Gambut: Anak Tiri Pilkada Kalsel
Oleh Kisworo Dwi CahyonoPada Kamis (31/5), Clorinda Wibowo sebagai peneliti Pantau Gambut/ WRI Indonesia dan Khalisah Khalid selaku Kepala Departemen Kampanye Eksekutif Nasional Walhi berkesempatan untuk berbincang-bincang di Ruang Publik Kantor Berita Radio (KBR) mengenai komitmen pemerintah terhadap perlindungan dan restorasi gambut. Obrolan ini bertema “Di Mana Isu Lingkungan di Pilkada 2018?”.
Kondisi hutan gambut yang dialihfungsikan menjadi perkebunan sangat memperihatinkan. Pada tahun 2000-an, lahan gambut di wilayah Sumatera masih tercatat seluas 15 juta hektar. Namun, pada tahun 2016, lahan yang tersisa tinggal 13 juta hektar. Padahal, gambut memiliki nilai yang sangat penting karena mampu menyimpan karbon 20 kali lipat lebih banyak dibandingkan dengan hutan hujan tropis biasa atau tanah yang bermineral.
Oleh karena itu, pemerintah mengeluarkan Peraturan Presiden Nomor 1 Tahun 2016 tentang Badan Restorasi Gambut (BRG) untuk merestorasi dua juta hektar lahan gambut di tujuh provinsi prioritas. Dalam implementasinya, peran pemerintah daerah tentu tidak bisa dikesampingkan sehingga Pantau Gambut berupaya melakukan kajian mendalam terkait keberlanjutan komitmen perlindungan gambut di level daerah dalam rangka akan berlangsungnya pemilihan kepala daerah (pilkada) di daerah-daerah yang menjadi prioritas dua juta hektar lahan gambut.
Pada Kamis (31/5), Clorinda Wibowo sebagai peneliti Pantau Gambut/ WRI Indonesia dan Khalisah Khalid selaku Kepala Departemen Kampanye Eksekutif Nasional Walhi berkesempatan untuk berbincang-bincang di Ruang Publik Kantor Berita Radio (KBR) mengenai komitmen pemerintah terhadap perlindungan dan restorasi gambut. Obrolan ini bertema “Di Mana Isu Lingkungan di Pilkada 2018?”.
Selama satu jam, Clorinda dan Khalisah menuturkan berbagai hal terkait gambut dan menjelaskan bagaimana isu tersebut sangat penting untuk diangkat ke permukaan politik di putaran Pilkada kali ini.
Siapa saja yang bertanggung jawab atas kegiatan restorasi gambut?
Clorinda Wibowo (CW): Sebenarnya, isu restorasi gambut sendiri dimulai dari masalah kebakaran hutan 2015. Setelah peristiwa itu, Presiden Jokowi mengeluarkan Peraturan Presiden (PP) No. 1 Tahun 2016 tentang Badan Restorasi Gambut. Di situ beliau membentuk Badan Restorasi Gambut, semacam badan yang ditugaskan untuk mengoordinasi pelaksanaan restorasi gambut seluas dua juta hektar sampai 2020.
Nah, aktor-aktor yang bertanggung jawab dalam restorasi gambut sendiri sebenarnya ada banyak. Tidak hanya terbatas pada BRG, tapi juga ada kementerian dan kelembagaan lainnya yang harusnya berpartisipasi, seperti Kementerian Kehutanan dan yang paling penting adalah pemerintah daerah. Pemerintah daerah itu juga sebenarnya dimandatkan untuk menunjuk tim restorasi gambut daerah di provinsinya masing-masing, di kabupaten masing-masing juga, untuk langsung melakukan restorasi gambut dan berkoordinasi dengan BRG.
Kalau koalisi Pantau Gambut ini sendiri sudah sejak tahun berapa?
CW: Sebenarnya, concern kita itu muncul ketika restorasi gambut mulai berjalan. Kemudian, kita dari kumpulan Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM), yang berjumlah 19 lembaga, berinisiatif untuk membantu pemerintah dalam memantau keberjalanan restorasi gambut di daerah-daerah karena kan luas banget nih; dua juta hektar di seluruh Indonesia. Tentu dibutuhkan partisipasi yang kuat dari masyarakat dalam hal ini dan di sini kita melihat elemen dari masyarakat sendiri masih belum dilibatkan secara optimal.
Jadi, masyarakat sendiri sebenarnya punya banyak pengetahuan lokal yang bisa dimanfaatkan untuk mengakselerasi restorasi gambut. Itulah sebabnya kami membentuk inisiatif Pantau Gambut, yang akhirnya ada koalisi 19 LSM ini, dengan tujuan utama untuk menggiring partisipasi masyarakat atau publik lebih luas lagi dalam restorasi gambut.
Kami membentuk ini tahun 2016.
Peran Walhi dalam restorasi gambut ini seperti apa?
Khalisah Khalid (KK): Kebakaran 2015 itu adalah puncak dari krisis di bentang alam ekosistem gambut. Nah, proses penghancurannya sebenarnya sudah sangat panjang dan lama. Kalau kita ingat kebakaran hutan 1997, itu juga sebagian besar berada di sana, di kawasan ekosistem gambut. Hingga akhirnya pada 2015, setelah sampai pada puncaknya, kita seperti dihadapkan pada situasi yang hampir collapse. Karena kawasan ekosistem gambut, kawasan eskosistem esensial, mengalami penghancuran akibat industri ekstraktif yang begitu masif. Di sana ada perkebunan sawit dan Hutan Tanaman Industri (HTI) yang sebenarnya tidak diperbolehkan.
Pada akhirnya, banyak sekali investor yang masuk dan menerapkan cara produksi dengan membuat kanal-kanal yang berujung pada kebakaran hutan dan gambut 2015. Jadi, problem-nya banyak sekali, termasuk sebenarnya di situ juga negara mengabaikan ya!
Di sana terdapat masyarakat yang secara turun-temurun hidup di kawasan ekosistem gambut. Tapi, dalam konteks perizinan pengelolaan, sebagian besar justru diberikan kepada korporasi. Kita tahu, praktiknya yang sangat rakus, tentu saja bertentangan dengan regulasi yang ada.
Walhi sendiri mengawal ini. Kalau kita ingat, di tahun 1997, ada satu juta hektar pembukaan sawah di lahan gambut pada masa orde baru. Dan sebenarnya itu sudah menunjukkan bahwa kita collapse, ya. Tapi, kemudian model-model pengelolaan gambut seperti itu tetap berlanjut.
Rencana program apa yang saat ini dilakukan oleh Pantau Gambut?
CW: Selama dua tahun ke belakang, kami tengah berupaya melakukan pemantauan di lapangan. Tapi, sebelumnya diawali dengan kajian kebijakan. Jadi, kita mengidentifikasi komitmen-komitmen pemerintah, baik yang berhubungan langsung seperti halnya komitmen dengan BRG maupun tidak langsung.
Contohnya, pemerintah menetapkan moratorium kawasan hutan yang di dalamnya hutan-hutan primer yang masih belum dibuka tidak boleh dijadikan sebagai objek pembukaan lahan, termasuk juga lahan gambut di dalamnya. Nah, itu juga kita pantau karena lahan gambut di Indonesia itu tidak hanya dua juta hektar. Terdapat 14,9 juta hektar lahan gambut di Indonesia. Jadi, sebenarnya luas sekali lahan yang harus diproteksi dan direstorasi ini.
Dalam riset Pantau Gambut terakhir, selama beberapa bulan ke belakang, kami meriset restorasi gambut dalam pusaran pilkada; bagaimana restorasi gambut ini berjalan dan apakah komitmen itu berlangsung atau tidak dengan adanya perubahan pergantian kepemerintahan.
Bagaimana cara mempertahankan dan melestarikan gambut agar tetap kokoh dan utuh?
CW: Gambut itu sebenarnya paling aman tidak diganggu gugat. Ya, kondisi gambut yang paling alami seperti itu. Namun, pada kenyataannya, gambut mudah sekali terbakar karena dikeringkan. Biasanya, korporasi akan mengeringkan gambut terlebih dulu sebelum menanaminya, dibuat kanal sehingga airnya keluar. Padahal, gambut itu memang penampungan air seharusnya.
Lalu, bagaimana cara supaya gambut tetap alami? Pertama, harus ada penegakan hukum, seperti halnya hukum restorasi gambut, perlindungan gambut, dan perlindungan hutan primer. Jadi, korporasi tidak bisa membuka lahan di atas lahan gambut lagi.
Sementara itu, kalau dari segi masyarakat, sebenarnya sudah banyak masyarakat lokal yang cukup sadar tentang pentingnya lahan gambut. Banyak dari mereka yang sudah mengalami dampak dari kerusakan lahan gambut, seperti halnya asap kebakaran yang membuat kesehatan mereka terganggu atau hal lainnya. Banyak pengetahuan lokal dari mereka yang justru bisa menjaga gambut itu sendiri, seperti halnya metode pembukaan lahan tanpa bakar.
BRG sudah menetapkan rencana strategis untuk restorasi gambut yang dilaksanakan pada periode 2016-2020. Daerah mana saja yang akan menjadi tujuan selanjutnya?
KK: Tujuan prioritas kan sudah ada, ya. Di tujuh provinsi. Itu sebenarnya yang dikawal oleh teman-teman di Pantau Gambut dan Organisasi Masyarakat Sipil (OMS) lainnya. Tapi, yang menjadi concern kami adalah bagaimana kami melihat target restorasi dua juta hektar lahan gambut ini sebagai sesuatu yang sangat ambisius karena sebagian besar lahan tersebut berada di lahan konsesi perusahaan sehingga tantangannya begitu besar.
Di satu sisi, PP No.1 Tahun 2016 sebenarnya tidak memberikan mandat kepada BRG untuk melakukan penegakan hukum. Ada institusi lain, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, yang punya kewenangan di situ sehingga bagaimana pun juga diperlukan koordinasi yang baik antarkementerian dan lembaga negara.
Kita tahu bahwa program di kita itu adalah program ego sektoral. Nah, hal itu masih menjadi PR di institusi lembaga negara. Selain itu, kami juga concern terhadap penegakan hukum di korporasi. Kita melihat banyak kerja sama yang dilakukan dengan perusahaan sehingga perusahaan berkewajiban untuk melakukan restorasi tanpa menegasi penegakan hukum.
Ini yang kami sebut sebagai rezim keterlanjuran. Setelah mereka melanggar, karena lahan harus direstorasi, maka dipindahkan lahan itu ke lahan mineral. Padahal, risikonya sama saja dengan konsesi di lahan gambut. Jadi, hal ini seperti memindahkan satu krisis di bentang alam ke bentang alam lainnya. Ini yang menjadi concern kami dan juga tantangan bagi BRG.
Selain masuknya perusahaan sawit, masyarakat lokal juga memiliki tradisi ladang berpindah. Bagaimana cara mengatasinya?
KK: Kami melakukan riset terkait model kelola masyarakat di wilayah ekosistem gambut. Dari riset ini, masyarakat lokal memang sudah melakukan praktik ladang berpindah secara turun-temurun atau praktik-praktik lain yang berbasis kearifan lokal. Inilah yang berbeda dengan watak korporasi. Mereka tidak monokultur dan karena berbasis kearifan lokal, mereka akan melakukan ritual adat terlebih dahulu sebelum membuka lahan. Hal itu sebenarnya yang membuat mereka dapat menjaga api agar tidak melebar. Ada sanksi adat yang harus dipenuhi jika api melebar dari lahan mereka. Aturan-aturan itulah yang mereka pegang. Riset ini juga menunjukkan bahwa tradisi ladang berpindah yang dilakukan masyarakat adat adalah model kelola tanding versi masyarakat yang terbukti tidak menimbulkan kebakaran masif.
Bahkan, pengalaman Presiden Jokowi blusukan ke Sungai Tohor pun membuat beliau mengatakan bahwa pengalaman terbaik adalah memberikan pengelolaan kepada masyarakat, bukan pada perusahaan karena watak perusahaan itu monokultur. Di Tohor itu, kita membuktikan bahwa gambut yang dikelola masyarakat justru aman dari kebakaran. Selain monokultur, praktik pengelolaan lahan oleh perusahaan juga dilakukan dengan menyiasati situasi alam, yaitu dengan mengeringkan gambut. Sementara itu, masyarakat justru beradaptasi dengan alam. Itu perbedaannya.
Apakah ada keharusan bagi para pasangan calon kepala daerah untuk memasukkan isu lingkungan ke dalam program mereka?
CW: Wajib atau tidaknya bergantung pada para pasangan calon (paslon) itu sendiri, ya. Tapi, kalau kita lihat dari segi urgensi isunya sendiri, negara telah mengalami kerugian hingga Rp200 triliun karena adanya kebakaran hutan yang masif pada 2015 lalu. Belum lagi kesehatan masyarakat yang terganggu dan banyaknya lapangan pekerjaan yang hilang. Dengan urgensi seperti ini, seharusnya para paslon yang ikut dalam putaran pilkada kali ini cukup sadar tentang adanya isu itu sehingga ke depannya mereka dapat mengatasi dan melewati program-program mereka. Apalagi, untuk restorasi gambut sendiri ditetapkan langsung oleh presiden Jokowi.
Di beberapa tempat, perilaku korupsi dalam Pilkada tidak bisa dihindarkan sehingga berdampak terhadap isu lingkungan, termasuk pemberian izin pembukaan lahan oleh korporasi. Tapi, jika warga tidak memilih, maka kemungkinan hak suara mereka diambil pun sangat besar. Bagaimana cara menyikapinya?
KK: Menurut saya, KPU sebagai penyelenggara pemilu juga perlu dilibatkan dalam hal ini. Jika kita mengharapkan kesadaran para paslon, itu memang sulit karena isu lingkungan masih menjadi isu pinggiran. Jika kita melihat hal ini sebagai sebuah urgensi dan afirmasi, penyelenggara pemilu harus mengambil inisiatif untuk memberikan aturan-aturan, termasuk dalam konteks pendanaan pemilu. Karena yang kita temui justru izin-izin itu banyak diberikan jelang pilkada dengan modus revisi tata ruang. Di situlah kemungkinan-kemungkinan transaksi politik dilakukan lewat pemberian perizinan.
Selain KPU, KPK juga harus terlibat dalam proses ini. KPK sendiri sudah menyebutkan bahwa kerugian lingkungan adalah kerugian negara. Dengan begitu, calon-calon kepala daerah harus mulai diperingatkan bahwa ketika mereka melakukan pemberian izin kepada perusahaan sama halnya dengan mendorong negara untuk terus mengalami kerugian.
Seberapa penting calon kepala daerah mengampanyekan isu restorasi gambut dan apakah hal itu membantu upaya BRG sendiri?
CW: Kalau bicara soal restorasi gambut, kita akan melihat efeknya sebagai efek domino. Dari kerusakan lingkungan, jadi masalah biodiversitas, kemudian menjalar menjadi masalah kesehatan dan lapangan pekerjaan. Jadi, isu tentang lingkungan sebenarnya erat dengan isu prioritas masyarakat lainnya, seperti isu ekonomi dan pembangunan infrastruktur. Harapannya, dalam pilkada ini, para paslon cukup aware terhadap isu lingkungan. Apalagi, ada 32 petahana yang sebenarnya bisa mengaitkan isu restorasi gambut terhadap isu ekonomi, sosial, dan juga infrastruktur.
Apa yang sudah dilakukan selama ini untuk mempertahankan gambut dan mencegah kebakaran hutan ternyata masih belum sepenuhnya efektif karena kebakaran atau pun pembakaran lahan gambut masih banyak terjadi. Lalu, apakah sudah ada jalan keluar lain untuk menyelamatkan gambut milik Indonesia?
KK: Salah satunya ya lewat restorasi tadi. Kalau dilakukan secara konsisten, hal itu dapat memulihkan ekosistem gambut yang memang situasinya sudah mengkhawatirkan. Menyambung apa yang sudah disampaikan oleh Clorinda soal urgensi kepala daerah dan adanya tim restorasi gambut daerah, hal tersebut sebenarnya memiliki peran penting. Tim restorasi gambut berelasi dengan gubernur, dan kita tahu ketika berada di bawah gubernur, maka kepentingan gubernurlah yang lebih dominan. Kita juga tahu bahwa terkadang ada masalah gap antara daerah dan pusat sehingga kita perlu memastikan bahwa kepala daerah memiliki komitmen dalam hal ini.
Bagaimana hasil dari program restorasi dua juta hektar lahan gambut di tujuh provinsi prioritas ini?
CW: Kami juga sedang menunggu laporan dari BRG yang rencananya akan keluar Maret 2018 ini, namun sampai sekarang masih belum keluar. Kalau berdasarkan Peraturan Presiden, sebenarnya sudah ditetapkan berapa banyak lahan yang harus direstorasi per tahunnya. Sebagai contoh, 600 ribu hektar pada tahun pertama, lalu 400 ribu hektar pada tahun kedua, dan selanjutnya sampai tahun 2020.
BRG sendiri sebenarnya sudah melakukan pembangunan atau pembentukan Desa Peduli Gambut yang tersebar di seluruh daerah. Program ini berfungsi untuk melakukan revitalisasi ekonomi masyarakat itu sendiri. Kemudian, ada juga program pembasahan untuk mencegah terjadinya pengeringan terhadap gambut. Namun, impact-nya berapa, sampai sekarang belum ada angka pastinya.
Apakah ada kerja sama antara BRG dengan KPUD terkait tema dan konten kampanye calon kepala daerah?
KK: Setahu saya belum.
Tapi, apakah ada rencana untuk itu?
KK: Seharusnya BRG mengambil inisiatif untuk membangun komunikasi dengan KPU karena penguatan di tingkat pusat itu perlu dilakukan terlebih dulu, baru bisa meminta KPUD untuk bekerja sama. Nah, sebenarnya ini yang Walhi lakukan. Komunikasi politik dengan KPU juga prosesnya cukup panjang. Apalagi, debat pilpres pada 2014 juga sudah memasukkan isu lingkungan. Saya kira BRG bisa mengambil inisiatif itu.
Sudahkah ada bentuk dorongan untuk itu? Seperti apa dan sudah sampai mana kira-kira prosesnya?
CW; Untuk dorongan dari pemerintah, setahu saya belum ada. Tapi, kalau dorongan dari publik, ya seperti yang dilakukan Pantau Gambut ini. Melalui riset ini, kami melakukan tindak lanjut diseminasi hasil riset di tingkat daerah. Seperti di Riau, kemarin juga kami baru melakukan konferensi pers. Sejauh ini, dari total 75 kandidat paslon, hanya dua pasang yang menyebutkan atau memasukkan isu restorasi gambut ke dalam komitmen mereka. Kedua paslon tersebut adalah calon gubernur dan wakil gubernur di Sumatera Selatan serta calon bupati dan wakil bupati di Kalimantan Tengah.
Pemerintah pusat sudah memiliki peraturan sendiri. Bagaimana pemerintah menggalakkan peraturan tersebut agar benar-benar dijalankan?
KK: Sinergitas antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah tentu menjadi penting. Isu desentralisasi juga merupakan isu yang menjadi concern kita karena biasanya, dengan menggunakan kewenangan, seringkali kepala daerah melakukan pembangkangan terhadap aturan. Misalnya, saat Gubernur Kalbar dan Sumsel mengirimkan surat kepada presiden untuk meminta privilege untuk perusahaan, untuk izin perusahaan, dengan alasan keterlanjuran. Itu sebenarnya tantangan bagi birokrasi kita.
Dalam penelitian yang dilakukan Pantau Gambut, disebutkan bahwa kebanyakan kepala daerah lebih konsentrasi terhadap isu ekonomi atau politik daripada isu lingkungan. Mengapa?
CW: Secara ekonomi, isu ekonomi dan pembangunan infrastruktur lebih menarik bagi masyarakat karena kebanyakan dari mereka, terutama di daerah, sangat perhatian terhadap ekonomi dan infrastruktur. Padahal, berdasarkan survei opini publik yang kami lakukan kami pada 100 partisipan, 98 responden merasa restorasi gambut atau isu lingkungan secara general perlu dimasukkan ke dalam pilkada, ke dalam visi misi para paslon. Kita melihat isu lingkungan ini sebenarnya memang mempunyai hubungan yang sangat erat dengan ekonomi dan peningkatan infrastruktur. Sayangnya, para paslon melihat isu ekonomi, infrastruktur, dan lingkungan itu secara terkotak-kotak. Padahal, akan lebih baik jika dibangun narasi yang lebih kuat antara hubungan ketiganya.
Kalau memang sudah melakukan survei terhadap masyarakat dan ternyata 98 persen itu ada respon terkait lingkungan, langkah apa yang dilakukan Pantau Gambut terhadap calon kepala daerah?
CW: Yang kami lakukan sebenarnya adalah dengan mendiseminasi riset ini seluas-luasnya, terutama di tingkat daerah. Kami juga berharap jika masyarakat, yang mendengar atau membaca hasil riset kami, bisa mempunyai kesadaran yang lebih kuat lagi tentang hal tersebut dan bisa lebih aware tentang paslon mana yang sebenarnya mempunyai visi yang kuat terhadap lingkungan. Kalau pun tidak, masyarakat diharapkan dapat lebih kritis dalam mendorong masuknya isu lingkungan ke dalam program-program paslon, baik di dalam proses pilkada itu sendiri maupun setelahnya.
Untuk pilkada, hanya ada dua paslon yang menyebutkan gambut dalam program mereka. Lalu, bagaimana mempersiapkan anggota legislatif untuk mau mengusung tema lingkungan dan bagaimana membuat masyarakat memilih caleg yang peduli lingkungan?
KK: Kami pernah melakukan tracking caleg pada 2014 lalu. Hasilnya, dari enam ribu lebih caleg, hanya 7% yang memiliki komitmen terhadap lingkungan. Dari 7% tersebut, hanya 0,2% yang terpilih. Jadi, sangat wajar kalau yang sekarang duduk di parlemen tidak pernah bersuara untuk isu-isu lingkungan, terutama soal restorasi gambut. Padahal, peran parlemen menjadi penting di sini karena seperti yang kita tahu, kita sedang meratifikasi Paris Agreement untuk perubahan iklim.
Tantangannya ada pada pemilih. Karena jika kita bicara soal politik, dan tahun ini adalah tahun politik, saya kira kesadaran politik warga negara menjadi penting untuk memastikan bahwa di tengah menguatnya politik identitas, kita sebagai warga negara harus terus menaikkan dan membangun wacana publik tentang pentingnya isu lingkungan bagi kita semua. Mau tidak mau, hal itu harus menjadi komitmen, baik bagi calon kepala daerah atau caleg maupun calon presiden.
Tahun politik ini adalah tahun tantangan sekaligus ancaman. Seringkali, korporasi menunggangi agenda politik sehingga hal itu harus diwaspadai agar isu-isu lingkungan tidak hanya dibahas di permukaan, tapi juga menjangkau akar atau masalah struktural dari lingkungan hidup itu sendiri. Hal itu harus dimulai dari kesadaran kritis warga, khususnya kaum muda.
Kalau dari Pantau Gambut sendiri, tantangan terberat apa yang dihadapi dalam mengimplementasikan program restorasi dua juta hektar lahan gambut?
CW: Yang terberat adalah bagaimana pemerintah bisa menjaga komitmennya. Tapi, pemerintahnya ini pemerintah yang mana? Saya sepakat dengan Mbak Alin (Khalisah Khlaid) bahwa kuncinya adalah sinergi. Sinergi antara kementerian, kelembagaan, dan pemerintah daerah. Hal itulah yang paling penting dan sulit karena ego sektoral masih menjadi masalah. Bagaimana masyarakat dapat menyuarakan suara mereka yang sudah cukup kritis kalau tidak ada dorongan dari pemerintah?
Kita harus kritis. Tapi, bagaimana jika paslon yang kita pilih tidak mau menerima kritik?
KK: Pasca pilkada, PR berikutnya bagi kita, bagi masyarakat, adalah mengawal RPJMD. Program-program para paslon akan diturunkan di RPJMD. Saya kira, warga bisa mendesak pemerintah untuk melibatkan publik dalam memastikan janji-janji politik itu benar-benar dijalankan dan kekritisan kita tentu saja bukan hanya berada di bilik-bilik TPS, tapi juga sampai implementasi janji-janji tersebut.
Pada awal 2017, Walhi pernah menerbitkan dokumentasi kajian terkait kelola rakyat atas ekosistem rawa gambut dan juga pelajaran ragam potret dan argumen tanding. Bisa dijelaskan secara singkat?
KK: Ini adalah kajian bagaimana kearifan lokal masyarakat dalam mengelola gambut selama ini seringkali tidak diakui oleh pemerintah. Pemerintah justru memberikan kepercayaan kepada korporasi sebanyak 1.4 juta hektar yang sebenarnya itu adalah konsesi perusahaan. Padahal, pengelolaan gambut oleh masyarakat jauh lebih lestari, dan itu sudah terbukti. Pengalaman riset kami sudah menunjukkan hal itu sehingga bagaimana mendorong pengakuan negara terhadap masyarakat lokal menjadi penting.
Selain itu, kami juga mendorong penegakan hukum terkait penghancuran oleh korporasi. Seperti yang kita tahu, presiden sudah punya komitmen moratorium. Nah, itu yang harus dibarengi dengan review perizinan dan penegakan hukum agar perusahaan menjadi jera dan agenda-agenda pemulihan gambut tidak bertentangan dengan impunitas terhadap perusahaan.
Terkait pilkada, apakah ada rencana program selanjutnya mengenai isu restorasi dua juta hektar lahan gambut ini? Atau mungkin ada edukasi ke masyarakat yang ingin dilakukan?
CW: Pantau Gambut sendiri banyak melakukan kampanye. Dalam jangka pendek, strategi kampanye dilakukan dalam pilkada ini. Dalam jangka panjang, kita tahu bahwa akan ada pilpres di tahun 2019 mendatang, dan kita ingin program restorasi gambut ini dibawa ke periode selanjutnya, ke pemerintahan selanjutnya. Apalagi targetnya hingga 2020.
Jadi, apa yang akan kami lakukan tentunya mengedukasi publik bahwa isu restorasi gambut ini harus dilanjutkan. Keberlanjutannya harus dijamin, dan di sini kami ingin memastikan bahwa suara publik bisa kami fasilitasi hingga ke tingkat nasional. Salah satu contohnya, di platform kami pantaugambut.id, terdapat segmen Berbagi Cerita untuk memfasilitasi masyarakat berbagi tentang gambut. Targetnya, mereka bisa menceritakan apa pun soal gambut, baik itu pengaduan maupun kisah sukses dalam mengelola gambut.
Apa harapan Walhi ke depannya?
KK: Isu lingkungan adalah isu politik karena ada kebijakan politik yang berpengaruh signifikan terhadap lingkungan. Kita sebagai warga negara harus terus mendorong wacana publik sehingga bisa menjadi tekanan politik bagi pemerintah, baik pusat maupun daerah, untuk memastikan agenda penyelamatan lingkungan dan pemulihan ekosistem gambut bisa benar-benar mencapai target dan memastikan wilayah kelola rakyat di kawasan gambut diakui oleh negara.