Oleh Simpul Jaringan Riau
dari PantauGambut.id

Salah satu budaya lokal yang hidup di lingkungan masyarakat perladangan Teluk Meranti adalah penggunaan lahan gambut yang dilakukan dengan cara tebas (tobe tobang) dan berdasarkan arah mata angin, serta waktu berladang yang aman. Sebelum membuka hutan untuk ladang, dilakukan dahulu musyawarah dengan Bomo (dukun khusus ladang) yang bernama Mangkayo Kopa untuk memastikan hutan mana yang boleh dan diizinkan untuk dijadikan lahan perladangan karena hama ladang saat itu adalah makhluk halus penunggu hutan.

Secara geografis, kelurahan Teluk Meranti terletak di bantaran sungai Kampar, yang mana kondisi wilayahnya masih terkena dampak dari air pasang surut sungai Kampar. Daerah ini berjarak ±135 kilometer dari ibukota Kabupaten Pelalawan. Sebelumnya, jalur ini hanya bisa ditempuh dengan menggunakan angkutan sungai seperti speed boat, kapal, dan motor dari Pangkalan Kerinci. Namun, saat ini, wilayah tersebut sudah dapat ditempuh melalui jalan darat.

Wilayah ini memiliki potensi alam yang baik untuk dimanfaatkan sebagai sumber kehidupan masyarakat. Salah satunya adalah potensi wisata yang perlu dikembangkan sehingga dapat meningkatkan taraf hidup dan perekonomian masyarakat, serta meningkatkan sumber pendapatan asli daerah Kabupaten Pelalawan. Dengan berkembangnya objek wisata yang ada, maka peluang angkatan kerja baru, baik dengan datangnya pengembang maupun dari peluang usaha lainnya yang berbasis industri rumah tangga (home industry), dapat lebih terbuka.

Selain itu, ada pula kegiatan budaya yang bisa dijadikan sebagai objek wisata di wilayah ini, seperti silat, tari-tarian, permainan rakyat, dan lainnya. Untuk wisata religi, di wilayah ini juga terdapat makan salah seorang pahlawan daerah yang bergelar Datuk Serapung.

Kearifan Lokal Masyarakat Teluk Meranti

Sekitar tahun 1920, ada kelompok masyarakat di Kampung Osam atau di Pangkalan Panduk yang saat itu masih memercayai kemantan (dukun). Beberapa kemantan dinamakan Kemantan Panjang, Kemantan Gogak, dan Kemantan Peso. Ketiga kemantan tersebut merupakan kakak-beradik yang setiap hari saling adu ilmu. Selain kemantan, di wilayah ini juga terjadi konflik antara manusia dan harimau sehingga hampir setiap hari masyarakat diserang oleh harimau sampai menyebabkan kematian.

Saat itu, masyarakat mulai merasa terancam dan berencana untuk pindah ke Batu Pahat, Malaysia. Namun, dalam perjalanan menyusuri Sungai Kampe (Kampar) dengan menggunakan perahu kemantan, masyarakat melihat daerah Sungai Serkap, Sungai Pebilah, Sungai Turip, dan Sungai Sangar yang berpotensi sebagai sumber perladangan yang bagus. Kemantan pun memutuskan untuk singgah membangun tempat tinggal dan perladangan. Setelah mencoba berladang selama enam bulan, masyarakat melihat hasil padi yang bagus di wilayah gambut dengan kedalaman 3 sampai 20 meter ini sehingga mereka memutuskan untuk tinggal menetap.

Salah satu budaya lokal yang hidup di lingkungan masyarakat perladangan ini adalah terkait penggunaan lahan gambut. Pada masa itu, masyarakat bebas membuka lahan gambut dengan cara tebas (tobe tobang) dan berdasarkan arah mata angin, serta waktu berladang yang aman. Sebelum membuka hutan untuk ladang, dilakukan dahulu musyawarah dengan Bomo (dukun khusus ladang) yang bernama Mangkayo Kopa untuk memastikan hutan mana yang boleh dan diizinkan untuk dijadikan lahan perladangan karena hama ladang saat itu adalah makhluk halus penunggu hutan. Masyarakat yang akan membuka hutan perlu menyiapkan kemenyan, kain putih, kain kuning, kain hitam, inggu, kain merah, taik kuda, taik besi. Hal ini dilakukan sebagai tanda hutan/ lahan itu sudah ada yang punya. Selain itu, dilakukan pula pembacaan mantra oleh Bomo untuk mengusir makhluk halus agar tidak mengganggu ladang. Masyarakat paling banyak menanam dan mengelola ladang padi sekitar lima jalur, kira-kira ukurannya tidak sampai dua hektar. Satu jombo sama dengan 10x10 depa atau 16x16 m. Satu jalur terdiri atas 10 jombo dan 36 jombo sama dengan 1 Ha.

Pembukaan hutan gambut dilakukan dengan melihat arah angin. Angin utara sekitar bulan satu (Januari) menunjukkan saatnya masyarakat menebas dan menebang (tobe tobang). Setelah itu, tanah dibiarkan sekitar tiga bulan agar bekas tebas tebang tadi kering. Lalu, pada angin selatan (sekitar bulan Mei dan Juni), dilakukan pembakaran selama 3 hari dengan menggunakan kemenyan. Setelah api dan asapnya hilang, barulah dilakukan penyemaian padi.

Jenis padi yang ditanam di lahan gambut ini adalah padi aceh, pulut, jambai, cokuh, dan semua padi rawa. Setelah padi disemai, diletakkanlah bermacam-macam kain di ladang masing-masing selama enam bulan sebagai tanda untuk mengusir hama. Selama masa penanaman padi, masyarakat bekerja mencari ikan untuk dibagikan kepada masyarakat setempat, bukan untuk diperjualbelikan. Selama itu pula padi yang ditinggalkan tidak rusak atau diganggu hama.

Setelah memasuki bulan keenam, tahap menuai pun dimulai. Sebagian padi dibawa ke rumah untuk disimpan di petak sebelah rumah (mangkiang, rangkiang). Setelah itu, padi dijemur dan dipisahkan antara sekam dengan beras. Beras kemudian dimasak untuk makan bersama dan doa selamat dilakukan bersama Bomo sebagai ritual membayar utang. Bomo dibayar dengan beras hasil menuai dalam wadah yang terbuat dari tempurung kelapa sebanyak satu gantang. Setelah itu, baru dilakukan panen raya selama satu bulan dengan hasil dari lima jalur yang berjumlah kurang lebih 300 gantang.  

Pada 1960, masyarakat mulai membuka hutan gambut untuk perkebunan karet yang berasal dari biji-biji karet yang ditemukan di pantai-pantai dan di bibir Sungai Serkap. Awalnya, pembukaan hutan untuk kebun karet dimulai dari Teluk Tanah Tebakar sampai ke Tanjung Lombing. Karet baru bisa dideres hingga berumur delapan tahun dengan perawatan tebas belukar yang tumbuh di areal kebun. Pola yang dilakukan dalam membuka hutan karet sama dengan pola yang dilakukan untuk membuka hutan ladang, tetapi tidak menggunakan ritual bayar hutang ke Bomo.

Karet dideres dan diolah setiap hari dengan jenis karet keeping. Satu hektar lahan gambut yang ditanami pohon karet bisa mengahasilkan lima kilogram karet yang saat itu dijual 1 rupiah per kg. Hasil perkebunan karet ini dikumpulkan selama sebulan, baru dijual ke Tanjung Batu. Selain karet, masyarakat di sini juga bertani sayur-sayuran dan membuat minyak goreng sendiri yang dibuat dari bahan buah kayu suntai untuk memenuhi kebutuhan hidup mereka.

Bagi masyarakat Teluk Meranti, alam dan manusia memiliki hubungan yang saling berketergantungan. Ketika alam rusak, rusak pulalah kehidupan sosial ekonomi masyarakat.

Pada zaman dulu, tidak ada perusakan terhadap alam karena masyarakat masih sangat menghargai adat dan budaya. Masyarakat mematuhi larangan untuk membakar hutan, menebang batang sialang, dan bersiul dan berkata kotor saat berladang. Inilah hukum adat yang berlaku saat itu. Aturan adat untuk membuka lahan dengan membuat parit sebelum tobe tobang dilakukan untuk mengalirkan air yang tergenang agar api tidak melebar dan menyebabkan kebakaran. Upacara sekampung yang dinamakan Gawe-gawe diadakan setiap tahun sebelum membuka lahan gambut sebagai lahan produksi. Dalam ritual ini, terdapat struktur lembaga adat yang berfungsi menegakkan hukum adat terkait pembukaan lahan.

Kini, banyak larangan yang dilanggar sehingga berkontribusi terhadap percepatan perubahan iklim yang membuat masyarakat tidak bisa lagi menentukan iklim yang pasti untuk berladang. Terjadinya bencana alam seperti banjir dan longsor pun banyak terjadi karena tidak ada  penopang ketika datangnya hujan besar. Hama dan binatang buas masuk ke area pemukiman warga karena tempat mereka telah habis dirusak manusia. Aturan adat mengenai teknik pembukaan hutan/lahan dalam membuat parit sebelum tobe tobang tidak dilakukan lagi sehingga api lebih mudah menjalar saat terjadi kebakaran. Hukum adat tidak lagi berfungsi karena telah digantikan dengan aturan pemerintah.

Sayangnya, aturan pemerintah yang tidak sesuai dengan kearifan lokal masyarakat Teluk Meranti ini justru menyebabkan menurunnya pendapatan ekonomi masyarakat. Sebelumnya, para petani jagung yang melakukan pembakaran lahan gambut dapat menghasilkan lima sampai tujuh ton jagung di atas lahan seluas dua hektar. Namun, setelah adanya aturan pemerintah yang melarang pembakaran lahan gambut, para petani hanya bisa menghasilkan 180 kilogram jagung di atas tanah seluas dua hektar.

Selain dampak ekonomi, dampak sosial juga terjadi pada masyarakat Teluk Meranti. Banyaknya pengangguran dan lahan yang tidak dikelola mengakibatkan tingginya kriminalitas di wilayah ini. Dalam hal ini, masyarakat sudah melakukan protes kepada pemerintah maupun pihak aparat penegak hukum. Namun, belum ada respon dan solusi dalam meningkatkan perekonomian masyarakat untuk mengelola lahan gambut tanpa bakar. Kini, sawit menjadi komoditas unggulan masyarakat Teluk Meranti karena mereka melihat masyarakat di luar Teluk Meranti memiliki pendapatan yang tinggi dengan kinerja yang lebih mudah dalam penanaman sawit. Masyarakat yang tadinya bergantung pada hasil kebun jagung, kini harus menghadapi masalah perekonomian akibat aturan pemerintah yang melarang pembakaran lahan gambut saat berkebun.

Sejauh ini, pemerintah Kelurahan Teluk Meranti bekerja sama dengan perusahaan dalam membuka lahan gambut tanpa bakar di lahan kelurahan seluas 20 hektar. Proyek ini mulai dikerjakan pada Juni 2016 dengan pembukaan lahan jenis padi kampung menggunakan alat berat dan bantuan insektisida, serta pupuk. Namun, hasilnya masih kurang bagus.

Terkait dengan pencegahan kebakaran hutan dan lahan gambut, perusahaan RAPP berinisiatif untuk menugaskan seorang pemimpin dalam melakukan sosialiasi ke masyarakat. Selain itu, ada juga program tiga bulan PT. Arara di musim kemarau yang dinamakan Patroli Terpadu. Program ini bertujuan untuk memantau, mendeteksi, dan ikut memadamkan titik api dengan melibatkan lima orang masyarakat setempat. Pada 2016, ada juga program dari Kementerian LHK yang melibatkan Manggala Agni, Babinsa, Kepolisian, dan dua orang dari masyarakat untuk melakukan patroli dan sosialisasi.

Adanya program-program tersebut memang meningkatkan kesadaran masyarakat lokal terhadap bahaya kebakaran hutan dan lahan gambut, serta ketakutan masyarakat untuk membuka lahan gambut dengan cara membakar. Namun, masyarakat berharap ada solusi dan alternatif yang bisa membuat masyarakat tetap dapat produktif di lahan gambut tanpa harus membakar lahan.

Dukung Kami

Bagikan informasi ini kepada keluarga dan teman-temanmu.