Berpacu dengan Waktu
Oleh Hairul SobriGubernur Riau Syamsuar meluncurkan program adopsi pohon pada 11 Agustus 2021. Program itu diklaim sebagai terobosan pertama kali yang dilakukan pemerintah dalam menjaga kelestarian hutan. Syamsuar mengatakan, program itu pemberian insentif berupa uang yang diharapkan memperkuat komitmen masyarakat untuk menjaga hutan.
Komunitas desa akan menerima Rp 200 ribu dari penanaman per pohon. Itu untuk pohon yang diameternya sudah melebihi 40 sentimeter. Sedangkan, pohon di bawah diameter itu nilainya Rp 50 ribu. Insentif akan diberikan saban tahun. Masyarakat yang mengajukan program akan dinilai oleh tim identifikasi dari Dinas Lingkungan Hidup dan Kehutanan Riau. Tim penilai juga mengecek kelayakan pohon yang akan diadopsi dalam program itu.
“Kami harap kegiatan konsepsi Riau Hijau dapat memberikan banyak manfaat pada kehidupan masyarakat,” kata Syamsuar melalui siaran pers. Ia menambahkan, manfaat untuk masyarakat itu diharapkan dalam bidang ekonomi, sosial budaya, dan lingkungan hidup.
Meskipun baru diluncurkan, sudah terkumpul dana jumlahnya Rp 2 miliar dari berbagai korporasi termasuk perusahaan kelapa sawit. Sejauh ini, sudah ada 10.613 pohon yang diadopsi. “Adopsi pohon kita sebanyak 10.613. Ini satu pohon dananya Rp 200 ribu, berarti terkumpul sekitar lebih Rp 2 miliar,” kata Syamsuar. Ia menjelaskan, target pohon yang diadopsi lebih dari 28 ribu. Keseluruhan pohon itu diadopsi oleh berbagai korporasi, yaitu perusahaan kelapa sawit juga minyak dan gas. Ada pula dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan.
Mengutip situs web Pemerintah Riau, Kepala Dinas Lingkungan Hidup dan Kehutanan Riau Mamun Murod mengatakan, program itu untuk komunitas masyarakat yang sudah mendapat izin Perhutanan Sosial. Kelompok masyarakat yang ikut program menjaga wilayah Perhutanan Sosial akan mendapat dana kompensasi. "Dana itu juga bisa digunakan untuk infrastruktur dan pendidikan di wilayah masyarakat tempatan,” katanya. Mamun menambahkan, ketika ekonomi terbangun, masyarakat makin kuat menjaga pohon supaya bisa menghasilkan uang.
Dinas Lingkungan Hidup dan Kehutanan menjalin kerja sama dengan Yayasan Adopsi Pohon Riau untuk mengelola platform. Harry Oktavian, selaku pengawas Yayasan Adopsi Pohon Riau mengatakan, platform itu sebagai strategi menghubungkan publik dengan perusahaan yang mau berkontribusi untuk adopsi pohon. Pemerintah, kata Harry, tidak bisa menerima uang dari swasta, sehingga dibutuhkan penghubung. Adopsi Pohon Riau menampung dana itu yang disalurkan kepada kelompok masyarakat untuk mengelola program Perhutanan Sosial seperti hutan desa, hutan adat, hutan kemasyarakatan. Platform pun menyediakan perkiraan karbon yang terserap di satu pohon yang diadopsi.
“Carbon trading (perdagangan karbon) dari kota dimanfaatkan uangnya untuk warga kampung yang menjaga hutan,” ucap Harry.
Ada empat kawasan Perhutanan Sosial yang menjalankan adopsi pohon. Semuanya berada di hutan tanah mineral yang akan dikembangkan ke gambut atau bakau (mangrove). Namun, perhitungan karbon di tanah mineral tak berlaku di kawasan Perhutanan Sosial hutan gambut atau mangrove. “Kalau (karbon) di gambut tidak dihitung seperti di tanah mineral,” kata Harry.
Ia menambahkan, karbon di wilayah hutan bakau dihitung berdasarkan luas. “Begitu juga nanti di kawasan gambut, ini sedang disusun,” ujarnya.
Harry menampik jika program ini rentan ditunggangi untuk pencitraan perusahaan tertentu. Ia berkata, adopsi pohon tidak bisa dikaitkan dengan hal lain yang dilakukan perusahaan di luar program. Jika perusahaan bermasalah, maka ranahnya berbeda. “Lihat program ini sebagai optimalisasi peran publik atau siapa pun untuk menyelamatkan hutan Riau,” katanya.
Pantau Gambut menelusuri laman peta di platform itu, terlihat ada sejumlah titik koordinat adopsi pohon berada di tengah perkebunan kelapa sawit, Menurut Harry, kemungkinan ada masalah tumpang tindih dalam peta, maka perlu mengecek ulang akurasi data. “Enggak mungkin adopter (pengadopsi) mau kalau pohon berada di dalam situ (perkebunan kelapa sawit),” ujarnya.
Laman data menujukkan, ada 2.179 pohon yang telah diadopsi saat mengakses platform, pada Jumat, 24 September 2021. Jumlah itu belum berubah ketika dicek lagi pada Senin, 25 Oktober. Keseluruhan pohon berada di hutan adat Ghimbo Pomuan Bonca Lida Kenegerian Kampa, dan Imbo Putui Kenegerian Petapahan. Ada pula yang di area Kesatuan Pengelolaan Hutan (KPH), yaitu Taman Hutan Raya Sultan Syarif Kasim dan Suligi Batu Gajah.
Tutupan hutan terus berkurang
Jika meninjau luas keseluruhan kawasan hutan Riau, yakni 8.964.880,21 hektare, pada 2019. Data yang bersumber dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan itu, di antaranya meliputi kawasan hutan lindung, hutan produksi konversi, areal penggunaan lain. Selama kurun waktu 2012 hingga 2019, tutupan hutan yang hilang di Riau luasnya 781.941,84 hektare.
Pengamatan Pantau Gambut luas tutupan hutan gambut Riau, 3.867.400,48 hektare, pada 2011. Selama delapan tahun, luas tutupan hutan itu terus berkurang. Pada 2019, tutupan hutan gambut Riau, 3.565.502,56 hektare. Berarti, tutupan hutan berkurang 301.897,92 hektare.
Kerusakan hutan di tanah mineral maupun gambut Riau lebih banyak terjadi di lahan konsesi. World Resources Institute (WRI) Indonesia mencatat, ada 4.058 kebakaran yang terdeteksi pada 2016. Walaupun saat itu, termasuk tahun cukup tinggi curah hujan yang membasahi kawasan hutan Riau. Pada 2016, data peringatan titik api menunjukkan, bahwa pola ini berlanjut di Riau, 47 persen kebakaran berada di area konsesi serat kayu.
Ketakjelasan pemerintah mengelola Perhutanan Sosial
Koordinator Simpul Jaringan Pantau Gambut Riau, Romes Irawan Putra menganggap adopsi pohon merupakan inisiatif yang bagus. Tapi, Romes juga menyoroti program itu terkait perlindungan gambut dan hutan di dalam kawasan Perhutanan Sosial. “Tidak bisa disandarkan pada program ini saja, apalagi jika menjadi bagian kesuksesan Riau Hijau,” katanya.
Menurut Romes, kendala yang dihadapi pengelola kawasan Perhutanan Sosial bukan saja soal mendapat anggaran. Tapi, pun tatanan pelaksanaan. “Lihat izin Perhutanan Sosial yang telah diterbitkan, tak ada satu pun yang sudah tahap pengelolaan,” ujarnya. Apalagi, ucap dia, saat ini masif terjadi penebangan liar di wilayah Perhutanan Sosial. “Penegakan hukum untuk memberantas jaringan pembalakan liar harus diutamakan,” kata Romes yang juga Direktur Kaliptra Andalas.
Sejak 2008 sampai sekarang belum satu pun fase pengelolaan Perhutanan Sosial. Ini membuktikan minim bantuan pemerintah daerah juga intervensi kebijakan yang mendukung proses tersebut. Romes mengatakan, kebakaran hutan juga pengeringan gambut masalah penting yang harus ditemukan solusinya. Pemerintah daerah harus mendesak perusahaan Hutan Tanaman Industri (HTI) dan kelapa sawit melakukan program pembasahan dalam areal kerja.
“Pemerintah seharusnya tidak saja mengurus Perhutanan Sosial supaya berjalan baik, lalu mengabaikan kerusakan gambut di wilayah konsesi perusahaan,” katanya.
Romes pun mengingatkan agar pemerintah mau membeberkan pengawasan yang dilakukan terhadap program restorasi gambut di konsesi swasta. “Konsesi telah mengeringkan hamparan gambut yang sangat besar,” ujarnya.