Ada Asap, Ada ISPA
Oleh ZamzamiHUJAN yang terus mendera sebagian besar Kalsel pada akhir tahun –bahkan diperkirakan hujan terus terjadi hingga Februari atau Maret tahun depan—relatif mendatangkan “keberutungan’. Banjir di berbagai wilayah Kalsel memang terjadi dalam berbagai skala. Namun datangnya hujan membuat kemarau panjang tak terjadi. Kemarau basah yang berlangsung setidaknya membuat bencana kabut asap seperti yang terjadi pada tahun 2015 hingaa 2020 tak lagi terjadi.
HAL ini setidaknya memberi catatan penting. Bisa jadi kebakaran hutan, juga lahan, tak terjadi secara masif ditahun ini karena disebabkan oleh intesitas hujan yang memang berlangsung tinggi. Jadi bukan hanya disebabkan oleh program Badan Restorasi Gambut atau BRG, lembaga yang dibentuk Presiden Joko Widodo untuk menangani ekosistem rawa gambut di beberapa provinsi–, termasuk Kalsel, memang berjalan sebagaimana mestinya.
Selain itu, di balik berbagai program BRG yang dibentuk pada 6 Januari 2016 melalui Peraturan Presiden Nomor 1 Tahun 2016 tentang Badan Restorasi Gambut itu terdapat juga peran penting kearifan lokal Urang Banjar di Kalsel. Karena memang dalam catatan beberapa peneliti, suku Banjar adalah penakluk lahan rawa gambut yang hampir tiada tanding dan tiada banding. Orang Banjar tak hanya berhenti sampai menaklukkan lahan rawa gambut dengan karakteristik tanah yang bisa jadi hampir tak bisa ditanami apa-apa karena tingkat keasaman yang tinggi dan berbagai persoalan lainnya.
Di tangan orang Banjar, kawasan ekosistem rawa gambut tak lagi hanya menyimpan kisah duka atau Kawasan terlantar. Salah satu kawasan yang menunjukkan suksesnya orang Banjar menaklukkan dan memanfaatkan rawa gambut adalah di kawasan Nagara, Hulu Sungai Selatan. Kawasan ini sudah sangat lama dikenal sebagai penghasil produk pertanian yang bahkan menjadi iconic. Semangka, Gumbili atau Ubi Nagara, Kacang Nagara, dan beragam sayur, menjadi produk utama hasil dari pertanian warga di lahan rawa gambut. Selain itu juga masyarakat Paminggir Kabupaten Hulu Sungai Utara, Banjar, Barito Kuala yang masih hidup dan berkehidupan dengan Kerbau Rawa dan perikanan seperti Haruan (Gabus), Sepat, Papuyu (Betok), Tauman, Saluang, Udang Galah, Patin, Baung, Kalabam, dan Lampam bahkan terkenal juga dengan usaha anyaman purun untuk menjadi tikar, tas, topi dan lainnya.
Selain pertanian di beberapa desa di kawasan ini juga menjadi penghasil hewan ternak (kerbau rawa) yang dagingnya diperdagangkan ke berbagai daerah di dan luar Kalsel. Rumput khas rawa gambut menjadi sumber makanan yang berlimpah bagi kerbau milik warga. Kerbau biasanya digembalakan pemiliknya dan bergerak bebas di rawa. Pergerakan kerbau di rawa juga menyumbang kelestarian lingkungan di kawasan Nagara (HSS) dan Hulu Sungai Utara.
Ekosistem rawa gambut juga menyimpan potensi perikanan yang berlimpah dan menjadi sumber penghidupan. Biasanya ikan tawar yang terdapat di kawasan rawa gambut beragam, dari ikan Saluang, Sepat, Sepat Siam, Haruan (gabus), Papayu, Tauman, Udang Galah, Patin, Baung, Kalabam, dan Lampam. Karena ikan melimpah di daerah ini ketika musim air sedang pasang, ikan ini biasanya diawetkan dengan dijemur menjadi ikan kering atau diasinkan menjadi Iwak Wadi.
Tambak atau kolam ikan di Nagara biasanya berlangsung secara alami sedangkan ikan yang dipelihara adalah ikan patin dan ikan nila. Selama masa panen ikan mereka biasanya warga mampu mendapatkan ikan dalam jumlah banyak. Mereka bahkan mampu menghasilkan uang dari puluhan hingga ratusan juta dari hasil memanen ikan, apalagi saat dimusim kemarau. Kawasan ini melalui proses alami dan saling terkait sebagai penghuni dan sesama pemanfaat ekosistem bahu-membahu memertahankan kelestarian lingkungannya. Di kawasan ini, ekosistem rawa gambut benar-benar menjadi sumber hidup dan sumber kehidupan.
Menjadikan ekosistem rawa gambut sebagai sumber hidup dan kehidupan tentu tak datang dengan sendirinya dan tiba-tiba. Melalui proses sejarah yang panjang masyarakat di berbagai kawasan di Kalsel mengelola rawa gambut dengan kearifan lokal yang sungguh luarbiasa. Kearifan itu bahkan dimulai jauh sebelum lahan gambut digarap dan menjadi pertanian. Ini misalnya nampak dari alat pertanian yang mereka kembangkan. Kemampuan mereka mengembangkan keahlian sebagai pandai besi yang merupakan peninggalan era Majapahit membuat alat pertanian yang dihasilkan sesuai dengan karakter tanah gambut.
Pengggunaan alat pertanian berupa tajak, parang dengan berbagai ukuran, bentuk, dan fungsi, dan menanam varietas pertanian lokal –termasuk padi yang tetap hidup walau tergenang air, sehingga di kawasan ini biasa warga memanen padi dengan menggunakan jukung atau perahu kecil—yang cocok dan mampu berkembang sesuai karakter tanah dan air setempat.
Bahkan dengan kondisi air yang selalu tesedia sepanjang tahun ini juga merupakan augerah Tuhan yang luar biasa untuk manusia hidup dan berkehidupan terutama untuk sektor pangan dan menjadi penyeimbang kelestarian lingkungan dan penyeimbang kerusakan iklim.
Melalui kearifan lokal yang sudah diuji dan teruji zaman ini, masyarakat Banjar yang hidup di ekosistem rawa gambut telah menyumbang banyak hal bagi kelestarian lingkungan. Sebuah peran yang harusnya menjadi “catatan kaki” bagi pelaksanaan restorasi ekosistem rawa gambut di Indonesia. Dan hal ini juga harus menjadi perhatian serius bagi pemerintah untuk tidak mendatangkan investasi yang ekstraktif termasuk perkebunan monokultur skala besar seprti perkebunan kelapa sawit.
Dengan potensi dan kerifan lokal yang dimiliki ini, pemerintah seharusnya memberi apresiasi terhadap masyarakat lokal rawa gambut, salah satunya bisa dalam bentuk pendampingan dan peningkatan ekonomi usaha kerakyatan berdasarkan potensi dan kearifan lokal.
*Penulis ialah Direktur Eksekutif Walhi Kalsel dan Koordinator Simpul Jaringan Pantau Gambut Kalsel
**TULISAN INI SEBELUMNYA DIPUBLIKASIKAN PADA TANGGAL 22 DESEMBER 2020 DI MEDIA CETAK RADAR BANJARMASIN KOLOM OPINI HAL 18 DAN PORTAL MEDIA ONLINE jejakrekam.com**