Ajari aku mencintai sawit
Oleh Admin Pantau GambutProgram Peningkatan Penyediaan Pangan Nasional (Food Estate) merupakan salah satu Program Strategis Nasional yang dicanangkan pemerintah, sebagaimana tercantum dalam Perpres No.109/2020. Meskipun program ini ditujukan untuk menjaga ketahanan pangan nasional, sejumlah kajian menilai pendekatan food estate tidak efektif dan belum menyentuh akar permasalahan. Program food estate di Kalimantan Tengah menjadi sorotan karena dikembangkan di lahan eks-pengembangan lahan gambut (PLG) yang gagal di era Presiden Soeharto.
Lahan gambut berperan penting dalam mitigasi dan adaptasi perubahan iklim. Ekosistem ini dapat menyimpan karbon 20 kali lebih banyak dibandingkan dengan hutan hujan tropis atau tanah mineral. Lahan gambut juga menyimpan sekitar 10% cadangan air tawar dunia, serta memiliki keanekaragaman hayati yang tinggi.
Di sisi lain, gambut sangat rentan terhadap gangguan. Lahan gambut dikategorikan sebagai lahan marjinal karena dalam kondisi alaminya, gambut memiliki kesuburan yang rendah, pH yang sangat masam, dan selalu tergenang. Meskipun begitu, tidak menutup kemungkinan lahan ini akan digunakan untuk pengembangan food estate.
Hingga tulisan ini diturunkan, pemerintah belum mengumumkan lokasi detail mengenai kawasan eks-PLG yang akan digunakan untuk program ini. Informasi yang beredar hanya sekadar lokasi umum. Tetapi belum ada informasi detail sehingga menyulitkan masyarakat sipil dan akademisi dalam melakukan analisis risiko terjadinya alih fungsi lahan gambut dan hutan. Kurangnya informasi ini dapat menghambat pemantauan pengembangan lahan di atas gambut serta dapat memicu adanya konflik antara masyarakat dengan pihak yang terlibat dalam program tersebut.
Berikut adalah hasil analisis kami mengenai tiga jenis kawasan gambut yang perlu dihindari dalam pengembangan food estate:
1. Lahan gambut dengan kedalaman > 1 meter
Lahan gambut berkategori kedalaman sedang sampai sangat dalam (> 1 meter) memiliki daya menahan beban yang rendah, sehingga tidak dianjurkan sebagai lahan pertanian. Karena memiliki tingkat kesuburan yang rendah, lahan ini juga sangat bergantung pada lapisan mineral di bawahnya untuk memenuhi kebutuhan nutrisi tanaman.
Di sisi lain, semakin dalam gambut, semakin banyak pula cadangan karbonnya. Gambut berkedalaman 12 meter dapat menyimpan cadangan karbon hampir 22.3 Gt, sehingga potensi kehilangan karbon semakin besar apabila diubah menjadi lahan pertanian.
Singkatnya, semakin dalam gambut, semakin rendah potensinya untuk budidaya tanaman pangan.
2. Lahan gambut bervegetasi hutan (primer dan sekunder)
Vegetasi hutan rawa gambut memiliki peranan penting dalam menjaga agar ekosistem ini tetap utuh dan menjadi salah satu dari tiga komponen kunci, selain tanah gambut dan air. Dengan utuhnya vegetasi hutan rawa gambut, keseimbangan hidrologis dan keutuhan tanah gambut akan terjaga.
Penggunaan lahan gambut untuk aktivitas pertanian biasanya diawali dengan penyiapan lahan, yang biasanya dilakukan dengan penebangan vegetasi alami hutan rawa gambut sekaligus pembuatan kanal-kanal drainase. Ini adalah awal dari degradasi lahan gambut berupa penurunan muka air tanah, dekomposisi tanah gambut, emisi gas rumah kaca, hingga penurunan permukaan tanah gambut. Emisi karbon yang terukur pada lahan gambut terbuka tanpa vegetasi sebesar 62,25 ton CO2/ha/tahun, setara dengan membakar lebih dari 26.000 liter bensin.
Vegetasi rawa gambut asli memiliki kerapatan biomassa yang tinggi, berkisar antara 56 sampai 200 ton karbon/ hektar, hampir sama dengan hutan primer di lahan mineral dan 40 kali lebih besar dari cadangan karbon lahan padi. Hilangnya vegetasi alami hutan rawa gambut yang disertai dengan kegiatan drainase menyebabkan gambut kehilangan kemampuan alaminya untuk menyimpan karbon dan menyerap air. Dalam kondisi ini, gambut akan menjadi kering dan sangat mudah terbakar jika terkena percikan api, sehingga tidak hanya menghasilkan karbon, tetapi juga gas-gas rumah kaca lainnya, seperti metana, yang 21 kali lebih berbahaya daripada karbon dioksida.
3. Lahan gambut dengan fungsi lindung
PP No.71/2014 jo. PP No. 57/2016 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Ekosistem Gambut membedakan dua fungsi ekosistem gambut, yaitu fungsi lindung dan fungsi budi daya. Fungsi lindung terkait dengan perlindungan dan penyeimbangan tata air serta penyimpan karbon di suatu kawasan gambut. Ketika fungsi ini mengalami kerusakan, ekosistem menjadi rentan terdegradasi sehingga bencana kebakaran lebih mudah terjadi.
Peraturan perundang-undangan di Indonesia tidak mengatur tentang kriteria dalam mengubah fungsi lindung gambut menjadi fungsi budi daya. Namun, pemerintah wajib menetapkan kawasan ekosistem gambut dengan fungsi lindung paling sedikit seluas 30% dari seluruh kesatuan hidrologis gambut (KHG)[1]. Jadi, lahan gambut di dalam dan luar kawasan hutan yang mempunyai fungsi lindung tetap harus dilindungi.
Kebijakan food estate yang mengubah kawasan hutan tanpa memerhatikan fungsi lindungnya bertentangan dengan peraturan tersebut. Menurut Permen LHK No. 24/2020 tentang Penyediaan Kawasan Hutan untuk Pembangunan Food Estate, terdapat dua cara yang dapat ditempuh, yaitu melalui perubahan peruntukan kawasan hutan atau melalui penetapan kawasan hutan untuk ketahanan pangan (KHKP).
Namun, kriteria dalam kedua cara tersebut tidak mengecualikan kawasan hutan yang merupakan lahan gambut dengan fungsi lindung. Dengan demikian, ada potensi dibukanya lahan gambut dengan fungsi lindung untuk kegiatan food estate. Kebijakan ini juga dapat mengakibatkan alih fungsi ekosistem gambut lindung di luar kawasan hutan lindung, termasuk kawasan hutan produksi (KHP) dan areal penggunaan lain (APL). Menurut analisis WRI, terdapat sekitar 883.475 ha lahan gambut dengan fungsi lindung yang berada dalam kawasan eks-PLG, dimana 92% berada di hutan konservasi dan lindung, 4% berada di hutan produksi, dan 4% berada di APL.
Peta No-Go Zone Kawasan Eks-PLG
Peta “no-go zone” adalah peta indikatif kawasan dengan nilai konservasi tinggi yang perlu dilindungi dan dihindari dalam pengembangan program food estate dengan menganalisa tiga kriteria kawasan di atas. Dari hasil peta no-go zone tersebut terindikasi bahwa luas wilayah yang sebaiknya dihindari untuk dijadikan lahan pertanian adalah 1.091.973,67 hektar (74%) dari seluruh total kawasan eks-PLG (1.473.180,4 hektar).
Perlindungan dan pengelolaan lahan gambut sebaiknya dilakukan dengan pendekatan berbasis KHG, karena ekosistem ini merupakan tatanan unsur gambut yang merupakan satu kesatuan utuh menyeluruh yang saling mempengaruhi dalam membentuk keseimbangan, stabilitas, dan produktivitasnya. Hal ini penting dilakukan untuk melestarikan dan mencegah terjadinya kerusakan fungsi ekosistem gambut.
Belajar dari kegagalan proyek PLG serta dampaknya terhadap kerusakan lingkungan dan percepatan degradasi gambut, sudah selayaknya pemerintah lebih berhati-hati dalam penggunaan lahan gambut untuk food estate. Pembukaan gambut sebagai lahan pertanian tanpa perlakuan khusus akan membuat kondisi ekosistem alami gambut yang basah menjadi kering sehingga meningkatkan potensi kebakaran dan degradasi lahan.
Melakukan aktivitas pertanian di lahan gambut sepatutnya memperhatikan hal-hal berikut:
[1] Kesatuan Hidrologis Gambut adalah ekosistem gambut yang letaknya di antara 2 (dua) sungai, di antara sungai dan laut, dan/atau pada rawa.
*TULISAN INI SEBELUMNYA TAYANG DI WEBSITE WRI INDONESIA PADA TANGGAL 17 MARET 2021 DENGAN JUDUL YANG SAMA"