Oleh Aries Munandar
dari Pantau Gambut

Subairi senang bukan kepalang. Usahanya membuahkan hasil. Dia meraup untung sekitar Rp2,4 juta dari 180 kilogram (kg) jahe yang dipanennya.

“Bukan uang (keuntungan) yang membuat saya senang, melainkan nilai jerih payahnya. Saya ternyata berhasil menanam jahe seperti petani lain,” kata Subairi saat ditemui di lahan jahe miliknya, dua bulan lalu.

Kejadian itu dialami Subairi saat merintis usaha budi daya jahe sekitar tiga tahun silam. Lelaki berusia 33 tahun tersebut tertarik membudidayakan jahe setelah melihat keberhasilan seorang teman di kampung lain.

“Saya dipinjami sebanyak 15 kilogram bibit jahe. Dia (teman) bilang, silakan diganti jika sudah berhasil (panen),” kenang warga Desa Kalibandung, Kecamatan Sungairaya, Kabupaten Kubu Raya, Provinsi Kalimantan Barat, tersebut.   

Bibit jahe itu ditanam Subairi pada dua bedengan berukuran masing-masing 18 x 9,5 meter. Dia merogoh Rp300 ribu untuk upah pembuatan bedengan.

“Cuma segitu modal awalnya karena pupuk tidak beli. Saya memanfaatkan kotoran sapi peliharaan bapak sebagai pupuk kandang,” jelasnya.

Usaha Subairi terus berkembang sehingga memiliki 30 bedengan jahe pada lahan seluas 0,5 ha. Panen terakhir pada September silam-ditengah pandemi Covid-19, dia memetik sebanyak dua ton jahe. Bapak dua anak ini pun meraup laba sekitar Rp22,4 juta dari Rp36 juta omset panen jahenya.

 

Lahan bekas terbakar

Subairi membudidayakan jahe pada areal bekas kebun karet yang terbakar pada 2015. Lahan tersebut sempat ditanami kelapa sawit, tetapi tidak berkembang karena kurang modal.

“Kelapa sawit ini juga mau ditebang. Saya akan ganti dengan jahe jika ada modal,” ujar Subairi sambil menunjuk pepohonan kelapa sawit yang mengitari lahan jahenya.

Dia mengaku tidak mengalami kesulitan dalam mengolah lahan dan merawat tanaman jahe, kecuali dalam memenuhi kebutuhan modal yang terus meningkat seiring berkembangnya usaha budi daya tersebut. Subairi setidaknya harus merogoh Rp13,5 juta untuk mengelola 30 bedeng jahe, termasuk upah panen. Dia pun memanfaatkan daun kelapa sawit sebagai pengganti paranet (jala plastik pelindung tanaman) untuk menekan pengeluaran.

“Paranet mahal, segulungnya Rp1,4 juta. Saya paling tidak membutuhkan dua gulungan,” jelasnya.

Subairi dan petani lain di Kalibandung tidak membakar lahan gambut dalam persiapan lahan, tetapi mengandalkan abu untuk menurunkan derajat kemasaman dan menggemburkan gambut. Abu tersebut berasal dari serasah atau limbah hasil pembersihan lahan yang dibakar di luar lahan.

“Lahannya tidak dibakar, tetapi cuma sisa-sisa tebasan yang ditumpuk di luar lahan,” lanjutnya.

Model pembakaran tersebut masih jamak dilakukan petani di sejumlah daerah di Kalimantan Barat. Tradisi itu dikenal dengan mandok atau pandok. Pembakarannya lebih cenderung berupa bara sehingga api tidak berkobar.

“Masyarakat sudah tidak berani lagi membakar lahan karena dilarang dan ada ancaman hukumannya. Mereka juga takut lahannya disiram helikopter (bom air dari Badan Nasional Penanggulangan Bencana),” kata Hayat, Ketua Gabungan Kelompok Tani Kalibandung.

Metode pembakaran lahan sebelum penanaman memang saat ini harus ditinggalkan untuk mencegah terjadinya kebakaran gambut. Saat ini, pemerintah melalui Badan Restorasi Gambut (BRG) juga tengah menggencarkan metode Pengelolaan Lahan Tanpa Bakar (PLTB) kepada sejumlah petani melalui program Sekolah Lapang Petani. Melalui metode ini petani dapat menggunakan pupuk organik cair F1 embio untuk mengurangi tingkat kemasaman gambut, sehingga tidak lagi memanfaatkan abu hasil pembakaran.

Meskipun demikian, tanaman jahe bukan merupakan jenis paludikultur, yakni jenis lokal yang dapat tumbuh baik pada kondisi lahan gambut basah. Tanaman jahe memerlukan lahan yang kering. Dengan demikian, pada saat budi daya tanaman jahe, upaya pengeringan terhadap lahan gambut perlu dilakukan agar tanaman tersebut tumbuh optimal. Tentu saja hal ini tidak sejalan dengan upaya pengelolaan lahan gambut yang berkelanjutan. Pengelolaan lahan gambut yang berkelanjutan sejatinya harus mempertahankan lahan gambut agar tetap basah sesuai dengan kondisi idealnya.

 

Akses pasar

Jahe kini menjadi komoditas primadona di Desa Kalibandung. Sejumlah pemain baru pun bermunculan karena harga dan pangsa pasarnya cukup menjanjikan. Permintaan jahe makin meningkat selama pandemi Covid-19.

“Saya baru setahun menanam jahe karena harganya cukup bagus. Perawatannya pun gampang. Kesulitannya cuma pada saat awal (pembersihan lahan) karena harus mencabuti (sisa) akar pohon,” kata Oderi, petani jahe yang juga memanfaatkan lahan bekas terbakar pada 2015.

Oderi selama ini bekerja sebagai buruh bangunan. Dia mulai mengintensifkan pengolahan lahan sejak masa pandemi Covid-19.  Lelaki berusia 50 tahun tersebut meraup laba sekitar Rp8 juta dari delapan bedeng jahe yang dipanennya pada September silam. Petani Kalibandung menjual jahe mereka kepada sejumlah pengepul seharga Rp18 ribu  per kilogram. Permintaannya terus meningkat sehingga sering kali tidak bisa dipenuhi para petani.

“Stoknya kadang ada, kadang tidak. Jadi, saat ada jahe yang siap dipanen pasti langsung dibeli (diborong pengepul),” jelas Hayat.

Berdasarkan pengakuan pengepul kepada Hayat, jahe dari Kalibandung dipasok ke salah satu perusahaan jamu dan herbal ternama nasional. Mereka membutuhkan tambahan bahan baku untuk memenuhi permintaan konsumen selama pandemi Covid-19. Pemerintah Desa Kalibandung pun melirik jahe sebagai produk andalan, selain beragam komoditas hortikultura yang dibudidayakan warga setempat. Mereka telah menyiapkan paket bantuan kepada petani, tetapi belakangan anggarannya dialihkan untuk penanggulangan pandemi Covid-19.

“Bantuan itu memang tidak dikhususkan kepada petani jahe, tetapi pengembangan (komoditas) hortikultura. Namun, anggarannya dialihkan untuk bantuan sosial dan pencegahan Covid-19,” kata Sanhaji, Kepala Desa Kalibandung.

Pemerintah Kabupaten Kubu Raya juga melihat jahe sebagai salah satu komoditas strategis daerah. Mereka mendorong pengolahan jahe menjadi berbagai produk pangan sehingga memiliki nilai tambah dan efek berantai.

“Ada peraturan bupati tentang pengembangan produk-produk lokal. Kubu Raya juga memiliki galeri produk unggulan serta sejumlah usaha kecil dan menengah yang mengolah jahe. Setiap instansi daerah diarahkan menggunakan minuman olahan dari jahe lokal untuk tamu atau pada rapat dan acara kedinasan,” kata Bupati Kubu Raya, Muda Mahendrawan, pekan lalu.

 

 

<iframe allow=";" allowfullscreen="" frameborder="0" height="360" src="https://www.youtube.com/embed/Mxd1APhblI8" width="640"></iframe>

Dukung Kami

Bagikan informasi ini kepada keluarga dan teman-temanmu.