Oleh Feri Irawan
dari Simpul Jaringan Pantau Gambut

Di tengah upaya pemulihan lingkungan, Presiden Joko Widodo justru menandatangani Omnibus Law atau UU Cipta Kerja. Istilah Omnibus Law sendiri petama kali muncul dalam pidato Jokowi setelah dilantik sebagai Presiden untuk kali kedua.

Menurut catatan Indonesian Center for Environmental Law (ICEL), ada 454 aturan dari 76 Undang-Undang yang disederhanakan demi kemudahan investasi dan alasan penciptaan lapangan pekerjaan. Banyak pasal diubah bahkan dihapus, termasuk UU kehutanan, UU Perkebunan sampai dengan UU Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup.

Sayang, niat Presiden Jokowi menggaet investor lewat omnibus law justru mengancam lingkungan dan keselamatan rakyatnya. Gejolak muncul di berbagai tempat, banyak kalangan menolak bahkan menentang. Ada risiko besar bagi lingkungan di balik efisiensi investasi dan kemudahan berusaha yang ditawarkan oleh UU Omnibus Law Cipta Kerja.

Bahkan kalangan organisasi lingkungan menilai, UU Omnibus Law semacam upaya pemutihan terhadap kejahatan lingkungan yang justru dilakukan pemerintah sendiri.

Omnibus Law secara terang benderang berusaha mempreteli sendi-sendi perlindungan di sektor lingkungan hidup. Banyak pasal-pasal kunci yang dihapus. Izin lingkungan dan kriteria amdal ditiadakan, proses perizinan diperlonggar demi masuknya investasi.

Upaya Pemantauan Lingkungan Hidup (UPL) dan Upaya Pengelolaan Lingkungan Hidup (UKL) sekarang ini tidak lagi diperlukan sebagai bagian dari proses pengambilan keputusan izin penyelenggaraan usaha, seperti yang telah diatur dalam pasal 1 angka 22.

Pasal 1 angka 35 tentang kewajiban industri mendapatkan izin lingkungan juga dihapus dan diubah menjadi persetujuan lingkungan. Keterlibatan pemerintah daerah untuk melakukan pengawasan dan penjatuhan sanksi bagi pelaku kerusakan lingkungan juga dihilangkan.

Meski demikian, Presiden Jokowi tetap mendapat dukungan dari para menterinya dan DPR RI. Mereka kompak menjawab semua tudingan yang dianggap menentang niat Presiden.

Lihat saja keterengan Siti Nurbaya Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan saat konferensi pers, 7 Oktober lalu. Dia secara lugas mengatakan jika UU Cipta Kerja mampu mengatasi sengkarut perizinan di daerah sejak diundangkannya UU Pemerintah Daerah 1999 dan 2004.

Akan tetapi banyak pihak yang tak percaya dan menilai karut marut perizinan sumber daya alam di Indonesia tak akan pernah selesai lewat UU Cipta Kerja ini.

Lalu bagaimana pengaruh UU Cipta Kerja atau omnibus law bagi masyarakat adat dan sumber daya alam, khususnya di Jambi?

Sebenarnya, tanpa adanya omnibus law pun, lingkungan hidup di Jambi telah rusak karena salah urus. Lebih dari 70 persen dari luas gambut di Jambi telah dibebani izin konsesi.

Ribuan kanal membelah kubah gambut dan daerah resapan air yang membuat gambut kering dan rawan terbakar. Sampai saat ini kasus kebakaran hutan dan lahan masih jadi ancaman yang datang setiap tahun. Kerusakan lingkungan juga memicu bencana ekologi di berbagi wilayah.

Ironisnya, pemerintah seakan memberi karpet merah pada para pengusaha untuk mengeruk sumber daya tanpa perlu memerhatikan dampak lingkungannya.

Melemahkan Peran Masyarakat
Omnibus Law telah memangkas partisipatif masyarakat untuk terlibat langsung dalam memutuskan pelaksanaan sebuah proyek. Sementara kita tahu jika masyarakat merupakan pihak pertama dan yang paling dirugikan dari kerusakan lingkungan yang terjadi.

Tetapi yang terjadi sekarang keterlibatan masyarakat untuk mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat justru dikebiri oleh pemerintahnya sendiri.

Hal ini bisa terlihat nyata dengan dihapusnya pasal 36 UU Nomor 32/2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (UUPPLH) yang mewajibkan izin lingkungan sebagai syarat suatu usaha.

Tak berhenti di situ. Penghapusan ini turut berimplikasi pada penghapusan Pasal 38 yang menyatakan bila izin lingkungan dapat dibatalkan melalui keputusan pengadilan tata usaha negara. Imbasnya, hak gugat masyarakat kini hilang.

Dalam penyusunan Amdal, masyarakat yang diizinkan terlibat hanya mereka yang terdampak. Sementara pemerhati lingkungan hidup dan masyarakat yang ikut terpengaruh kini dihilangkan.

Omnibus law juga mengurangi hak atas informasi, serta menghilangkan pasal yang melindungi kearifan lokal masyarakat adat. Kondisi ini membuat khawatir karena akan memicu timbulnya masalah baru.

Dalam kasus karhutla para petani kecil akan semakin mudah untuk dikriminalisasi karena dianggap sebagai penyebab kebakaran akibat budaya merun. Akhirnya muncul masalah pangan akibat para petani tak bisa menggarap lahan.

Bukan hanya itu, omnibus law juga seperti memfasilitasi perusakan hutan. Batasan minimal 30% kawasan hutan terutama di daerah aliran sungai atau pulau juga dihapus.

Pelemahan Hukum

Hal lain yang paling kentara dari dampak buruk omnibus law adalah melemahnya upaya penegakan hukum dalam perlindungan lingkungan hidup. Omnibus law telah menghapus prinsip tanggungjawab mutlak (strict liabilty) untuk para pelaku pencemaran. Ini jelas terlihat dari perubahan Pasal 88 UU Lingkungan Hidup terkait tanggung jawab mutlak bagi perusak lingkungan.

Pada UU Lingkungan Hidup, menyebutkan, setiap orang yang tindakan, usaha, atau kegiatan baik memakai, menghasilkan atau mengelola limbah B3 hingga menimbulkan ancaman serius terhadap lingkungan hidup bertanggung jawab mutlak atas kerugian yang terjadi tanpa perlu pembuktian unsur kesalahan.

Dalam UU Omnibus Law kata “tanpa perlu pembuktian unsur kesalahan” dihilangkan. Padahal kita tahu, selama ini itu yang membuat banyak gugatan negara atau pemerintah menang saat melawan korporasi.

Di sisi lain, pemerintah justru seakan memberikan keringanan sanksi bagi pelaku usaha yang melakukan perusakan lingkungan dengan merubah sanksi pidana menjadi sanksi administratif. Omnibus law juga menghapus kewenangan PTUN membatalkan perizinan, menghapus sanksi pembekuan dan pencabutan izin.

Omnibus Law juga akan kembali menghidupkan aturan penguasaan HGU selama 90 tahun. Padahal sebelumnya, Mahkamah Konstitusi telah membatalkannya karena bertentangan dengan Undang-Undang Dasar 1945.

Melewati Batas

Omnibus law telah menjadikan pemerintah pusat sebagai pemain inti yang bisa mengendalikan seluruh proses perizinan untuk investasi. Akan tetapi ini justru membuat kita semakin khawatir.

Pemerintah tidak akan sanggup untuk memenuhi tuntutan tanggung jawabnya yang sangat besar dengan banyaknya kewenangan yang dimiliki serta luasnya cakupan bidang lingkungan hidup.

Praktik hukum yang terlalu berpihak kepada investasi dan mengabaikan hak masyarakat adat, pada akhirnya justru akan memberi ancaman bagi lingkungan hidup dan masyarakat lokal. Kekayaan alam yang dikeruk dengan begitu masif dan penyingkiran hak hidup masyarakat akan meningkatkan eskalasi konflik.

Melalui UU Omnibus Law pemerintah secara nyata tengah memperparah bencana ekologis bagi kehidupan manusia ke depan. Masyarakat di Jambi benar-benar dalam bahaya.
Kita menyayangkan, pelemahan ekologis justru terjadi di saat kondisi lingkungan di Jambi tengah menghadapi segudang permasalahan serius.

Pemerintah semestinya sadar, bahwa yang perlu dilakukan saat ini adalah komitmen politik yang ramah lingkungan menuju pembangunan lestari dan berkelanjutan. (*)

*Penulis adalah Direktur Perkumpulan Hijau dan Koordinator Simpul Jaringan Pantau Gambut Jambi

**TULISAN INI SEBELUMNYA DIPUBLIKASIKAN DI PORTAL BERITA ONLINE AKSES JAMBI, DETAIL.ID, JAMBERITA, JAMBIONE, METROJAMBI,KENALI, SWARANESIA, IMCNEWS,  DAN  JAMBI-INDEPENDENT PADA 28 DESEMBER 2020**

 

 

Dukung Kami

Bagikan informasi ini kepada keluarga dan teman-temanmu.