Gambut: Si Miskin Hara yang Kaya Manfaat
Oleh Agiel PrakosoRatusan anggrek alam di Kabupaten Muari Jambi kini kehilangan habitat aslinya akibat kebakaran hutan dan lahan (karhutla) yang menghanguskan 615 hektare area hutan "Batang Damar" pada tahun 2015. Untuk tetap melestarikannya, Gerakan Muaro Jambi Bersakat (GMJB) membudidayakan anggrek alam yang tersisa dan akan dilepas liarkan ke hutan saat jumlahnya mencapai seribu.
Adi melamun sambil duduk melantai di teras rumahnya di Muaro Jambi. Raut wajahnya lesu. Ia menarik nafas dalam sembari menatap puluhan anggrek macan (Gramatophyllum speciosum) dan jenis lainnya yang tergantung nelangsa di halaman.
Kegelisahan Adi dimulai sejak 2009 saat ratusan hektar hutan “Batang Damar” ditumbangkan dan diganti dengan ratusan, bahkan ribuan batang sawit, yang merusak habitat anggrek alam terbesar di Muaro Jambi. Jika sebelumnya pepohonan rawa gambut seluas 615 hektar di Batang Damar menjadi habitat ratusan jenis anggrek alam, kini hanya tersisa semak belukar dan ilalang karena habis terbakar.
Untuk mencegah anggrek-anggrek alam tersebut punah, Adi bersama puluhan warga Jambi Tulo yang tergabung dalam komunitas GMJB menyisir hutan-hutan di Muaro Jambi hingga perbatasan Tanjung Jabung Timur, Tanjung Jabung Barat, dan Batanghari.
“Mano waktu itu hutan yang nak dibuka jadi kebun, kami datangi, kami selamatkan anggrek-anggrek yang ado. Ado 84 jenis yang kami biso selamatkan, tapi ado 10 jenis yang belum diketahui namonyo, sampai sekarang kami belum tahu,” katanya.
Pria 40 tahun itu tak ingat persis anggrek jenis apa saja yang ia temukan di Batang Damar. Beberapa jenis yang ia ingat adalah jenis Dendrodium, Pomatocalpa, Phalaenopsisi atau Eria, Trichotocia ferox, Thelasis, Flicking ceologyne, Cymbidium, Appendicula, Javanica, dan Bulbophyllum. Anggrek kesukaannya adalah anggrek jenis Dendrobium hendersonii yang ia sebut sebagai merpati biru, karena daun anggrek ini berwarna hijau kebiru-biruan.
Selain itu, ada juga anggrek langka yaitu Dendrobium Lampongense. Anggrek ini merupakan endemik Lampung yang memiliki ciri khas bunga berwarna kuning kecoklatan, dan memiliki corak berwarna merah di bagian dalamnya. Bunganya berukuran 3-4 cm dan kan bersemi dari batang yang daunnya telah rontok.
“Anggrek di lahan gambut punya keunikan sendiri. Mulai dari corak, warna dan aroma wangi yang berbeda. Macam jenis Coelogyne asperata itu mirip anggrek hitam (Coelogyne pandurata) di Kalimantan, tapi kalau di sini corak tengahnya merah samo kuning.” Tutur Adi
Pada 2013, GMJB telah mengusulkan Batang Damar sebagai lahan konservasi anggrek di Kabupaten Muaro Jambi. Upaya itu berbuah manis pada tahun 2015 saat Burhanuddin Mahir, Bupati Muaro Jambi saat itu, datang ke Muara Sebo dan menyatakan bahwa hutan Batang Damar akan dijadikan lokasi konservasi dan kawasan wisata alam khusus anggrek.
Namun, belum genap seminggu setelah kedatangan Burhanuddin, api melahap kawasan Batang Damar. Berhari-hari rawa gambut itu penuh bara dan asap, membakar semua yang hidup di atasnya.
“Waktu Batang Damar terbakar, kito sudah putus asa, dak ado lagi yang biso diselametin. Lahan 615 hektar itu habis terbakar, anggrek-anggrek ikut musnah, habis semuo,” kata Adi mengenang.
Dia curiga Batang Damar sengaja dibakar untuk keperluan bisnis karena saat itu banyak warga Desa Jambi Tulo, Mudung Darat, dan Bakung sepakat menjual sawah mereka pada pada perusahaan.
Sekarang kawasan Batang Damar telah dikuasai PT Sumber Sedayu dan PT Agro Bumi Lestari. Tinggal menunggu waktu rawa gambut itu akan berubah menjadi kebun sawit dan jabon.
Setelah kejadian kebakaran hutan dan lahan hebat tahun 2015, masyarakat kehilangan semangat mengelola anggrek. Tidak ada yang dapat mereka lakukan karena habitat anggrek Batang Damar telah habis terbakar.
Semangat menyelamatkan anggrek mulai bangkit kembali pada tahun 2017. Ketika itu, Komunitas GMJB bertekad mengumpulkan 1.001 anggrek macan (Gramatophyllum speciosum) yang dianggap mudah beradaptasi di luar habitat aslinya. Selain itu, anggrek macan tergolong unik karena merupakan jenis anggrek terbesar dan terberat di dunia.
Namun, merawat anggrek alam di luar habitatnya bukanlah perkara mudah. Penanganan yang salah akan membuat anggrek mudah layu bahkan mati saat terpapar panas matahari langsung. Selain itu, biaya yang dikeluarkan untuk menyelamatkan ratusan anggrek di luar habitatnya juga tidak murah. Anggrek perlu dibudidayakan di rumah bayang, yakni bangunan khusus berangka baja yang ditutup paranet sehingga menyerupai kondisi habitat anggrek alam. Hingga kini, terdapat sekitar 74 jenis anggrek rawa gambut yang masih bisa bertahan hidup.
“Merawat anggrek alam ini biayanyo besak, bukan sikok (satu) duo (dua) anggrek yang kito selametin dari alam ini, tapi puluhan jenisnyo, kalau jumlahnya biso seratusan.”
Untuk menyiasati situasi itu dan mencapai target 1.001 anggrek, komunitas GMJB membuka Taman Sakat Lebung Panjang sebagai tujuan wisata, edukasi, dan penangkaran anggrek di Muaro Jambi. Tiga setengah hektar kebun milik Adi pun diubah untuk menjadi Taman Sakat.
Di Taman Sakat Lebung Panjang, wisatawan memiliki kesempatan untuk mengadopsi anggrek dengan membayar Rp100.000. Anggrek yang diadopsi akan diberi nama pengadopsi dan selanjutnya akan dirawat oleh komunitas GMJB hingga siap dilepas liarkan. Sampai dengan saat ini sudah lebih dari 50 anggrek telah diadopsi. Wisatawan yang berkunjung pada umumnya merupakan relasi dari anggota GMJB atau orang yang peduli terhadap lingkungan yang tinggal di sekitar Taman Sakat Lebung. Namun, ada juga wisatawan asal Yogyakarta, Bandung, Bali, dan Jakarta.
Selain mengadopsi, pengunjung juga bisa mendonasikan anggrek miliknya untuk dikelola oleh GMJB. Jika seluruh anggrek hasil adopsi, donasi dan budidaya GMJB sudah mencapai seribu, Adi dan komunitas GMJB bercita-cita untuk mengembalikan anggrek tersebut ke wilayah hutan yang masih asri dan dilindungi.
Dihubungi terpisah melalui telepon, Wakil Bupati Muaro Jambi, Bambang Bayu Suseno, mengaku telah melakukan komunikasi dengan Dinas Pertanian Provinsi Jambi agar dapat membantu mengembangkan anggrek Muaro Jambi. Tahap awal yang dilakukan adalah melakukan identifikasi anggrek yang ada dan potensi pengembangannya, serta melakukan pendampingan dalam pengelolaannya.
Bambang mengaku bahwa pemerintah siap mendorong pengembangan potensi tanaman anggrek yang ada di Muaro Jambi agar tidak punah. Namun sayangnya, anggaran yang terbatas hampir selalu menjadi masalah klasik bagi pemerintah untuk menjadikan perlindungan anggrek sebagai program prioritas kabupaten.
“Kalau habis ini pemerintah tidak juga bantu, sayo akan tetap pertahankan rumah bayang, bagimanapun caronyo sayo akan berjuang,” kata Adi.