Melihat Lingkaran Konflik Perkebunan Kelapa Sawit di Kalteng
Oleh Dimas N. HartonoTahun ini, Subeli (40) tahun dan warga Desa Muning Dalam, Kecamatan Daha Selatan, Kabupaten Hulu Sungai Selatan, Kalsel, harus memendam kecewa. Kemarau yang biasanya panjang dan bisa diterka seperti sebelum-sebelumnya tak berlangsung seperti yang mereka harapkan.
Subeli tak mengetahui penyebab perubahan musim yang kini sering terjadi di desanya yang tanah-tanahnya berupa rawa dan gambut itu. Dulu, puluhan tahun silam, dari sang kakek yang telah tiada, Subeli belajar membaca perubahan musim. Sesuatu yang sangat penting baginya dan warga desa. Karena dengan mengetahui hal itu, ia dan warga bisa mengatur ritme mata pencaharian, sehingga ekonomi keluarga bisa terjaga.
Kali ini kemarau hanya berlangsung kurang dari tiga bulan. Itu pun lebih sering diselingi hujan yang berlangsung tak merata. Di desanya yang harus ditempuh menggunakan perahu kecil bermesin –- satu-satunya alat transportasi yang bisa digunakan untuk mencapai kampung -- dan memerlukan waktu lebih dari tiga jam dari ibu kota kecamatan itu, hujan bersifat lokal. Akibatnya, parit-parit berukuran besar dan panjang di seberang kampung tak terisi penuh. Sebagian dari parit-parit itu malah kering sebelum waktunya. “Kami menduga, perubahan musim ini ada hubungannya dengan pembukaan lahan perkebunan sawit yang kini mengepung desa kami,” ujar Subeli.
Padahal dari parit-parit itulah sebagian besar warga desa menggantungkan nasib. Di parit-parit itu tinggal beragam jenis ikan, dari gabus (dalam bahasa lokal biasa disebut Haruan), betok, sepat, dan lele tinggal. Pada musim hujan dan air sungai sedang pasang, parit-parit itu bisa tenggelam. Kala musim hujan dan air sungai tinggi itulah Desa Muning Dalam dan desa-desa lain di sekitarnya tampil bak film ‘Waterworld’ yang dibintangi Kevin Costner yang terkenal pada era 1990-an itu.
Lalu ketika musim kemarau panjang tiba, parit-parit yang dimiliki warga dan dikelola bersama keluarga masing-masing itu mengering. Saat itulah ikan-ikan yang sebelumnya bebas berenang kemudian terjebak di parit-parit. Setelah beberapa bulan dibiarkan, pada waktu yang telah ditentukan, warga kemudian memanen ikan-ikan itu.
Panen dilakukan secara gotong-royong dan bergantian. Jika satu warga telah selesai, ia berkewajiban membantu warga lain yang akan memanen ikan. Tradisi yang diakhiri dengan memasak nasi dan membakar ikan lalu disantap bersama ini sudah berlangsung sejak nenek moyang warga yang mendiami Desa Muning Dalam dan desa-desa lainnya di Kabupaten Hulu Sungai Selatan.
Sebelum hasil panen dibawa ke rumah pemilik parit, sebagian ikan-ikan dibagi untuk warga yang membantu. Jumlahnya kadang cukup besar, sesuai hasil panen. Sekali panen dari satu parit hasilnya cukup besar. Bisa mencapai 150 kilogram. Atau ketika hasil panen kecil, jumlahnya tetap bisa mencapai di atas 50 kilogram per parit.
Harga ikan hasil panen cukup bagus. Kala hasil panen melimpah misalnya, harga 1 kilogram ikan gabus di tingkat desa bisa mencapai Rp 80.000,- hingga Rp 100.000,-. Itu harga yang menarik bagi warga desa. Jika dikalikan hasil panen sebanyak 100 kilogram saja dengan harga per kilonya Rp 100.000,- warga bisa meraup penghasilan sebesar Rp10 juta. Itu untuk hasil satu parit saja. Biasanya satu warga atau keluarga memiliki lebih dari lima parit berisi ikan.
Untuk menjual hasil panen, warga tak perlu jauh meninggalkan desa. Karena justru para pembeli yang datang ke desa-desa. Mereka langsung menawar harga, membeli, dan membawa ikan-ikan itu keluar desa. Kemudian ikan-ikan hasil panen warga itu dijual ke berbagai tempat, bahkan hingga ke ibukota Provinsi Kalsel di Banjarmasin. Di Banjarmasin dan wilayah lain di Kalsel, ikan gabus menjadi lauk utama bagi makanan-makanan tradisional dan khas orang Banjar. Ikan gabus misalnya menjadi lauk di nasi-nasi kuning, lontong sayur, dan ketupat Kandangan.
Namun, tahun ini semua itu tak lagi terjadi. “Tak hanya tahun ini panen ikan gagal. Dua tahun ini kami tak lagi bisa memanen ikan dari parit-parit. Musim kemaraunya berlangsung sangat pendek. Bahkan sampai sekarang hujan masih sering terjadi. Akibatnya ikan-ikan tak sempat besar di parit-parit. Saat ini kami hanya menggantungkan mata pencaharian dari menjual kayu-kayu galam (kayu berukuran kecil yang banyak tumbuh di kawasan rawa) untuk kebutuhan kayu bakar,” ujar Mang Arfan, salah satu warga Desa Muning Dalam.
Karena keadaan yang tak menguntungkan sedang berlangsung di desa, Subeli bersama beberapa warga terpaksa meninggalkan kampung. Mereka kini mencoba peruntungan dengan menyewa beberapa meter lahan untuk berkebun di Banjarbaru, kota yang cukup jauh dari desa mereka. Di Banjarbaru mereka menanam ubi khas Hulu Sungai Selatan yang bisa disebut gumbili Nagara.
Namun, berkebun jauh dari kampung halaman jadi masalah baru bagi warga Desa Muning Dalam. Selain karakter tanah yang berbeda, mereka juga kesulitan dana untuk membayar sewa lahan. “Namun, namanya mencari nafkah untuk anak, istri, dan keluarga, kami terpaksa meninggalkan kampung. Mudah-mudahan dalam waktu dekat kami mendapat pinjaman dana dari orang-orang yang berkenan membantu, sehingga bisa bayar sewa lahan,” ujar Subeli.
Penulis adalah jurnalis - kontributor Pantau Gambut Kalimantan Selatan.