Oleh Nadine Zamira
dari Mantangai Hulu, Palangkaraya

Larangan pembakaran lahan menjadikan masyarakat gambut kesulitan untuk mengolah tanahnya. Dalam perjalanan ini, dapat terlihat bagaimana masyarakat melakukan upaya keras untuk tetap bisa menjadikan gambut sebagai lahan usaha tanpa perlu membakarnya. Oleh sebab itu, pemerintah perlu melibatkan masyarakat dalam mengambil kebijakan terkait gambut.

“Berapa lama lagi?” saya bertanya. “Sudah dekat, sekitar 20 menitan” jawab pengemudi kami. Satu jam kemudian kami masih dalam perjalanan. Jalanan yang bergelombang karena dibangun di atas tanah gambut yang memang berongga. Mungkin persepsi ruang dan waktu berbeda di sini pikir saya seorang anak kota yang terbiasa dikelilingi gedung pencakar langit. Bagaimana tidak jika yang terlihat di sekujur kaki langit hanyalah hamparan ruang terbuka. Lensa zoom kamera pun saya atur untuk dapat menangkap landscape membentang.

Kali ini saya menuju Desa Mantangai Hulu di tepian Sungai Kapuas, Kalimantan Tengah dimana ada sekelompok petani progresif yang hendak kami temui. Selama 3 hari kedepan saya akan mengalami sendiri apa arti ‘gambut’ bagi mereka. Tidak sabar, karena ‘environmentalist’ yang satu ini belum pernah menginjakkan kaki di atas lahan gambut.

Kami disambut di kediaman Pak Noerhadi Karben, tokoh desa dan penggerak kelompok tani ‘Manggantang Tarung.’ Rumah Pak Noerhadi juga merupakan Balai Belajar Informasi Gambut, dengan perpustakaan sederhana. Kelompok tani yang sekarang dikepalai Pak Basri terbentuk karena konflik lahan dengan perkebunan sawit sekitar.

Sajian kue buatan tangan, istri Pak Noerhadi kami lahap dengan bahagia. Favorit saya adalah ‘salada jawau’ semacam manisan dari parutan singkong dan kelapa yang pas sekali dinikmati dengan kopi manis. Selama kami tinggal di sana, kamipun terus dimanjakan dengan hidangan lezat berbagai jenis ikan, sayur, sambal sereh dan nasi hasil pertanian dan kolam penangkapan ikan ekosistem gambut. Bagi penghuni Desa Mantangai Hulu, gambut adalah sumber kehidupan.

Masyarakat di sini telah menjadi saksi krisis lingkungan sejak tahun 1997 ketika program Pengembangan Lahan Gambut (PLG) 1 juta hektar pemerintah merambah hutan primer untuk menyediakan lahan pertanian padi baru. Kanal-kanal besar dibuat untuk mengeringkan hutan gambut agar mudah dibakar.

“Saya masih ingat suara riuh binatang yang menuju ajalnya karena hutan terbakar,” kata Pak Noerhadi. “Sampai sekarang galian-galian besar itu selalu terbakar sehingga kami sebut sebagai ‘jalur neraka,’” lanjutnya. Tetiba sayapun merinding. “Kalau ada kebakaran kecenderungannya lahan langsung ditanami sawit oleh ‘mereka’. Padahal lahan disini adalah tanah adat leluhur, hak rakyat untuk mengelolanya,” paparnya.

Saat kebakaran besar di tahun 2015 asap begitu tebal sehingga jalanan di depan rumah pun tidak terlihat. Tudingan bahwa petani kecilah yang menyebabkan titik-titik kebakaran direspon dengan percobaan bertani tanpa bakar oleh kawan-kawan Manggantang Tarung. Dengan kelotok kayu, kami dibawa menyusuri lekukan-lekukan anak sungai Kapuas Hulu sampai ke lahan pertanian gambut mereka. Ibu-ibu ikut bersama rombongan kelotok untuk mengambil bahan lauk makan malam nanti. Merekapun bagian dari Solidaritas Perempuan yang turut memperjuangkan hak atas tanah. Sekujur lahan terlihat tebu, singkong, nanas, pisang, padi dan beberapa pohon produktif ramah gambut seperti galam. (Langsung Google galam: pohon berkayu yang dipakai untuk kayu bakar dan bahan bangunan rumah).

Pak Basri, kepala 'Manggantang Tarung' mengakui bahwa upaya ini masih dalam percobaan. Kadar keasaman dalam tanah gambut tinggi, sehingga jika tidak dibakar hasil panen kurang maksimal. Jika pembakaran lahan harus dilakukan merekapun bergiliran dan membangun sekat bakar untuk menahan penyebaran api. “Sayangnya belum semua anggota mencoba sistem ini dampaknya antara lain hama berkumpul pada petak-petak percobaan,” katanya. “Tetapi dalam skala kecil kami berhasil, setidaknya untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Kami akan terus berusaha sehingga bisa menjadi contoh bagi desa-desa lain,” lanjut Pak Basri yang sekarang sudah memiliki 10 hand-tractor bantuan dari pemerintah yang dapat membantu persiapan lahan.

Saat ini penghasilan utama desa Mantangai Hulu berasal dari pohon karet tetapi harga karet yang jatuh di pasar membuat mereka mencoba berkebun kayu sengon. “Kami yang tahu jenis terbaik untuk ditanam, yang pasti harus tanaman lokal dan tahan kondisi gambut. Jadi kami tidak langsung percaya jika ada program masuk.” kata Pak Noerhadi.

Perjalanan dengan kelotok kecil menyusuri kanal-kanal untuk sampai ke lahan pertanian membuat saya berpikir mengenai infrastruktur yang diperlukan agar mereka dapat memperoleh keuntungan ekonomi dari upaya bertani tanpa bakar. Melihat kelompok tani ini saya semakin percaya bahwa pelibatan masyarakat dalam pemanfaatan dan pengelolaan adalah bagian penting dari upaya memulihkan gambut.

Dari duduk bercakap-cakap dengan mereka saya diingatkan kembali akan ikatan komunal yang menjadi karakteristik masyarakat Indonesia tetapi terasa sangat kuat disini. Bukan hanya ikatan pada keluarga tetapi ikatan pada tanah leluhur.

Di desa inipun terdapat lokasi-lokasi yang dikeramatkan suku Dayak penganut kepercayaan Kaharingan untuk menghargai roh nenek moyang. Di lokasi keramat seperti ini dilarang melakukan aktivitas seperti menebang pohon dan berburu. Ternyata arti kata 'Kaharingan' itu sendiri adalah HIDUP. Ketika berjalan menyusuri desa ini kami menemukan balai Kaharingan, Mesjid dan Gereja dengan letak berdekatan. Peaceful people.

Sambil memperlihatkan rumah upacara di tepi Sungai Kapuas yang dikelilingi kain kuning Pak Noerhadi, calon kepala desa menceritakan mimpinya bagi Mantangai Hulu. “Bayangkan saja desa wisata dengan konsep ‘eco-budaya’. Pengunjung bisa belajar adat suku Dayak dan bagaimana kami menghargai alam, tinggal bersama penduduk, tur hutan gambut dengan kelotok dan melihat upaya pertanian kami. Tanah dan alam bukan hanya tempat tinggal tetapi sumber kehidupan. Hal ini dikonfirmasi Pak Basri yang mengatakan “Hidup mati kami disini. Jangan sampai kami tinggalkan ilmu kampung.” Tersirat tanggung jawab untuk menjaga, hanya saja hak atas wilayah adat mereka harapkan tetap diakui dan dilindungi.

Memang, penting juga bagi kita untuk memantau dan mendukung perubahan secara makro. Sayapun turut mengikuti perkembangan kebijakan berikut kinerja pemerintah dan pelaku restorasi lainnya. Secara pribadi saya mencoba melihat trend, apakah mengarah pada perbaikan yang terukur dan visible? Apakah turut melindungi mereka yang menggantungkan hidupnya pada tanah gambut seperti kelompok tani ‘Manggantang Tarung’? Apakah kendala yang ditemui dikelola secara partisipatif? Kalau sebelumnya butuh belasan tab untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan ini, sekarang ada cara mudah untuk mengakses informasi, memantau, dan menanggapi komitmen  restorasi  melalui pantaugambut.id.

Kebanyakan dari kita mungkin merasa tidak terhubung dengan masalah lahan gambut, dan kebakaran hutan, apalagi perubahan iklim. Terlalu kompleks, terlalu jauh, tidak mengancam hidup kita saat ini. Seakan mengkonfirmasi cara pandang umum ini, sebuah media yang hendak mengundang saya dalam segmen acaranya mengatakan gambut terlalu ‘politis’ untuk dibahas. Hmmmm permasalahannya memang topik ‘sulit’ seperti ini dapat dimaknai berbagai cara, tergantung lensanya.

Karena saya pemerhati lingkungan, mudah bagi saya untuk memandang persoalan gambut sebagai isu lingkungan dan fungsinya sebagai pengatur karbon dalam mencegah perubahan iklim. Terdengarnya saja sudah rumit. Tetapi saya tergerakkan oleh perspektif yang sangat jelas dalam perjalanan kali ini. Permasalahan di lahan gambut seperti kekeringan, konflik lahan, dan kebakaran hutan adalah realita hidup sehari-hari. Bagi Kelompok tani Manggantang Tarung makna ekosistem gambut adalah hidup. Simple. Dengan mengatur lensa sedikit mungkin kita bisa memahami bahwa sebenarnya demikian juga maknanya bagi kita semua.

Dukung Kami

Bagikan informasi ini kepada keluarga dan teman-temanmu.