Membawa Purun dari Pinggir ke Tengah
Oleh Budi KurniawanSiang itu, waktu menunjukkan pukul 13.00, Maimunah sedang menganyam purun –sejenis rumput liar tumbuhan rawa gambut— di ruang tamu rumahnya di Desa Hapalah, Banua Lawas, Tabalong, Kalimantan Selatan, pada Rabu, 22 September 2021. Di ruangan berukuran 3x3 meter itu, ia menyilang tiap helai purun untuk dibuat menjadi produk kerajinan tikar.
Saat Pantau Gambut berkunjung ke rumahnya, ada dua tikar yang sudah rampung ia anyam sedari pagi. Maimunah menuturkan, biasanya sehari paling banyak bisa membuat lima tikar, yang ukurannya 80x120 sentimeter.
“Dijual Rp 5.000 untuk satu tikar,” tuturnya.
Maimunah terampil menganyam purun sejak masih bocah. Kini usianya sudah 53 tahun. Keterampilan yang terwariskan dari orang tuanya itu dimanfaatkan untuk memenuhi kebutuhan hidupnya sehari-hari. Ia mendapat purun dari para petani di desa tempat tinggalnya. Tiap pekan paling banyak pendapatannya berjualan tikar sebesar Rp 150 ribu. Produksi tikar rata-rata 30 lembar tiap pekan.
Tikar dijual di pasar. Di sana sudah ada pengepul yang menyalurkan kerajinan purun sampai ke luar Kalimantan. "Dari pasar langsung (oleh pengepul) dijual ke Jawa,” katanya.
Memang tak dimungkiri Maimunah, penghasilan berjualan tikar sangat kecil. “Sisanya cari penghasilan lain,” ujarnya. Biasanya ia menutupi kekurangan kebutuhan hidupnya sambil bekerja sebagai buruh tani merawat lahan pertanian milik warga lainnya.
Di Tabalong, Desa Hapalah memang masyhur sebagai tempat penghasil kerajinan purun. Lahan gambutnya sebesar 77,38 persen dari keseluruhan luas 3.417 hektare lahan di kawasan itu. Sisanya merupakan tanah aluvial yang terbentuk karena endapan lumpur.
Maimunah, hanya satu dari 20 orang perajin purun di Desa Hapalah. Data demografi menunjukkan, ada 327 keluarga yang terdiri atas 1.159 orang penduduk di Desa Hapalah. Sebagian penduduk berprofesi sebagai petani padi, pekebun karet, nelayan, dan penjahit. Kerajinan purun untuk pendapatan sampingan.
Tumbuhan kuat banyak manfaat
Purun merupakan salah satu tanaman yang tumbuh subur di rawa gambut. Tumbuhan yang merupakan rumput liar itu hidup di sekitar perairan. Purun yang akan dibuat anyaman panjangnya satu meter. Ada berbagai jenis purun di Indonesia, antara lain purun danau, purun tikus, dan purun bajang. Di Kalimantan Selatan, purun bisa ditemukan di beberapa kabupaten, yaitu Barito Kuala, Hulu Sungai Selatan, Tapin, Hulu Sungai Utara, Balangan, Tabalong.
Balai Penelitian dan Pengembangan Lingkungan Hidup dan Kehutanan (BP2LHK) Banjarbaru mencatat, rumput liar rawa gambut di Desa Hapalah tergolong jenis purun danau atau lepironia articulata. “Akar purun danau bersifat simpodial, rimpang (menjalar di bawah permukaan tanah),” kata Marinus Kristiadi Harun, selaku peneliti BP2LHK.
Purun danau tumbuh di gambut dangkal, di tepi sungai, kanal, dan danau. Marinus menjelaskan, kerajinan anyaman biasanya memakai purun danau, walaupun bisa juga jenis lainnya. Ketahanan purun memang menjadi pertimbangan masyarakat untuk dibuat kerajinan, seperti bakul, tikar, topi, sedotan. “Teman saya di Mantangai (Kalimantan Tengah) punya bakul purun yang umurnya sudah 100 tahun, buatan neneknya,” tuturnya.
Purun bisa awet karena mengandung silika, yakni mineral yang tersusun dari silikon dioksida. Purun hidup di lumpur, maka tak mudah mati ketika banjir atau kebakaran. “Jika terbakar, bagian bawah (purun) masih aman,” katanya.
Keadaan lingkungan yang menyebabkan purun rusak, hanya kekeringan lahan. Kesuburan purun bergantung dengan air. “Purun bisa sebagai bio filter air dari lokasi kebun sawit,” ujarnya. Tapi, ia menegaskan, bahwa hal itu perlu tata hidrologi yang baik.
Pantau Gambut pun mendatangi lahan gambut itu ditemani oleh Mistani, 63 tahun, tokoh masyarakat Desa Hapalah yang juga petani purun. Waktu tempuh 30 menit menumpangi perahu terasa cukup melelahkan. Mistani secara berkala mematikan mesin perahu agar baling-baling tak rusak, karena terbenam lumpur. Ia sangat berhati-hati saat menyusuri tepian rimba gambut yang disebut warga sebagai sungai awang gampa. Waktu itu air sedang surut, sesekali perahu hampir terjungkal ketika tersandung kayu.
"Kalau air sedang tinggi (cukup dalam) sebentar saja sudah sampai,” kata Mistani.
Ia membudidayakan purun di ladang yang luasnya satu hektare. Sesampai di ladang, Mistani bercerita tentang harapan penghidupan dari tumbuhan endemik itu. “Sehari cuma dapat 30 ikat purun,” tuturnya. Adapun satu ikat purun berisi paling banyak 50 tangkai. Harga jual satu ikat purun Rp 2.500.
Menurut Mistani, jumlah purun yang bisa didapatkan sekarang sangat sedikit, jika dibandingkan kurun tahun 1990-an. “Dulu malah bisa dapat 60 ikat,” ucapnya.
Walaupun, potensi purun masih melimpah, tapi sektor kerajinan ia anggap belum berkembang. “Kerajinan yang dihasilkan masih tikar saja,” katanya.
Tapi, bukan berarti warga setempat enggan mempelajari cara membuat produk kerajinan yang lain. Pada 2020, sempat ada rencana pelatihan membuat beragam kerajinan purun oleh Badan Restorasi Gambut dan Mangrove, melalui tim yang berbasis di daerah. “Tapi sampai sekarang belum ada kelanjutannya," ujarnya.
Padahal, warga antusias jika diadakan pelatihan itu, karena akan memengaruhi perekonomian. "Purun kan bisa dibuat jintingan (keranjang), sedotan, atau lainnya, supaya harganya lebih tinggi," ujarnya.
Ancaman konsesi
Keinginan warga Desa Hapalah belum terwujud untuk mengembangkan beragam jenis kerajinan. Tapi, ancaman kerusakan ekosistem gambut yang ditumbuhi purun membuat warga waswas. “Masyarakat sudah menolak (perkebunan kelapa sawit), bahkan sejak 2008 sewaktu (perusahaan) masih sosialisasi," ujarnya
Sejak 2016 ada perusahaan perkebunan kelapa sawit yang mengantongi Hak Guna Usaha (HGU). Konsesi perusahaan itu mengitari wilayah Kecamatan Benua Lawas. Sampai sekarang perusahaan itu belum melakukan aktivitas kerja di tempat konsesi.
Pantau Gambut mengamati wilayah Banua Lawas memiliki lahan gambut luasnya 8.885 hektare. Area konsesi sebesar 9.501 hektare, komparasi dengan luas kecamatan. Luas gambut yang masuk dalam konsesi HGU, yaitu 7.654 hektare. Itu hampir mencakup 86,15 persen dari total area gambut di kecamatan tersebut.
Demi kelangsungan hidup, Mistani beserta warga hanya bisa berharap ada keberpihakan dari pemerintah. “Di sini banyak potensi tanaman gambut yang harus dilindungi," katanya.
Kepala Dinas Lingkungan Hidup Kalimantan Selatan Hanifah Dwi Nirwana mengatakan, perkebunan kelapa sawit juga pabrik pengolahannya di Kecamatan Kelua dan Banua Lawas sudah tak beroperasi. “Wilayah tersebut termasuk lahan gambut, maka kami sangat berharap tidak ada aktivitas di perkebunan,” ujarnya.
Hanifah menjelaskan, fungsi ekologis gambut sangat strategis juga penting untuk kehidupan warga setempat. Apalagi gambut berfungsi untuk daya serap menampung air dalam volume besar. “Tentu ini juga sangat penting saat Kalimantan Selatan dalam ancaman bencana banjir,” ujarnya.