Sekat Bakar Penghimpun Rupiah
Oleh Aries MunandarSuhaimi warga Parit Jawa, Kabupaten Tanjung Jabung Barat hanya tertunduk membisu saat dihadirkan di Mapolres Tanjung Jabung Barat awal Agustus lalu. Wajahnya ditutupi sebo saat Kapolda Jambi, Irjen Pol. Firman Shantyabudi mengumumkannya sebagai tersangka pembakaran lahan.
Pria 40 tahun itu dianggap bertanggung jawab atas kebakaran lahan 6.000 meter milik Sajali dan Dedek di Desa Pantai Gading pada 29 Juli 2020. Suhaimi dijerat dengan UU No.39 Tahun 2014 pasal 108 juncto Pasal 56 ayat (1) tentang perkebunan, pasal 187 atau pasal 188 KUHP dengan ancam hukuman 10 tahun penjara dan denda Rp 10 miliar.
Kapolda Jambi mengatakan, penangkapan Suhaimi menjadi yang pertama pada 2020 dan pelajaran penting bagi warga lainnya agar tidak membuka lahan dengan cara membakar. Tetapi kenyataannya warga tetap membakar.
Pada 2 Agustus, anggota Polres Tanjung Jabung Barat juga menangkap Ahmadi. Petani 38 tahun itu diduga sengaja membakar untuk membersihkan lahan. Ahmadi menjadi terdakwa pembakaran 4,2 hektare lahan di Desa Sungai Dualap, Kecamatan Kuala Betara terbakar.
Belum genap seminggu, polisi kembali menangkap seorang warga atas kasus yang sama. Sarmauli Saragih ditangkap saat berupaya memadamkan api yang membakar kebun sawit milik saudaranya di Desa Persiapan Sungai Ari, Kecamatan Batang Asam. Dari hasil penyelidikan, petugas menemukan satu hektar lahan yang diduga sengaja dibakar untuk areal pertanian.
Kapolres Tanjung Jabung Barat AKBP Guntur Saputro saat dihubungi via telepon mengatakan, jika rata-rata tersangka merupakan petani dan penggarap lahan. “Mereka membakar karena pengen praktis,” katanya.
Di bulan Agustus, tim Satreskrim Polres Muaro Jambi juga melakukan penangkapan tiga warga yang diduga membakar lahan. Ketiganya yakni HK, NZ dan Teguh Turasno. Mereka ditahan atas kasus kebakaran lahan di lokasi berbeda. Teguh sendiri ditetapkan sebagai tersangka kasus kebakaran lahan di Desa Kasang Pudak, Kecamatan Kumpeh Ulu.
Saat konferensi pers di Mapolres Muaro Jambi, Teguh mengaku membuka lahan untuk menanam kacang panjang dan jagung. Karena tak punya lahan dia menumpang untuk garap di lahan orang lain.
Lelaki 40 tahun itu sebetulnya tahu jika membakar dilarang. Teguh pernah mengikuti sosialisasi dari perangkat desa dan kepolisian tentang larangan membuka lahan dengan cara membakar. Tapi bagi petani bermodal cekak sepertinya cara yang paling cepat dan gampang adalah dengan membakar. “Karena (luas lahan yang diperlukan) sedikit makanya kami berani bakar,” katanya.
Konsesi Perusahaan Terbakar
Siang hari, pada 11 Agustus 2020, api membara di lahan gambut milik PT Kharisma di Desa Kemingking Dalam, Kecamatan Taman Rajo, Kabupaten Muaro Jambi. Regu pemadam berjibaku memadamkan api hingga malam. Helikopter water bombing pun ikut dikerahkan untuk memadamkan api. Luas kebakaran diperkirakan mencapai 10 hektare.
Hingga saat ini pihak Polres Muaro Jambi masih belum bisa menemukan saksi. Kapolres Muaro Jambi AKBP Ardiyanto mengatakan, pihaknya masih terus melakukan penyelidikan dan pendalaman informasi.
Ardiyanto berkata bahwa pihak kepolisian belum bisa menetapkan tersangka lantaran belum memiliki dua alat bukti yang cukup. Pihaknya juga belum bisa memastikan bahwa kebakaran di PT Kharisma disengaja. Meski demikian, dia mengaku akan bekerja secara profesional untuk mengungkap kasus kebakaran hutan dan lahan (karhutla).
Kasus kebakaran lahan milik PT. Mega Anugrah Sawit (PT.MAS) di Desa Sipin Teluk Duren, Muaro Jambi dan PT. Desa Sawit Sari Persada (PT.DSSP) di Desa Jati Mulyo, Tanjung Jabung Timur pada 2019 lalu juga belum menunjukkan perkembangan. Padahal, Polda Jambi telah mengumumkan jika kedua perusahaan tersebut sebagai tersangka karhutla Oktober 2019 lalu.
“Sekarang masih proses penyelidikan,” kata Kabid Humas Polda Jambi, Komisaris Besar Polisi Kuswahyudi. Ia enggan memberi keterangan terkait lambatnya proses penyelidikan.
Koordinator Simpul Jaringan Pantau Gambut Jambi Feri Irawan menganggap, penegakan kasus karhutla di Jambi tak adil. Menurutnya petugas kepolisian semestinya juga bisa cepat memproses perusahaan yang konsesinya terbakar.
“Sebenarnya sama dengan petani, kan jelas ketika perusahaan sudah diberikan izin mereka harus bertanggung jawab atas konsesinya, mau terbakar mau kebanjiran mereka yang tanggung jawab,” katanya.
Menurutnya, aparat penegak hukum juga harus melihat pertimbangan lain saat menangkap petani yang membuka lahan, seperti budaya merun— kearifan lokal membuka lahan dengan cara dibakar. Termasuk UU PPLH yang memperbolehkan petani membuka lahan dua hektar.
“Ketegasan aparat itu harus seimbang, jangan kalau perusahaan prosesnya lama, sementara petani yang akan menanam sayur di tengah kebun yang kecil dengan cara tradisional langsung ditangkap.”
Di tengah sulitnya ekonomi akibat pandemi covid-19, Feri khawatir penangkapan petani yang akan membuka lahan untuk pangan justru dapat menimbulkan masalah baru.
“Memang perlu ketegasan aparat, tapi juga harus banyak pertimbangan. Kebakaran yang terjadi juga tidak terlepas dari aktivitas perusahaan. Lahan gambut jadi kering karena kanal-kanal yang dibuat perusahaan, sehingga berdampak pada wilayah sekitarnya yang ikut kering dan rawan terbakar,” katanya.
Menurutnya, pemerintah dan aparat penegak hukum juga harus mengetahui sifat-sifat gambut dalam penanganan karhutla. “Sekarang itu yang dilihat bukan asap, tapi sebab akibat juga harus dikaji. Baru muncul tersangka.”
Kata Feri, keberhasilan penanganan karhutla itu tidak diukur dengan seberapa banyak bisa menangkap pelaku pembakaran lahan, melainkan bagaimana mencegah kebakaran terjadi. Dia khawatir, ketimpangan penegakan hukum akan memunculkan pandangan negatif masyarakat pada pemerintah yang seakan melindungi perusahaan.
Kebakaran yang terjadi di Jambi tidak terlepas dari kerusakan gambut untuk dialih fungsikan menjadi lahan perkebunan. Banyaknya kanal yang dibuat perusahaan untuk mengeringkan gambut turut berdampak pada wilayah sekitarnya yang ikut mengering.
“Kalau dulu orang merun tidak akan kebakaran karena gambutnya masih basah. Kalau sekarang ini gambut sudah rusak, jadi mudah terbakar,” kata Feri.
Dia mendorong pemerintah untuk berani melakukan pembasahan total di kawasan gambut agar tak mudah terbakar, terlebih di musim kemarau. Sejak Januari hingga 22 Agustus 2020, BPBD Provinsi Jambi mencatat luas kebakaran hutan dan lahan hanya 247 hektar. Kepala Pelaksana Badan Penanggulangan Bencana Daerah Provinsi Jambi Bachyuni Deliansyah mengatakan jika minimnya angka karhutla tahun ini karena kesiapsiagaan pemerintah lebih optimal. Selain itu, pemerintah juga diuntungkan faktor cuaca yang cenderung basah di musim kemarau tahun ini.
Kasus PT ATGA
Kasus kebakaran hutan dan lahan pada 2015 yang menyeret PT Agro Tumbuh Gemilang Abadi (ATGA) masih terus berlanjut di pengadilan. Perusahaan perkebunan sawit itu mengajukan kasasi ke Mahkamah Agung lantaran tak terima putusan Pengadilan Tinggi Jambi 6 Agustus 2020 yang menguatkan putusan Pengadilan Negeri Jambi.
Pada 13 April 2020, Majelis Hakim Pengadilan Negeri Jambi Viktor Togi Rumahorbo mengabulkan gugatan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK). Dalam amar putusan, PT ATGA dihukum membayar ganti rugi materiil sebesar Rp 160.180.335.500 dan membayar biaya pemulihan lingkungan hidup Rp 430.362.687.500 atas kebakaran 1.500 hektar di wilayah konsesinya, serta menyatakan gugatan menggunakan pertanggungjawaban mutlak (strict liability).
Penasehat hukum PT ATGA Frandy Septior Nababan mengatakan, PT.ATGA belum pernah dikenakan sanksi administratif dan semestinya tidak harus bertanggungjawab atas kebakaran lahan pada 2015 di kawasan konsesi PT. ATGA di Desa Kadis Dendang, Tanjung Jabung Timur.
“Manajer lapangan kan pernah jadi terpidana tapi bebas, artinya secara pidana itu clear dan secara administratif juga clear,” kata Frandy saat dihubungi via telepon. Dia mengaku, awal September ini akan mengajukan kasasi ke Mahkamah Agung.
Kepala Dinas Perkebunan Provinsi Jambi Agusrizal mengatakan, semua perusahaan yang tersangkut kasus kebakaran pada 2015 dan 2019 dilarang melakukan aktivitas di areal konsesi yang terbakar.