Karhutla Kalsel: Di Bawah Bayang-Bayang Pandemi
Oleh Kisworo Dwi CahyonoProgram mitigasi pengurangan kebakaran hutan berbasis lahan yang diperkenalkan LSM Riau Women Working Group (RWWG) Pekanbaru Riau ini mendorong kepedulian masyarakat untuk mengembangkan perekonomian lokal berbasis komoditas, bermodalkan kondisi keanekaragaman hayati dan tanaman asli gambut. Mereka diberi pengetahuan dan keahlian bagaimana memanfaatkan lahan gambut untuk menambah pendapatan tanpa membakar.
Di musim hujan, Diana (31) dan 19 perempuan di Desa Parit I/II dan Desa Sungai Kayu Ara, Kabupaten Siak, Riau dirundung was-was. Hujan deras yang mengguyur desa mereka pada awal November lalu sempat merendam kebun bawang milik kelompok petani perempuan tersebut.
Namun air tak bertahan lama. Segera menyusut setelah aparat desa dan warga gotong royong membersihkan parit yang tersumbat. Menyaksikan bibit bawang yang mulai tumbuh subur terendam membuat Diana dan kawan-kawannya menangis. Diana adalah Ketua Kelompok
“Baru ini kami menanam bawang. Di Kecamatan Sungai Apit baru kali ini. Kalau ndak kena banjir, emang cantik bawang itu kalau ditanam di gambut. Banjirnya air dari parit yang melimpah,” kata Diana dihubungi dari Pekanbaru.
Diana adalah ketua kelompok perempuan Desa Parit I/II. Ada kelompok perempuan lainnya di Desa Sungai Kayu Ara. Kebun bawang dua kelompok ini adalah bagian program mitigasi pengurangan kebakaran hutan berbasis lahan yang diperkenalkan LSM Riau Women Working Group (RWWG) dari Pekanbaru. Program ini mendorong kepedulian masyarakat untuk mengembangkan perekonomian lokal berbasis komoditas, bermodalkan kondisi keanekaragaman hayati dan tanaman asli gambut.
Diana yang sehari-hari bekerja di Unit Simpan Pinjam Desa Sungai Kayu Ara mengatakan, melalui program ini, mereka diberi pengetahuan dan keahlian bagaimana memanfaatkan lahan gambut untuk menambah pendapatan tanpa membakar.
“Ya, ini menambah penghasilan ibu-ibu rumah tangga. Jadi masyarakat di sekitar pun tahu bagaimana mengolah bawang di gambut. Ada penyuluh yang mengadakan pelatihan,” jelasnya.
Ibu-ibu juga diberi keahlian teknis untuk memupuk bibit. Jika program ini berjalan lancar, hasil panen nanti akan dijadikan bibit kembali. Sehingga program ini bisa terus berkelanjutan bila tidak ada lagi bantuan dari lembaga. Jika tidak ada halangan dan cuaca mendukung, kebun seluas kurang dari 1 hektar ini akan panen pada akhir Desember atau awal Januari 2019 mendatang.
“Rencananya kami mau bikin bibit lagi. Rencananya mau nambah lahan sebelahnya dengan meninggikan alurnya. Ini pelajaran dari banjir kemarin,” tambah Diana.
Menurut dia, lahan gambut sangat cocok untuk bawang. Bibit bawang yang mereka terima tidak hanya ditanam di kebun milik kelompok. Bibit juga ditanam di polibek-polibek dan pekarangan warga.
“Di rumah warga ada yang tumbuh subur. Jadi bawang itu bagus sekali tumbuhnya di gambut. Ini yang membuat kami senang,” katanya.
Di tempat terpisah, Rina Syahputri, pendamping masyarakat dari RWWG mengatakan, dua desa tersebut berada di satu lanskap di hamparan hutan gambut Semenanjung Kampar. Hamparan gambut seluas 700 hektar kini rentan terbakar lantaran pengeringan yang dilakukan sejumlah pihak termasuk perusahaan perkebunan dan petani sawit.
“Selain dari tanaman bawang yang dikelola oleh kelompok perempuan, ada program RWWG yang lainnya yakni pembasahan gambut. Ada pembuatan sumur bor dan sekat kanal di wilayah dua desa tersebut,” ujar Rina.
Sehingga, menurut dia, dengan adanya kegiatan demplot agroforestry kebun bawang ini secara tidak langsung perempuan ikut terlibat dalam mengawasi dan mengelola lahan sehingga terhindar dari risiko kebakaran lahan dan kebun.
“Dulu lahan kebun bawang itu juga bekas kebakaran. Sekarang lahan yang renta itu diolah dengan memperhatikan cara-cara ramah lingkungan dan tanpa membakar,” tambahnya. (*)