Ancaman Asap Kebakaran Hutan Gambut Jelang Asian Games
Oleh Zamzami ArlinusTopografi gambut memiliki karakteristik tersendiri sehingga membutuhkan perlakuan yang sesuai dengan karakteristiknya sebagai upaya perlindungan. Di Sumatera Selatan, luasan kawasan gambut mencapai 1,7 hektar (ha).
Dengan luasan tersebut, pemerintah dan pihak terkait (stakeholder) berperan dalam upaya pelestarian dan perlindungan. Kuncinya, penegakkan hukum yang tegas.
Semangat penegakkan hukum yang tegas sebagai upaya perlindungan gambut dipastikan akan berbenturan dengan peraturan yang tengah digodok di DPR RI, yakni Omnibus Law. Rancangan produk hukum (Omnibus Law) memberikan celah baru bagi penegakkan hukum terutama pada perusahaan pemilik hak konsesi di kawasan gambut. Perusahaan akan mudah melepaskan tanggungjawab yang semestinya dilaksanakan karena hanya akan terancam sanksi administrasi.
Pengalaman Kebakaran Hutan dan Lahan (Karhutla) di Sumsel tahun lalu saja, terdapat perusahaan yang seharusnya bertanggung jawab atas kejadian tersebut. Namun Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) belum juga bertindak tegas dan belum ada izin perusahaan yang berani dicabut.
Karhutla di Sumsel pada tahun lalu, mencatat luasan lahan yang lebih tinggi dibandingkan tiga tahun terakhir. Pada 2019, luasan lahan yang terbakar di Sumsel (berdasarkan data KLHK) seluas 336.798 ha. Luasan yang mencapai setengah dari luasan lahan yang terbakar pada tahun 2015 lalu, yakni 646.298,8 ha. Setelah tahun 2016, luasan lahan yang terbakar seluas 8.784,91 ha, pada 2017 sebanyak 3.625,66 ha dan pada 2018 seluas 16.226,60 ha.
Kondisi ini akan diperparah jika Undang-Undang yang tengah digodok tersebut memberikan kelonggaran sanksi kepada pelaku kebakaran hutan dan lahan, apalagi di lahan gambut.
Omnibus Law akan semakin melepaskan tanggung jawab perusahaan pada perlindungan kawasan gambut. Pemberian hanya pada sanksi administrasi kepada perusahaan semakin membuka ruang ketidakpatuhan melindungi kawasan gambut.
Sebagai perbandingan saja, penerapan Undang-Undang (UU) Lingkungan Hidup yang telah memuat keharusan pihak-pihak yang bertanggung jawab atas kerusakan lingkungan tidak dipatuhi apalagi disahkan Omnibus Law.
Di sisi lain, rancangan UU Omnibus Law sangat berimbas pada perlindungan lingkungan seperti halnya kepatuhan atas izin Analisis Dampak Lingkungan (AMDAL). Kebijakan menghapuskan AMDAL demi proyek investasi juga menjadi ancaman bagi perlindungan gambut. Mengingat, perlindungan gambut haruslah dilaksanakan dengan pemahaman bentang alam (landscape). Memahami bentang alam ini akan menjadikan perlindungan gambut lebih komprehensif.
Sebagai contoh, saat pemerintah berupaya memulihkan kondisi gambut rusak di kawasan non konsesi maka akan bersinggungan dengan kondisi gambut sekitarnya. Jika di bentang gambut rusak tersebut terdapat izin konsesi perusahaan maka diperlukan pemulihan yang utuh.
Rancangan kebijakan Omnibus Law yang lebih mengedepankan kemudahan investasi juga menegaskan bahwa pemerintah pusat bisa membatalkan kebijakan hukum seperti halnya tata ruang dan wilayah di daerah. Kebijakan penuh di tangan pemerintah pusat seperti ini juga mengancam upaya-upaya perlindungan kawasan gambut dengan alasan kepentingan investasi semata.
Karena itu, perlindungan gambut terutama di Sumsel harusnya lebih mengedepankan upaya penegakkan hukum yang lebih tegas baik dari pemerintah daerah dan pusat.
Seharusnya, jika merunut upaya perlindungan gambut maka lahan konsesi yang berada di kawasan gambut hendaknya ditinjau ulang untuk kemudian dilakukan upaya restorasi oleh pihak perusahaan. Sayangnya, upaya-upaya perlindungan gambut terutama di lahan konsesi perusahaan belum dapat diawasi terutama oleh publik. Solusinya yakni meninjau ulang (mereview) kawasan gambut rusak dengan melakukan langkah-langkah pemulihan.
Opini ini disampaikan oleh Direktur Eksekutif Walhi Sumsel sekaligus Koordinator Pantau Gambut Sumsel, Hairul Sobri.
TULISAN INI SEBELUMNYA DIPUBLIKASIKAN DI GATRA.COM, PADA TANGGAL 27 MARET 2020