Menakar Nasib Gambut dan Komitmen Riau Hijau pasca Omnibus Law
Oleh Romes IrawanWarga Desa Bararawa, Kecamatan Paminggir, Kabupaten Hulu Sungai Selatan, Provinsi Kalimantan Selatan, merupakan masyarakat yang sangat bergantung pada ekosistem sungai dan gambut. Mereka hidup berdampingan di pinggiran Sungai Paminggir yang membelah kampung dan sepakat bersama-sama memanfaatkan ladang purun yang tumbuh subur di lahan gambut di ujung desa.
"Jadi, siapa esok yang akan ikut ke ladang purun?" tanya Basrun, salah satu perangkat Desa Bararawa.
"Tapi, saya ingatkan, karena ini musim kemarau perahu tidak akan bisa sampai ke ladang. Nanti harus berjalan dulu. Lumayan lah sekitar 3 km,” lanjut Basrun.
Peringatan Basrun itu tidak menyurutkan niat Tim Pantau Gambut untuk menyambangi ladang purun ini. Selain keperluan mengambil dokumentasi, tim ingin melihat juga kondisi rawa gambut di desa yang hingga tahun 2017 termasuk dalam program Desa Peduli Gambut (DPG) dari Badan Restorasi Gambut (BRG) ini.
Bararawa adalah salah satu desa di Kabupaten Hulu Sungai Utara, Provinsi Kalimantan Selatan. Desa ini terletak dekat dengan perbatasan Provinsi Kalimantan Tengah. Seperti kita ketahui, meskipun berada dalam satu pulau, Kalimantan Selatan dan Tengah menggunakan patokan waktu yang berbeda. Kalimantan Tengah termasuk zona Waktu Indonesia Barat (WIB) sementara Kalimantan Selatan berada di Waktu Indonesia Tengah (WITA) yang lebih cepat satu jam. Inilah salah satu sebab mengapa Tim seringkali kebingungan, karena jam digital yang ada di gawai masing-masing sering berganti zona waktu secara otomatis.
Menurut data geomorfologi dalam laporan DPG BRG, wilayah Desa Bararawa mencapai 4.840 hektar di mana setengahnya adalah rawa gambut dangkal. Selain itu, sekitar 21% dari wilayah desa ini adalah hamparan dataran gambut yang terendam air dan 1% adalah rawa gambut dalam. Sisa sekitar 28% dari wilayah ini adalah dataran sungai.
Kedalaman gambut di Bararawa sangat bervariasi, dari 0 hingga mencapai 2 meter. Daerah gambut dalam berada jauh dari pemukiman penduduk yang berjajar di sepanjang Sungai Paminggir.
Dengan bentang alam tersebut, lahan gambut di Bararawa tergenang hampir sepanjang tahun. Namun ketika musim kemarau tiba, sebagian rawa gambut menjadi kering.
Seperti peringatan Basrun, kapal-kapal kecil yang membawa Tim Pantau Gambut tidak bisa sampai ke ladang purun. Akibatnya, Tim harus turun dari kapal dan berjalan melewati genangan air, lumpur, tumpukan eceng gondok yang kuning kecokelatan, dan retakan-retakan tanah kering akibat kemarau.
Sekali perjalanan, tim memerlukan lebih dari 1,5 jam. Perlu waktu yang cukup lama terutama karena seringnya anggota tim ekspedisi kali ini terperosok ke dalam lumpur yang cukup dalam.
Warga Bararawa sendiri mengaku enggan mencapai ladang purun saat kemarau karena jarak jalan kaki yang cukup jauh. Mereka lebih suka memanen purun pada saat musim hujan. Saat air pasang, warga bahkan bisa memanen purun dari kapal kecil mereka.
Purun di ladang ini bisa diambil siapa saja karena merupakan milik bersama warga Bararawa.
"Dulu, walaupun musim kemarau, kami tidak perlu berjalan sejauh ini untuk mengambil purun. Namun, setelah kebakaran 2015, purun hanya ada di lahan yang lebih jauh,” kata Sarli, pejabat sementara Kepala Desa Bararawa.
Selain membuat ladang purun lebih jauh, dampak kebakaran 2015 tidak lagi terlihat. Karena sepertinya sebagian wilayah telah pulih secara alami. Di daerah Bararawa ini juga belum ada infrastruktur pembasahan gambut yang dibangun. Sumur bor yang ada di desa merupakan fasilitas penunjang keperluan air minum dan air bersih.
Purun adalah salah satu bahan baku untuk mata pencaharian sampingan warga, yaitu menganyam yang dilakukan terutama para perempuan. Mata pencaharian utama warga Bararawa sebenarnya adalah ‘maiwak’ atau mencari ikan. Pada saat kemarau, mereka bisa mendapatkan ikan dalam jumlah besar untuk dijual. Namun, musim kemarau saat ini hanya berlangsung sekitar satu bulan dan tidak menentu. Kondisi ini sudah cukup berubah dari tahun-tahun sebelumnya, di mana kemarau bisa mencapai 4 atau 5 bulan dan rawa tergenang hanya selama 7 atau 8 bulan per tahun.
Karena periode ‘maiwak’ tidak lama, warga bergantung pada kegiatan lain, seperti menganyam purun. Hasil anyaman utama adalah tikar dan topi purun. Para perajin ini menjual hasil anyaman ke pengumpul yang acap kali datang ke desa.
Tikar dan topi purun dijual dengan harga yang murah, masing-masing Rp 5.000 dan Rp 3000. Tak jarang, transaksi dilakukan dengan sistem barter dengan beras.
Keberadaan purun sangat penting bagi warga Bararawa, sebagai salah satu alternatif sumber ekonomi. Oleh karena itu, warga ingin terus menjaga rawa gambut di Bararawa ini karena di situlah batang purun dapat tumbuh lebih panjang sehingga menjadi bahan baku yang bagus untuk kerajinan anyaman.