Belajar Mengolah Gambut dari Para Transmigran di Ogan Komering Ilir
Oleh Simpul Jaringan Sumatra SelatanAlokasi izin pengelolaan di atas gambut kerap kali menimbulkan konflik dengan masyarakat yang memang sudah sejak lama berada di area tersebut. Misalnya saja konflik tenurial yang merupakan bentuk perselisihan atau pertentangan klaim penguasaan, pengelolaan pemanfaatan, dan penggunaan kawasan hutan.
Sebagian besar konflik tenurial disebabkan oleh adanya perbedaan data dan kepentingan antara para pihak yang berkonflik sehingga merugikan salah satu pihak khususnya masyarakat yang tinggal di area tersebut. Dari data publikasi Forest Watch Indonesia, diperkirakan seluas 17,6 – 24,4 juta hektar dalam kawasan hutan terjadi konflik tumpang tindih terkait klaim hutan negara, klaim masyarakat adat/masyarakat lokal dan perizinan. Selain itu, berdasarkan kajian Epistema menyatakan sekitar 500.000 petani gambut telah dikeluarkan dari tanah mereka akibat perluasan konsesi perkebunan.
Konflik lingkungan antara masyarakat dan konsesi terjadi karena adanya perubahan lingkungan setelah masuknya perusahaan akibat efek dari kegiatan yang dilakukan perusahaan. Perubahan lingkungan tersebut seperti sering terjadinya kebakaran hutan, perubahan kualitas air sungai, banjir dan juga kekeringan.
Salah satu contohnya dirasakan oleh masyarakat Lebak Belanti yang berada di KHG Sungai Sibumbung-Sungai Betok, Provinsi Sumatera Selatan. Sudah 11 tahun lamanya masyarakat mengalami kebanjiran akibat gambut tak lagi mampu menyimpan air dan tata kelola air yang dikendalikan oleh sebuah perusahaan.
Dampak lain akibat alih fungsi lahan gambut adalah maraknya kebakaran hutan dan lahan yang membuat kualitas udara memburuk bahkan bisa mencapai hingga kategori sangat berbahaya bila terhirup, khususnya bagi kelompok rentan seperti:ibu hamil balita, lanjut usia dan orang dengan masalah kesehatan pada paru/jantung.
Dalam jangka pendek, asap yang menyebar di udara menyebabkan iritasi pada mata, hidung dan tenggorokan sehingga menyebabkan mata dan hidung yang berair; mual; sakit kepala dan bahkan memudahkan terjadinya Infeksi Saluran Pernapasan Atas (ISPA). Sedangkan berdasarkan penelitian dari peneliti Columbia university dan Harvard university, paparan jangka panjang asap karhutla yang terus terjadi diprediksi menyebabkan kematian dini hingga 36 ribu jiwa per tahun di seluruh wilayah terdampak jika tidak dilakukan restorasi dan upaya pencegahan karhutla.
Maka, inilah yang menjadi perhatian Pantau Gambut hingga kini. Pantau Gambut terus mengupayakan agar lahan gambut segera dipulihkan sesuai dengan perintah dan kebijakan terkait pengelolaan lahan gambut. Diharapkan, kedepannya lahan gambut dapat kembali pulih dan masyarakat tak lagi terkena dampak dari bencana lingkungan karena kelalaian pengelolaan lahan.*
*TULISAN INI SEBELUMNYA DIPUBLIKASIKAN PADA TANGGAL 9 JUNI 2021 DI MEDIA ONLINE TEMPO.CO