Jambi Hadapi Ancaman Covid-19 dan Bencana Asap
Oleh Yitno SupraptoBeberapa waktu lalu, muncul kesalahpahaman dan ketegangan yang melibatkan masyarakat Dayak dengan Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB). Hal ini dipicu pernyataan dari pejabat BNPB bahwa tradisi gawai serentak merupakan salah satu pemicu kebakaran hutan dan lahan di Kalimantan Barat. Gawai adalah tradisi di Kalimantan Barat untuk merayakan panen raya. Akibat pernyataan ini, Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) Kalimantan Barat sempat mengeluarkan somasi kepada BNPB dan menyatakan bahwa tradisi gawai sudah dilakukan secara turun-temurun namun tidak menyebabkan kebakaran. Ketegangan tersebut mencair setelah BNPB meminta maaf.
Masih adanya masyarakat yang membuka lahan dengan membakar, termasuk di lahan gambut, merupakan salah satu faktor yang dianggap sebagai penyebab terjadinya kebakaran hutan dan lahan (karhutla). Sebagian besar metode buka lahan dengan membakar ini merupakan tradisi masyarakat yang telah dilakukan turun-temurun.
Untuk tetap menjaga tradisi tersebut, pemerintah telah membuat peraturan agar kearifan lokal masyarakat terkait pembukaan lahan ini tetap terjaga namun tidak menimbulkan dampak yang meluas terhadap lingkungan, terutama pada ekosistem gambut. Aturan utama terkait pembukaan lahan dengan cara membakar ini terdapat dalam Undang-Undang No. 32 tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup. Dalam Undang-Undang ini, ada ketentuan bahwa setiap orang dilarang melakukan perbuatan melakukan pembukaan lahan dengan cara membakar. Peraturan Pemerintah No. 57 tahun 2016 tentang Perubahan atas Peraturan Pemerintah No. 71 tahun 2014 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Ekosistem Gambut juga menyebutkan larangan atas pembakaran lahan gambut.
Meskipun demikian, pelaksanaan ketentuan-ketentuan larangan ini perlu kehati-hatian karena di dalam penjelasan Undang-Undang 32/2009 sendiri terdapat ketentuan bahwa pembukaan lahan dengan cara membakar tersebut harus memperhatikan kearifan lokal di daerah masing-masing
Akan tetapi ada pembatasan dalam pelaksanaan kearifan lokal ini, yaitu bahwa pembakaran lahan hanya bisa dilakukan maksimal 2 hektare per kepala keluarga, bertujuan untuk ditanami varieats lokal, dan dikelilingi sekat bakar agar api tidak menjalar.
Selain di dalam Undang-Undang, aturan terkait pembukaan lahan dengan kearifan lokal juga terdapat di level kementerian. Aturan tersebut adalah Peraturan Menteri Lingkungan Hidup No.10 tahun 2010 tentang Mekanisme Pencegahan Pencemaran dan atau Kerusakan Lingkungan Hidup yang Berkaitan dengan Kebakaran Hutan dan/atau Lahan. Peraturan ini memberikan legitimasi kepada masyarakat adat untuk dapat membuka lahan dengan cara membakar. Namun, tindakan ini dibatasi dengan luasan maksimum 2 hektare per kepala keluarga dan terdapat kewajiban untuk melapor kepada kepala desa.
Di tingkat daerah, sempat terdapat pula beberapa peraturan terkait pembukaan lahan sesuai dengan kearifan lokal yang terbit sebelum Peraturan Pemerintah No. 71 tahun 2014. Contohnya, Peraturan Gubernur Kalimantan Tengah No. 52 tahun 2008 tentang Pedoman Pembukaan Lahan dan Pekarangan Bagi Masyarakat di Kalimantan Tengah sebagaimana diubah dengan Peraturan Gubernur Kalimantan Tengah Nomor 15 tahun 2010. Dalam peraturan ini pembukaan lahan dan pekarangan dengan cara membakar harus mendapat izin dari pejabat berwenang, yaitu camat, lurah, atau ketua RT.
Dengan adanya pembatasan-pembatasan di atas, maka pelaksanaan peraturan-peraturan terkait pembukaan lahan dengan cara membakar perlu pengawasan yang baik dan terkoordinir agar perlindungan atas kearifan lokal tidak disalahgunakan untuk kepentingan lain yang merugikan lingkungan di kemudian hari.