Mengatur lensa memantau gambut
Oleh Nadine ZamiraTak kenal maka tak sayang. Pada acara Jambore Masyarakat Gambut 2018 di Desa Kiram, Kalimantan Selatan kemarin, banyak sekali produk-produk kreatif dari wilayah gambut. Gambut sering dianggap lahan terlantar atau lahan tidur, namun ternyata menyimpan banyak potensi bagi tonggak kesejahteraan masyarakat sekitar.
“Rayakan Gambut, Pulihkan Kemanusiaan” begitu bunyi tulisan di baju putih para peserta Jambore Masyarakat Gambut 2018 yang hadir dari berbagai penjuru Indonesia. Jambore tahun ini, bertempat di Desa Kiram Kalimantan Selatan, menyajikan serangkaian acara dan pameran yang membuka wawasan para pengunjung akan pentingnya pelestarian gambut. Puluhan booth memadati area pameran, menjajakan produk-produk asli dan olahan dari 7 provinsi restorasi gambut.
Menapaki kaki dari satu booth ke booth lainnya tidak membuat rasa bosan saya muncul melihat kreativitas yang berbeda-beda dari satu daerah ke daerah lainnya dalam mengolah produk wilayah gambut. Tidak pernah terpikirkan sebelumnya oleh saya bahwa susu kerbau rawa bisa diolah menjadi gula untuk dikonsumsi sehari-hari, begitu pula dengan produk turunan atau olahan sagu yang totalnya mencapai 300-an, serta banyak produk pangan lainnya yang dihasilkan dari kopi, madu, pisang, ketela, nanas, dan lain sebagainya. Bagi para penyuka kerajinan tangan, datang ke Jambore Gambut tidaklah sia-sia. Berbagai produk anyaman nan cantik yang terbuat dari rotan dan purun dengan motif dari pewarna alam turut meramaikan etalase-etalase. Bahkan produk tas anyaman sudah ada yang dimodifikasi dengan teknik decoupage yang otomatis meningkatkan nilai jualnya.
Gambut sebagai lahan yang seringkali dipandang sebelah mata karena dianggap sebagai lahan tidur, ternyata menjadi tonggak harapan bagi masyarakat daerah gambut terutama setelah peristiwa kebakaran hebat tahun 2015 yang merampas kesejahteraan masyarakat gambut dalam berbagai aspek seperti pendidikan, kesehatan, dan pekerjaan. Setelah peristiwa tersebut, kesadaran masyarakat akan pentingnya lahan gambut dan potensi produktivitas yang tersimpan semakin meningkat, terutama setelah dibentuknya Badan Restorasi Gambut oleh Presiden pada tahun 2016.
Melalui penempatan fasilitator desa di ratusan Desa Peduli Gambut, BRG turut berupaya mengoptimalisasi produk turunan wilayah gambut melalui pemberdayaan masyarakat, peningkatan kualitas, perbaikan pengemasan, dan upaya promosi ke masyarakat luas. Satu inisiatif yang menarik perhatian saya adalah bagaimana fasilitator-fasilitator desa di Sumatera Selatan bersama-sama membentuk lembaga legal bernama Rawang untuk membantu pengemasan, promosi, dan pendistribusian produk lokal. Sebelumnya, masyarakat setempat menjual produk olahannya ke tengkulak dengan nilai jual yang rendah.
Kisah sukses masyarakat tersuarakan dengan baik di Jambore Masyarakat Gambut 2018. Namun, untuk mencapai target restorasi 2 juta hektar dan mencakup ribuan desa, pemerintah harus bergerak aktif untuk mereplikasi inisiatif-inisiatif tersebut ke skala yang lebih besar. Upaya peningkatan koordinasi antarkementerian dan lembaga, yaitu BRG, KLHK, Kemendes, Kemendagri, Kemenperin, serta sektor privat diperlukan untuk skema pendanaan dan model bisnis yang lebih bervariasi dan inovatif. Harapannya adalah restorasi gambut tidak hanya memulihkan kemanusiaan dalam periode 5 tahun komitmen restorasi gambut 2 juta hektar, tetapi berkelanjutan setelahnya.