Melirik Kearifan Lokal Sebagai Kunci Pengelolaan Ekosistem Rawa Gambut Di Kalimantan Selatan
Oleh Kisworo Dwi CahyonoArloji di tangan menunjukkan sekitar pukul 10 pagi. Suasana Desa Suak Batok, Indralaya Utara, kabupaten Ogan Ilir (OI), Sumatera Selatan masih sepi karena sebagian warga sedang sibuk menyadap karet, mencari ikan dan merawat sawah mereka. Akan tetapi, Amancik masih terlihat berbaring di balai bambu di kolong rumahnya. Tidak ada aktivitas produktif yang dia kerjakan, melainkan hanya bercengkrama dengan seorang tetangganya. Sebenarnya, petani berusia 60 tahun ini bukan tipe pemalas. Ia terbiasa pergi pagi pulang petang untuk merawat kebunnya.
Amancik mengaku belum kuat untuk kembali ke ladang lantaran ia baru saja terserang Infeksi Saluran Pernapasan Atas (ISPA).
Sejumlah obat pemberian dokter Puskesmas belum berhasil memulihkan kondisi kesehatannya. Selera makan berkurang dan gairah untuk bertani jadi turun. Ia menduga hal itu merupakan salah satu sebab dari terlalu banyak menghirup udara bercampur partikel debu yang berterbangan. Maklum, tiga hari sebelumnya desa yang berjarak sekitar 16 KM dari Palembang dikepung oleh si jago merah.
Amancik menunjukkan beberapa jenis obat yang didapatnya dari puskesmas, diantaranya: Vitamin C, obat batuk dan obat pusing. Selain itu, saat berkunjung ke Puskesmas Pembantu Karya Jaya, dia mendapatkan satu suntikan. Setelah membayar uang jasa dan menebus obat sebesar Rp 50.000, Amancik semakin yakin sakitnya akan segera hilang. Namun ternyata tidak demikian. "Minggu malam badan menggigil, susah bernapas dan sampai sekarang belum ada perubahan." kata Amancik.
Kabut asap akibat lahan yang terbakar memang masih menyelimuti Desa Suak Batok hingga bulan September. Dari pantauan titik panas yang terjadi selama Januari - September 2019, terdapat 3 titik panas dengan tingkat kepercayaan tinggi di Desa Suak Batok.
Asap pekat dengan aroma sangit yang menusuk hidung berhasil mengganggu hajatan keluarga Syamsil, warga dusun II, yang berada di dekat lokasi kebakaran. Para tamu merasa sesak saat hendak menyantap hidangan yang disajikan. Api yang semakin membesar di area kebun karet membuat beberapa warga bergegas meninggalkan acara dan segera membawa alat pemadam seadanya seperti ember air dan gayung. Bahkan, mereka tidak sempat menggunakan masker atau alat pelindung diri lainnya saat memadamkan api. Api baru berhasil dipadamkan sekitar pukul 7 malam berkat kegigihan satuan tugas pemadaman darat dan udara, serta masyarakat setempat.
Berdasarkan pantauan lapangan dan diperkuat data yang diperoleh dari Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Sumsel, asap yang masuk ke desa tersebut bukan hanya berasal dari lahan disekitar desa, akan tetapi berasal dari daerah tetangga, yaitu Desa Bakung, Kecamatan Indralaya Utara, Desa Sungai Rambutan, Kecamatan Indralaya Utara dan Desa Pulau Semambu, Kecamatan Indralaya Utara.
Kabut asap dan api yang tak kunjung padam menyebabkan sejumlah warga terkena dampaknya. Bahkan beberapa diantaranya ada yang menjadi korban terkena sambaran api ketika memadamkan lahan yang terbakar.
Nawawi Hasyim, 65 tahun, warga dari dusun I, Desa Suak Batok merasakan keganasan api tersebut. Bagian telapak tangan, bibir, telinga dan bagian tubuh yang lainnya mengalami luka bakar.
Selain itu ia harus kehilangan sepeda motor Honda bebek kesayangannya lantaran dimakan api di sekitar kebun karet miliknya.
Kejadian tersebut terjadi ketika ia hendak memadamkan api di kebun karet miliknya. Dia dan suadaranya membawa tangki air dan ember untuk menjaga kebun karetnya dari lahapan si jago merah. Namun, ketika diperjalanan, sambaran api dan kepulan asap membuatnya terkejut hingga terjatuh. Api yang mengepung dengan cepat melahap motor miliknya. Untungnya, Nawawi bisa menyelamatkan diri dan menghubungi keluarganya untuk meminta bantuan. “Saya melihat sedikit celah untuk melarikan diri dari kobaran api tersebut, apabila tidak, mungkin saya tidak selamat” ujarnya. Kepala dinas kesehatan Sumatera Selatan, Dra. Lesty Nuraini, Apt, M.Kes, membenarkan terdapat beberapa korban akibat kebakaran hutan dan lahan di berbagai tempat. Sebagian besar korban mengalami luka bakar, sesak nafas, batuk pilek dan berbagai penyakit lainnya akibat menghirup udara yang tidak sehat. Guna mengurangi risiko terkena ISPA, pihaknya mulai membagikan masker kepada pelajar di SMAN 19 dan SMKN 2 Palembang. “Dibanding bulan Juli terjadi peningkatan kasus ISPA di Palembang, Muba, Muara Enim,” kata Lesty.
Dalam catatan Dinas Kesehatan Sumatera Selatan bulan Agustus, di Musi Banyuasin (Muba) terjadi peningkatan hingga lebih dari 50 persen angka penderita ISPA dibanding bulan sebelumnya. Bulan Juli penderita ISPA hanya 4094 sedangkan di bulan Agustus naik menjadi 6326. Di daerah lain juga terjadi peningkatan hanya saja jumlahnya tidak terlalu signifikan. Dia mencontohkan di kota Palembang, pada Juli tercatat 10744 penderita naik menjadi 11863 di bulan Agustus. Pada periode yang sama untuk kabupaten Muara Enim: 5173 menjadi 6553, Ogan Komering Ulu (OKU): 1324 menjadi 1734, Banyuasin:5511 turun menjadi 5487, OKU Selatan:dari 772 naik menjadi 956, Empat Lawang: turun dari 475 menjadi 467, Prabumulih: 1363 turun 1197. “Masih ada 9 daerah yang belum meng update data untuk bulan Agustus,” kata dia.
Lesty menambahkan menyangkut biaya pengobatan sejatinya warga yang mengalami ISPA maupun luka bakar tidak perlu membayar karena bisa memanfaatkan fasilitas kesehatan tingkat pertama yang bekerjasama dengan BPJS Kesehatan. Khusus warga kota Palembang, saat ini mereka bisa memanfaatkan program Universal Health Coverage (UHC). Hal itu berarti sudah semua warga kota bisa berobat dengan hanya menunjukkan kartu tanda penduduk (KTP).