakaran. Berdasarkan analisa Pantau Gambut pada tahun 2015, Desa Lebung Itam mengalami kebakaran di wilayah gambut seluas 1023,58 hektar dan pada tahun 2019 terbakar kembali seluas 892,87 hektar.

Sumber penghasilan utama masyarakat di Desa Lebung Hitam, adalah dari sektor pertanian dan perkebunan karet. Dalam mengelola lahan, masyarakat setempat menggunakan sistem sonor. Harja (57), seorang warga Lebung Hitam, menjelaskan sistem sonor adalah tradisi masyarakat setempat dalam hal menanam padi, yang biasanya dilakukan pada musim kemarau. Dan persiapan lahannya dilakukan dengan cara membakar semak/rumput di atas permukaan lahan gambut. Namun, sejak terbitnya regulasi larangan membakar lahan kini sistem tersebut mulai ditinggalkan.

“Saat ini kami (warga) di Lebung Hitam sangat berhati-hati dalam mengelola lahan, terutama di musim kemarau. Dahulu membersihkan lahan dengan cara dibakar, namun hal itu sudah tidak dilakukan,” katanya beberapa waktu lalu.

Konsesi dan Munculnya Permasalahan Baru

Beberapa perusahaan konsesi yang beroperasi di Desa Lebung Hitam, menghadirkan tantangan tersendiri bagi pengentasan karhutla di daerah tersebut. “Ntah apakah kebetulan atau memang di sengaja. Karena sejak masuknya perusahaan, daerah kami tidak luput dari kebakaran. Umumnya diikuti dengan aktivitas pembukaan lahan dan penanaman,” imbuh Harja. Berdasarkan peta Desa Lebung Hitam, terdapat dua perusahaan konsesi yang beroperasi di daerah ini atas nama PT. Bumi Mekar Hijau (BHM) dengan luasan mencapai 22.843 Ha, dan PT. Bintang Harapan Palma (BHP) seluas 4.773 Ha.

Menurut Yogi Surya Prayoga, peneliti dari WALHI Sumatera Selatan, hak guna usaha (HGU) yang diberikan kepada PT BHP justru merupakan kawasan dengan kedalaman gambut melebihi 3 meter. Padahal berdasarkan aturan yang berlaku, gambut dalam tidak boleh diusahakan sebagaimana penjelasan dari PP Nomor 57 Tahun 2016 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Ekosistem Gambut.

Yogi menambahkan, ada permasalahan lain dari munculnya perkebunan dan sekat kanal. “Dampak lain, adanya kanalisasi ini juga menjadi masalah karena sumber air mudah habis sehingga ekosistem dan biota air banyak punah,” jelasnya.

Lanjutnya, dampak dari tingginya aktivitas perkebunan dan hilangnya lahan serapan (gambut), membuat dampak perubahan iklim sangat terasa bagi masyarakat. Selain cuaca yang tidak menentu, musim kemarau sekarang bisa hadir lebih awal seperti Maret, April dan Mei yang sebelumnya jatuh di bulan Juli atau Agustus.

Ia menilai, cuaca yang tidak menentu berpengaruh pada pertanian warga khususnya di Desa Lebung Hitam. Seperti tanaman karet warga banyak yang mati, dengan kondisi daun mengering dan batangnya dipenuhi jamur.

“Beberapa alasan di atas, membuat masyarakat di sana menolak keras hadirnya perusahaan perkebunan yang lebih banyak menuai permasalahan ketimbang kesejahteraan,” kata Yogi.

Sanksi bagi Perusahaan yang Melanggar

Dalam kesempatan terpisah Kepala Dinas Lingkungan Hidup Kabupaten OKI, Alamsyah, mengatakan dalam aktivitasnya perusahaan perkebunan kelapa sawit umumnya membangun dua kanal. Ada kanal untuk kebun, dan ada kanal Karhutla atau sekat bakar.

“Untuk Karhutla ini umumnya ada sekat, kalau kemarau ditutup supaya air tertahan sehingga tinggi muka air itu stabil di angka 30 atau 40 cm kalau musim hujan dibuka. Rata-rata mereka sudah menerapkan karena semua punya kepentingan dan takut juga mereka lahan mereka terbakar,” ungkapnya.

Selanjutnya, Alamsyah juga mengungkapkan, terkait sanksi terhadap perusahaan dimana rata-rata perusahaan di OKI, pernah diberikan sanksi akibat karhutla. Saksi yang lazim diberikan adalah berupa sanksi administrasi oleh Dinas Lingkungan Hidup (LH) Provinsi dan juga Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK).

Ia menguraikan, dalam sanksi administrasi, jika perusahaan tidak mengikuti aturan seperti  harus memiliki sekat kanal dalam jumlah tertentu, kemudian harus adanya embung, termasuk menara api, serta infrastruktur pendukung untuk pengawasan, maka pihak perusahaan diberi waktu untuk memenuhinya. Jika hingga waktu yang ditentukan tidak juga direalisasikan, maka sanksi ditingkatkan jadi pembekuan.

"Pada masa sanksi pembekuan izin, perusahaan dilarang beraktivitas apapun hingga waktu tertentu. Jika pihak perusahaan masih juga tidak melaksanakan ketentuan di atas, maka rekomendasi pencabutan izin. Pengawasan terus kami lakukan, baik persemester dan pertahun," katanya.

Masyarakat Sebagai Korban

Sementara, Direktur Walhi Sumsel, M Hairul Sobri mengidentifikasi perusahaan kelapa sawit di daerah ini sebagai penyumbang kerusakan ekologi. Perusahaan ini dinilai rakus terhadap lahan dimana sebagian besar lahan gambut yang berfungsi sebagai penyerap dan penyimpan karbon rusak dan dialihkan menjadi perkebunan sawit.

Di sisi lain, persoalan yang timbul dari masifnya perusahaan perkebunan adalah berubahnya tatanan sosial, budaya, dan ekonomi di masyarakat sehingga banyak menyebabkan konflik kepentingan baik antara warga, warga dengan pemerintah dan juga warga dengan perusahaan itu sendiri.

“Ironisnya, dalam penyelesaian hukum terhadap perusahaan yang bermasalah lemah. Banyak kasus di mana warga menjadi kambing hitamnya. Sebagai contoh kebakaran hutan dan lahan. Selama ini, warga selalu menjadi sasaran pertama dan utama,” katanya.

Seiring perjalanan waktu, komitmen pemerintah dalam menangani Karhutla dinilai Hairul Sobri, masih jauh dari harapan. Pemerintah dinilai masih berat sebelah dalam menangani kasus ini. .

“Akibatnya, masyarakat lokal dan adat dikriminalisasi dan diberi label negatif sebagai perusak lingkungan,” jelasnya.

Dukung Kami

Bagikan informasi ini kepada keluarga dan teman-temanmu.