Masihkah Layak Indonesia Disebut Negara Agraris?
Oleh Abil Salsabila dan Yoga AprilliannoSebagian besar wilayah gambut yang ada di Indonesia, terutama Kalimantan dan Sumatra, terdiri atas rawa-rawa yang tergenang air sepanjang tahun. Rawa-rawa ini memiliki gambut dengan kandungan unsur hara yang tinggi sehingga membuat berbagai macam tanaman bisa tumbuh.
Salah satu tanaman yang tumbuh liar di dekat air atau rawa gambut adalah purun. Tanaman ini sejenis dengan daun pandan yang hidup di sekitar rawa dan bersifat mudah terbakar jika dalam kondisi kering akibat adanya reaksi gas metan yang terkandung di dalam gambut. Tanaman ini berwarna abu-abu hingga hijau dengan bentuk daun yang mengecil dan ujung simetris yang berwarna kemerah-merahan.
Hingga saat ini, purun dimanfaatkan sebagai bahan pembuatan kerajinan tangan oleh kelompok perempuan di berbagai wilayah gambut, seperti di Sumatra Selatan, Jambi, Kalimantan Selatan, dan beberapa wilayah gambut lainnya.
Sayangnya, pengelolaan purun dirasa kurang optimal karena masih banyak masyarakat di luar wilayah gambut yang belum mengetahui tanaman dan hasil kerajinan purun ini. Apalagi, sudah banyak tikar berbahan sintesis yang dianggap lebih praktis dan ekonomis.
Pengolahan purun dilakukan oleh sekelompok perempuan di wilayah gambut dengan mengambilnya di siang hari, yaitu ketika air sedang surut. Para perempuan ini mengambil purun-purun liar di sepanjang jalan dan rawa dengan menggunakan parang maupun sabit. Setelah itu, purun dijemur hingga kering dan dipotong bagian pangkal dan ujungnya hingga bersih. Kemudian, purun ditumbuk dengan menggunakan kayu dan diwarnai dengan cara merendamnya di dalam air mendidih yang sudah ditambahkan pewarna dari bahan getah maupun kulit buah. Setelah itu, barulah seratnya dianyam dan dibentuk menjadi berbagai kerajinan tangan seperti tikar, tas, dompet, sandal, dan lain-lain.
Hasil kerajinan purun ini biasanya selesai dikerjakan dalam waktu 2 sampai 4 hari dan dijual dengan harga 20 sampai 75 ribu rupiah. Untuk harga tikar biasanya disesuaikan dengan lebar dan motifnya. Biasanya, lebar tikar purun adalah sebesar 1,5 meter x 50 sentimeter. Kerajinan purun ini merupakan tradisi turun-temurun yang biasa dilakukan oleh kaum perempuan di wilayah gambut sejak usia 10 tahun.
Selain dapat dimanfaatkan sebagai sumber perekonomian masyarakat, purun juga dapat digunakan sebagai bahan pupuk organik untuk meningkatkan kesuburan tanah di lahan gambut. Gabungan purun dengan kapur dapat digunakan untuk menyediakan unsur-unsur hara pada tanah gambut pedalaman agar dapat diserap oleh berbagai tanaman, terutama jagung.
Lebih lanjut lagi, purun yang tumbuh di saluran-saluran air juga bermanfaat untuk memperbaiki kualitas air pada musim kemarau dan menyerap zat-zat beracun yang ada di dalam air, seperti besi, timbal, dan merkuri. Kandungan air yang cukup banyak di dalam purun juga bermanfaat untuk mencegah, menanggulangi, dan meminimalisasi kebakaran di lahan gambut.
Dulu, hampir seluruh lahan gambut dangkal yang basah ditumbuhi dengan purun sehingga air di lahan gambut lebih bersih, lahannya terhindar dari kebakaran, dan masyarakat dapat dengan mudah memperoleh bahan dasar kerajinan purun. Namun, setelah banyak lahan gambut yang dialihfungsikan menjadi perkebunan sawit, lahan menjadi lebih kering dan masyarakat menjadi lebih sulit menemukan purun. Perajin purun di beberapa tempat harus mengayuh sampan dan membeli purun dari wilayah lain dengan harga dua kali lipat.
Manfaat purun yang banyak ini tentu harus dipertahankan, yakni dengan cara melindungi lahan gambut agar tidak dialihfungsikan secara mudah.
Mari lindungi gambut dengan memantau komitmen pemerintah dan pihak-pihak terkait dalam restorasi gambut atau berbagi cerita tentang gambut di sini!