Oleh Admin Pantau Gambut
dari PantauGambut.id

Tepat pada Hari Bumi, 22 April lalu, Presiden Joko Widodo, menghadiri Konferensi Tingkat Tinggi untuk Perubahan iklim secara virtual dari Istana Kepresidenan Bogor. Pada pertemuan itu, Jokowi mengatakan, Indonesia berhasil menekan laju kebakaran hutan sebesar 62% dan terendah dalam 20 tahun terakhir. Presiden juga menyatakan, Indonesia berhasil menghentikan konversi hutan alam dan lahan gambut seluas 66 juta hektar.

Kalau yang dimaksud penurunan ini terjadi pada periode 2020-2021, barangkali bisa jadi tepat. Memang, ada penurunan cukup signifikan selama 2020. Di Riau, tercatat “hanya“ 15.442 hektar hutan dan lahan terbakar atau turun jauh dari 2019 seluas 90.550 hektar berdasarkan data pantauan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) di laman SiPongi.

Jokowi dapat mengapresiasi data itu. Namun, Jokowi tidak boleh abai bahwa sampai Mei i 2021 ini ada 4.813,00 hektar luasan hutan yang terbakar di Indonesia. Kalimantan Barat berada di posisi teratas dengan luasan terbakar 1,268,0 hektar. Untuk empat bulan pertama, ini angka cukup besar.

Bagaimana dengan Riau?

Riau berada pada urutan ketiga, dengan luasan terbakar 851 hektar dan rata-rata kebakaran terjadi awal 2021. Jumlah titik panas tertinggi terjadi dalam Februari dengan 10 titik panas serta Maret dengan 16 titik panas melalui pantauan satelit SNPP LAPAN.

Pada April, masyarakat Riau yang tengah menjalani ibadah puasa dapat bernapas lebih lega. Tidak banyak titik panas terpantau di bulan ini berdasarkan data LAPAN. Imun tubuh dan paru-paru pun tidak perlu bekerja lebih keras melawan virus dan paparan asap.

Saya tidak dapat membayangkan, tanpa polutan buruk asap saja, Riau sudah masuk dalam 10 besar provinsi dengan kasus positif COVID-19. Data per 5 Mei, kasus COVID-19 di Riau sebanyak 46.061 orang.

Kalau sampai dua bencana ini mengadang bersamaan, bukan tidak mungkin tsunami COVID-19 terjadi di Riau. Angka paparan corona pada akhir April lalu, cukup tinggi dan memecahkan rekor sejak awal pandemi.

Perhatian harus serius buat kebakaran hutan ini. Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) Pekanbaru telah memperingatkan bahwa 2021 akan lebih kering dibanding tahun lalu. BMKG memperkirakan musim kering mulai Mei dan mencapai puncak pada Juli. BMKG memang mengklaim, musim kering tahun ini tak akan separah 2015, namun tetap saja potensi kebakaran hutan dan lahan cukup tinggi.

Riau banyak berlahan gambut. Karakteristik gambut Indonesia, terutama Riau, sangat unik. Kalau Kanada yang memiliki lahan gambut terluas di dunia saja hanya memiliki rata-rata kedalaman gambut sekitar tiga meter, Riau rata-rata 15-20 meter dengan total cadangan karbon 14.605 juta ton. Ini merupakan cadangan karbon tertinggi di Sumatera bahkan Asia Tenggara.

Pemerintah Riau telah berkomitmen mendukung program restorasi lahan gambut. Berdasarkan Peta Indikatif Restorasi Gambut 2016, di Riau ada 814.714 hektar wilayah target restorasi gambut. Seluas 37.567 hektar berada di kawasan konservasi dan 69.779 hektar ada di kawasan hutan ataupun areal penggunaan lain yang tidak terbebani izin. Sekitar, 87% dari areal target restorasi ada di konsesi kehutanan atau perkebunan.

Pada akhir masa kerja periode pertama BRG telah merestorasi 78.649 hektar gambut di Riau. Angka ini cukup besar meski pertanyaan muncul: bagaimana restorasi di konsesi perusahaan?

Secara nasional, dari total 892.248 hektar lahan gambut areal non-konsesi, 778.181 hektar dilaporkan sudah terestorasi. Dari total 1.784.353 hektar lahan gambut di areal konsesi, sebanyak 523.113 hektar dilaporkan pemerintah berhasil diselamatkan. Informasi ini dilewatkan oleh Jokowi pada forum internasional itu.

Perangkat aturan yang diklaim Jokowi mampu menekan angka kebakaran hutan dan lahan, nyatanya sering kali diabaikan, apalagi oleh korporasi.

Ambil contoh, dalam Permen LHK Nomor 16/2017 tentang Pedoman Teknis Pemulihan Fungsi Ekosistem Gambut. Aturan ini menyatakan, areal gambut dalam lahan konsesi, sepenuhnya jadi tanggung jawab korporasi dalam menjaga, mencegah, hingga memadamkan kalau terjadi kebakaran. Aturan ini juga memerintahkan pemilik konsesi dengan areal terbakar ditanami kembali, tentu dengan vegetasi alami lahan itu, bukan dengan tanaman produksi korporasi.

Dalam aturan sama, korporasi juga diperintahkan membangun sekat kanal serta bangunan air lain di areal miliknya.

Hasil analisis Kaliptra Andalas bersama Pantau Gambut, kepada 11 korporasi, lahan bekas terbakar kini ditanami akasia dan sawit dari berbagai usia. Tentu saja ini melanggar amanat permen ini.

Tidak sampai di situ, korporasi yang memiliki areal fungsi ekosistem gambut (FEG) lindung, ditemukan ada aktivitas penanaman akasia dan sawit. Padahal, sudah jelas aturan menyebutkan harus tetap mempertahankan fungsi ekosistem gambut lindung.

Korporasi-korporasi membandel ini, tentu saja suatu saat akan bikin malu Indonesia di mata internasional yang sudah diklaim Jokowi berhasil mengatasi kebakaran hutan. Lalu Gubernur Riau, Syamsuar kala di awal pemerintahan sangat menjanjikan Riau lebih hijau, ternyata tidak menunjukkan kemajuan.

Dalam konteks restorasi gambut, sejauh ini belum ada informasi dan data valid serta dapat terakses publik mengenai kemajuan restorasi oleh korporasi.

Edwin Pratama Putra, anggota DPD Riau dalam sebuah diskusi daring beberapa waktu lalu mengatakan, perlu ada audit kepatuhan bagi perusahaan perkebunan dan hutan tanaman industri (HTI) mengenai restorasi gambut. Audit ini juga harus dilengkapi keterbukaan informasi dan data bagaimana kinerja perusahaan dalam restorasi gambut.

Data ini dinilai penting dalam mendorong transparansi dan inklusivitas, hingga publik dapat terlibat aktif dalam mengawasi perlindungan ekosistem gambut. Dengan begitu, kerja Gubernur Riau, tidak akan susah karena memberikan ruang keterlibatan publik.

“Kalau seandainya pemerintah provinsi merilis (data hasil pengawasan) ini, dan memberikan ruang diskursus luas bagi masyarakat, publik akan berterima kasih. Dengan begitu beban fungsi kontrol itu bisa dilakukan masyarakat juga,” katanya.

Kala itu, Erwin mengatakan, informasi dan data ini jarang sekali terbuka kepada publik. “Kalaupun dibuka, pasti setengah-setengah. Ini harus jadi catatan keras bagi kita.”

Hingga kini, publik masih menanti keterbukaan restorasi di area konsesi korporasi.

 

*Penulis merupakan Koordinator Simpul Jaringan Pantau Gambut Riau dan Direktur Kaliptra Andalas

**TULISAN INI SEBELUMNYA DIPUBLIKASIKAN DI PORTAL MEDIA ONLINE MONGABAY.CO.ID PADA TANGGAL 20 MEI 2021**  

Dukung Kami

Bagikan informasi ini kepada keluarga dan teman-temanmu.