Karhutla Berulang, Cerminan Buruk Perlindungan Gambut
Oleh Hairul SobriPara transmigran asal Jawa yang tinggal di Kabupaten Ogan Komering Ilir, Sumatra Selatan, telah melakukan upaya pengolahan gambut dengan berbagai cara. Salah satunya adalah teknik sonor, yaitu praktik penebaran benih dengan sistem pembakaran lahan terlebih dulu. Teknik ini telah dipraktikkan selama bertahun-tahun.
Pak Sukirman adalah seorang transmigran asal Jawa yang telah tinggal di Sumatra, tepatnya di wilayah Desa Nusantara, Kabupaten Ogan Komering Ilir (OKI), sejak 1981. Saat pertama kali menginjakkan kaki di desa tersebut, ia dan para transmigran lainnya belum mengenal apa itu gambut dan bagaimana masyarakat bisa mengolahnya untuk memenuhi kebutuhan mereka. Selama dua tahun, ia dan masyarakat lainnya masih belum bisa bercocok tanam di wilayah tersebut karena karakteristik lahan gambut yang jauh berbeda dengan tanah di Pulau Jawa.
“Nah, sampai di situ, sampai di Sumatra itu, bulan enam tahun 1981 itu, ya kita kaget. Kita dapat jatah dari pemerintah itu kan dua tahun, tapi belum bisa mengolah lahan itu dengan baik karena gambut itu identik dengan banyak air,” tutur Pak Sukirman.
Setelah peristiwa kebakaran lahan pada 1982, gambut di wilayah Desa Nusantara menjadi kering sehingga masyarakat berinisiatif untuk menebarkan benih-benih tanaman seperti jagung, bayam, mentimun, dan ubi kayu. Saat itu, kondisi lahan gambut masih berupa kayu-kayu yang bertumpuk sehingga selesai musim kemarau 1983, barulah masyarakat bisa menanam di atas lahan tersebut. Namun, teknik penanaman di atas lahan gambut pun tidak semudah yang dibayangkan. Butuh waktu yang cukup lama bagi masyarakat Desa Nusantara untuk dapat memahami karakteristik gambut dan menjadikan lahan gambut yang telah terbakar sebagai lahan usaha.
“Awalnya memang susah. Harus menebas dulu, biasanya ada partisan dan rasau yang tumbuh sehingga lahan sulit untuk dibuka. Tapi, jika dibantu dengan panas matahari dan musim kemarau, itu mudah. Dari satu kecamatan, ada sekitar 42 ribu hektar lahan gambut di 19 desa. Saat ini, lahan tersebut menjadi lahan produktif,” papar Pak Sukirman lebih lanjut.
Seiring berjalannya waktu, masyarakat OKI pun menjadi paham bahwa gambut adalah lahan subur yang bisa menumbuhkan berbagai jenis tanaman, seperti kopi, padi, kelapa, dan tanaman palawija lainnya.
Pada 2005, barulah pemerintah memberikan perhatian pada warga-warga transmigran di Kabupaten OKI dengan mengadakan program-program pertanian. Sayangnya, pemerintah menganggap bahwa masyarakat tidak dapat mengolah lahan gambut sehingga banyak program yang dicanangkan tidak sesuai dengan teknik budidaya di lahan gambut yang dilakukan oleh masyarakat setempat.
Habibi, pemuda asal Desa Perigi yang tergabung dalam Komunitas Masyarakat Pengelola Rawa Gambut (KOMPAG), menyatakan bahwa ada beberapa pengadaan program dari pemerintah yang tidak sesuai dengan kebudayaan dan kearifan lokal masyarakat OKI. Misalnya saja, pengadaan program pada 2006 yang dilakukan oleh pemerintah untuk menanam bibit sawit di lahan gambut.
“Padahal, sudah jelas sawit membuat gambut jadi kering. Jadwal tanam pun berbeda, setahun sekali. Jika salah, merugikan masyarakat,” tutur Habibi.
Secara turun-temurun, masyarakat Desa Perigi telah melakukan pengolahan gambut dengan teknik sonor, yaitu pembakaran lahan yang dilakukan sebelum menabur benih. Setiap warga akan membakar lahan sebesar maksimal dua hektar untuk kepentingan tabur benih. Masyarakat bersama-sama membakar lahan dan mematikan apinya agar tidak menjalar ke lahan lainnya. Setelah kering, barulah dilakukan penebasan pada tanaman-tanaman yang berada di atas gambut, lalu menebarkan bibit-bibit tanaman di atasnya.
Lahan gambut perlu dibakar untuk mengurangi pirit, yaitu senyawa yang akan teroksidasi dalam keadaan kering. Namun, jika pirit yang sudah teroksidasi itu terkena air, maka akan menjadi asam sulfat yang sangat asam sehingga mengganggu dan meracuni akar tanaman. Oleh sebab itu, pirit pada lahan gambut harus dihilangkan dengan cara dibakar.
“Rumput yang sudah dimatikan dengan herbisida akan menjadi karat karena pirit yang menempel dan mengering sehingga menjadi penyakit padi. Tapi, jika dibakar, itu akan mengurangi pirit,” jelas Habibi.
Sayangnya, Undang-Undang dan peraturan pemerintah terkait larangan pembakaran lahan menjadi tantangan yang cukup merugikan masyarakat OKI. Teknik sonor sudah tidak bisa dilakukan lagi sehingga diperlukan upaya yang lebih keras agar dapat mengolah lahan gambut menjadi lahan usaha. Hal ini tentu saja berdampak pada sistem perekonomian masyarakat Kabupaten OKI.
Selama bertahun-tahun, masyarakat OKI hanya menggunakan hasil panen untuk kebutuhan sehari-hari. Seiring berjalannya waktu, hasil panen yang cukup banyak pun dapat digunakan untuk kepentingan membuat rumah hingga menyekolahkan anak-anak mereka. Setelah diterbitkannya larangan pembakaran hutan, masyarakat kembali kesulitan memenuhi kebutuhan hidup.
Padahal, baik Pak Sukirman maupun Habibi mengatakan bahwa kebakaran lahan gambut yang terjadi di wilayah mereka bukan karena teknik sonor yang selama ini dilakukan masyarakat OKI, melainkan karena kanalisasi yang dilakukan oleh perusahaan-perusahaan perkebunan sawit. Perkebunan sawit membuat gambut di sekitarnya menjadi kering dan mudah terbakar sehingga mau tidak mau, masyarakat hanya bisa menanam karet dan kopi.
Masyarakat OKI telah menolak masuknya para investor. Namun, kekuatan pemerintah di sini lebih berkuasa daripada masyarakat itu sendiri sehingga masyarakat hanya bisa mengikuti aturan yang diberlakukan. Bagi masyarakat OKI, pemerintah seyogianya melibatkan masyarakat yang telah memiliki pemikiran dan pengalaman langsung tentang gambut sebelum membuat kebijakan, terutama mengenai izin pembukaan lahan bagi para investor.
“Gambut harus dikelola oleh pemodal besar? Itu keliru. Jika restorasi gambut tidak menyesuaikan dengan alam, maka tidak akan berhasil,” ungkap Pak Sukirman.
Lebih lanjut lagi, masyarakat OKI juga berharap jika pemerintah menerapkan konsep lindung untuk lahan gambut agar terdapat ruang gambut yang tidak terganggu. Dengan begitu, tata kelola lahan akan sejalan dengan tata perekonomian masyarakat gambut. Selain itu, pemerintah juga sebaiknya tidak mengubah pola pengelolaan lahan para petani yang sudah dilakukan secara turun-temurun. Kalaupun ingin memberikan tambahan, jangan mengubah yang sudah ada.