Bertumbuh di Tengah Krisis
Oleh Pantau GambutKetahanan pangan kembali menjadi perhatian dan diskusi publik, kali ini terkait dengan situasi pandemi COVID-19. Diskusi tersebut dilatarbelakangi terganggunya rantai pasokan pangan domestik dan proses produksi pangan akibat anjuran pembatasan sosial ditambah banyaknya pemutusan kerja di masa pandemi COVID-19. Kenaikan angka pengangguran berpotensi menurunkan daya beli dan meningkatkan kerawanan pangan dan gizi. Organisasi Pangan dan Pertanian Dunia (FAO) telah memperingatkan hal ini, termasuk menyoroti terganggunya ketersediaan pangan akibat perilaku menimbun makanan (panic buying) di Indonesia.
Menurut Kementerian Pertanian, pemerintah telah merumuskan agenda 4 Cara Bertindak (CB) untuk menjaga kebutuhan stok pangan nasional, termasuk di dalamnya pengembangan pertanian modern yang mengusung pembangunan food estate di atas lahan bekas proyek Pengembangan Lahan Gambut (PLG) di Provinsi Kalimantan Tengah (Kalteng). Selain Kalimantan Tengah, pemerintah juga merencanakan food estate di berbagai lokasi yang dibiayai APBN.
Bukan untuk pertama kalinya tujuan ketahanan pangan dengan pendekatan food estate dilakukan. Program ini sudah berulang kali dilaksanakan dan mengalami kegagalan karena tidak berhasil mengefektifkan penggunaan lahan dan tidak menghasilkan produksi panen yang tinggi. Sejumlah contoh kegagalan food estate adalah pada era Soeharto, yakni Program Food Estate PLG, Kalteng (1996) dan pada era SBY, yakni Program Food Estate Bulungan, Kalimantan Timur (2011); Program Merauke Integrated Food and Energy Estate, Papua (2011); dan Program Food Estate Ketapang, Kalimantan Barat (2013).
Rencana food estate terbaru ini lantas menyisakan pertanyaan besar, apa asumsi yang melatarbelakangi keputusan food estate sebagai agenda ketahanan pangan dan gizi? Jika pilihan intervensi ini dinilai dapat meningkatkan efisiensi melalui pertanian skala besar dan meningkatkan ketersediaan pangan dalam bentuk energi atau kalori, maka ketahanan pangan dan gizi adalah penjaminan yang lebih luas daripada sekedar efisiensi dan ketersediaan pangan, sebagaimana disebut UU No. 18/2012 tentang Pangan. UU Pangan menjamin kepastian keterjangkauan dan pemenuhan konsumsi pangan yang bermutu dan bergizi seimbang, secara merata, sepanjang waktu dengan memanfaatkan sumber daya, kelembagaan dan budaya lokal.
Lebih lanjut, Laporan Panel Ahli Tingkat Tinggi Komite World Food Security menyatakan bahwa dimensi ketahanan pangan adalah ketersediaan pangan; akses terhadap pangan secara fisik dan ekonomi; kemampuan penyerapan pangan untuk pemenuhan gizi dan kesehatan; ketersediaan dan akses terhadap pangan secara berkesinambungan; kebebasan menentukan secara independen pangan yang dimakan, diproduksi dan partisipasi dalam kebijakan pangan; serta memastikan pangan yang tersedia sekarang tidak mengorbankan pangan untuk generasi mendatang.
Oleh karena itu, upaya ketersediaan pangan jangan sampai mendorong kerawanan pangan dalam dimensi pemenuhan gizi. Misalnya, sebuah studi menemukan bahwa perubahan kendali atas tanah untuk pertanian mengubah pola makan, dimana perempuan dari rumah tangga tradisional di Kalimantan Barat mengonsumsi 30 persen lebih banyak nutrisi dalam bentuk sayuran hijau, dibandingkan dengan mereka yang berasal dari rumah tangga pekerja perkebunan.
Setidaknya ada tiga alasan mengapa food estate belum menjawab agenda kebijakan ketahanan pangan dan gizi di Indonesia.
Distribusi merupakan permasalahan lama yang kemudian dipertajam dengan COVID-19. Di antaranya biaya logistik yang mahal, manajemen barang yang lemah dan panjangnya rantai pasok. Penelitian menunjukkan bahwa biaya logistik yang tinggi menambah kemiskinan dan gizi, misalnya, biaya tinggi kebutuhan pokok di Indonesia bagian timur. Lebih lanjut, pada 2019 Global Food Security Index menilai Indonesia memiliki permasalahan dalam infrastruktur pertanian, termasuk distribusi pangan. Kelemahan distribusi pangan dapat menyebabkan kekurangan pangan di banyak daerah, terutama di daerah rawan pangan.
Pada 2018, 9 persen masyarakat Indonesia masih mengalami kelaparan kronis dan kurang gizi. Di tahun 2019, sebelum pandemi COVID-19, Indonesia berhasil menurunkan angka kemiskinan menjadi di bawah 10 persen. Walau kondisi ekonomi membaik, tetapi belum bisa mengatasi tiga beban malnutrisi yang masih tinggi di Indonesia. Survei Status Gizi Balita Indonesia (SSGBI) 2019 mencatat tingkat stunting pada anak menyentuh 27,67 persen. Angka tersebut masih tergolong cukup tinggi menurut standar WHO (20 persen) untuk status gizi buruk. Sementara itu, prevalensi obesitas usia di atas 18 tahun terus meningkat, dari 10,5 persen (2007) menjadi 21,8 persen (2018).
Tingginya harga pangan mempertajam kerawanan pangan akibat ketidakpastian akses karena daya beli yang lemah. Dalam sepuluh tahun terakhir harga beras di Indonesia lebih tinggi dari harga beras di pasar internasional. Pandemi telah mempertajam ketidakpastian akses masyarakat terhadap pangan. Data Kementerian Ketenagakerjaan menyebutkan 1,7 juta pekerja sektor formal dan informal kehilangan pendapatan akibat pandemi. Hal ini semakin menekan daya beli masyarakat; setidaknya 38 persen rumah tangga mengurangi konsumsi mereka. Dengan tingginya harga pangan dan tanpa perbaikan aksesibilitas secara ekonomi, pembangunan food estate tidak bisa menjamin ketahanan pangan dan memperbaiki malnutrisi.
Pemerintah mengestimasi dana sebesar 6 triliun rupiah selama 3-4 tahun untuk merealisasikan rencana food estate, termasuk cetak sawah. Food estate pada lahan gambut berpotensi mempertajam risiko lingkungan dan membahayakan kesehatan. Kegiatan cetak sawah yang dilakukan dengan praktik tidak ramah gambut berpotensi menimbulkan masalah serius. Sebagai contoh, kebakaran hutan dan lahan pada tahun 2019 sebagian besar terjadi di lahan gambut, menghasilkan kerugian ekonomi sebesar 72,95 triliun rupiah, termasuk gangguan pernafasan akibat asap dan penurunan produktivitas akibat gangguan kesehatan.
Risiko lingkungan bukan hanya dari ekosistem gambut, tetapi juga ekosistem lainnya, seperti pembukaan hutan. Peraturan Menteri KLHK No. 24/2020 yang melegalkan food estate dilakukan di kawasan hutan lindung juga menimbulkan risiko lingkungan. Memanfaatkan kawasan lindung yang rusak untuk food estate akan menimbulkan risiko yang berbeda jika dibandingkan dengan merestorasi kawasan tersebut untuk tetap difungsikan sebagai hutan.
Pandemi COVID-19 menyoroti kelemahan sistem pangan di Indonesia serta pentingnya penanganan masalah ketahanan pangan yang tidak hanya berfokus pada dimensi ketersediaan pangan. Pembangunan food estate yang mengabaikan tantangan tersebut hanya akan berpotensi mengulang kegagalan di masa lalu. Oleh karena itu, beberapa solusi yang perlu diperimbangkan:
Pertama, perlu perbaikan pada kelancaran sistem distribusi pangan agar tidak lagi terjadi kekurangan pangan yang berakibat penimbunan bagi satu kelompok konsumen dan kekurangan bagi kelompok yang lain.
Kedua, pemerintah harus bergerak dari fokus tunggal, seperti hanya pada beras, ke perubahan mendasar, dengan diversifikasi sistem pangan, pemberdayaan kelompok rentan dan terpinggirkan, serta promosi keberlanjutan di semua aspek rantai pasokan pangan dengan memperhatikan sumber daya alam dan kapasitas setempat.
Ketiga, pandemi telah mengajarkan keterkaitan antara kesehatan sistem lingkungan dan kesehatan sistem pangan. Oleh karena itu, sinergi antar sistem pangan, sistem ekologi dan sistem ekonomi adalah keharusan. Ketahanan pangan Indonesia berpotensi besar untuk ditopang oleh keanekaragaman hayati dan lingkungan yang sehat tanpa risiko lingkungan yang akan berdampak pada ekonomi dan kesehatan. Misalnya, sebuah studi memperlihatkan peluang budidaya rawa (paludikultur) di lahan gambut, yang mendukung penyediaan dan ketahanan pangan, dengan komoditas yang memiliki nilai keberlanjutan, memiliki peluang pasar yang baik, serta penerimaan dari petani, seperti sagu dan tengkawang.
Momen pandemi ini bisa dijadikan kesempatan untuk menata sistem pangan Indonesia yang berkelanjutan.
*TULISAN INI SEBELUMNYA TAYANG DI WEBSITE WRI INDONESIA PADA TANGGAL 30 JANUARI 2021 DENGAN JUDUL YANG SAMA"