Gambut: Si Miskin Hara yang Kaya Manfaat
Oleh Agiel PrakosoPada tahun 2020, selain pandemi Covid-19, omnibus law adalah isu yang paling menarik perhatian rakyat Indonesia. Gelombang protes masyarakat sipil terhadap pengesahan omnibus law Undang-undang Cipta Kerja (UU Cipta Kerja) menyebar hampir ke seantero Indonesia. Rakyat dari segenap elemennya seperti petani, nelayan, mahasiswa dan pelajar juga buruh "terpaksa" turun ke jalanan di tengah penanganan Covid-19 yang belum beres.
Umumnya mereka mengangkat isu kesejahteraan buruh yang semakin dibuat tertekan dalam pasal-pasal tersebut. Alih-alih mendengarkan kritikan rakyat, DPR dan pemerintah bergeming dan melanjutkan pembahasan bahkan mempercepat paripurna dari jadwal yang diumumkan ke publik. Respon inilah yang membuat gelombang aksi massa semakin memuncak pada tanggal 8 Oktober lalu.
Aksi serupa juga terjadi di Pekanbaru, Riau. Isu yang diangkat adalah soal buruh dan ketenagakerjaan juga kehutanan. Namun isu terakhir tidak terlalu besar diekspos.
Ada pasal-pasal dari UU perlindungan lingkungan hidup dan kehutanan yang berlaku namun diubah dalam UU Cipta Kerja dan berdampak signifikan pada kebakaran hutan dan upaya perlindungan gambut di Riau.
Bicara soal kebakaran hutan dan gambut, maka Riau adalah laboratorium yang paling pas untuk melihat bagaimana regulasi dan implementasi di lapangan berakibat fatal selama berdekade. Tanpa menyebut kejadian terparah tahun 1997 lalu, kepulan asap kebakaran hutan gambut parah yang terjadi pada 2015 misalnya, telah menutupi hampir 80% wilayah pulau Sumatera. Dan nilai kerugiannya diperkirakan mencapai 221 triliun rupiah se-Indonesia, dan hampir 20 triliun rupiah dari kebakaran hutan di Riau saja.
Berdasarkan data dari Balai Besar Litbang Sumberdaya Lahan Pertanian (BBSDPL), luas lahan gambut Riau pada 2019 yakni 3.564.948,39 hektar atau sekitar 40% dari luas Provinsi Riau 8.702.400. Sehingga gambut secara fungsi sosial, kultur dan ekonomi mempengaruhi kehidupan masyarakat. Sementara dari sisi fungsi ekologi dan iklim, gambut dengan kekayaan hayati di dalamnya serta kandungan karbon emisi yang diserap bisa berperan menghambat laju pemanasan global penyebab perubahan iklim.
Mari kita simak data deforestasi di lahan gambut yang dianalisis Pantau Gambut dan Kaliptra Andalas. Pada tahun 2014-2015, deforestasi lahan gambut Riau 96.289,17 hektar. Luasannya menurun pada 2015-2016 yakni 17.371,15 ha, lalu menurun lagi tahun 2016-2017 menjadi 6.578,12 ha. Namun pada 2017-2018, deforestasi pada gambut meningkat tajam 25.447,06 ha dan terus meluas 96.483,55 ha pada kurun waktu 2018-2019.
Sementara kebakaran gambut Riau selama 2016 seluas 66.378,16 ha. Luasan ini berkurang pada tahun 2017 yakni 6.385,24 ha. Namun titik api yang meningkat pada 2018 membakar lahan gambut sebanyak 34.143,03 ha dan terus meluas pada tahun 2019 yang mencapai 64.109,09 ha.
Deforestasi dan kebakaran lahan gambut di Riau banyak dipicu oleh alih fungsi lahan dari yang awalnya punya tutupan hutan atau semak belukar berubah menjadi perkebunan monokultur. Maka bicara soal UU Cipta Kerja yang mengatur banyak hal soal aktivitas ekonomi yang berbasiskan penguasaan lahan dan hutan akan menjadi tepat untuk dianalisis dalam konteks Riau.
Dalam UU Nomor 32 tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup misalkan mengatur soal pertanggungjawaban mutlak atau strict liability. Pada pasal 88 UU tersebut berbunyi setiap orang yang tindakannya, usahanya, dan/atau kegiatannya menggunakan B3, menghasilkan dan/atau mengelola limbah B3, dan/atau yang menimbulkan ancaman serius terhadap lingkungan hidup bertanggung jawab mutlak atas kerugian yang terjadi tanpa perlu pembuktian unsur kesalahan”. Di mana dalam penjelasan pasal disebutkan bahwa “bertanggung jawab mutlak” atau strict liability adalah unsur kesalahan tidak perlu dibuktikan oleh pihak penggugat sebagai dasar pembayaran ganti rugi. Prinsip ini juga menyiratkan keberpihakan pada “korban” yang mungkin tidak punya akses terhadap “mahalnya” biaya pembuktian.
Pasal inilah yang empat tahun terakhir diandalkan pemerintah melalui Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan saat menggugat sejumlah perusahaan kehutanan dan perkebunan yang ditemukan kebakaran pada konsesi mereka. Dan prinsip strict liability inilah yang membuat pemerintah banyak mendapat “kemenangan” dan akhirnya pemerintah mendapat biaya ganti rugi dan pemulihan kerusakan hutan dan lahan senilai Rp 315 triliun. Nilai ini berasal dari sembilan gugatan inkrah yang dikabulkan Mahkamah Agung.
Seperti pada kemenangan gugatan Kementerian LHK atas kasus kebakaran hutan dan lahan di PT ATGA di Jambi pada April tahun ini. Dirjen Penegakan Hukum Lingkungan Hidup dan Kehutanan Kementerian LHK Rasio Ridho Sani menyoroti “kemenangan” dikabulkannya gugatan KLHK pada kasus kebakaran hutan dan lahan di PT ATGA April 2020 lalu.
“Putusan ini menunjukkan penerapan prinsip in dubio pro natura, dan prinsip kehati-hatian dalam mengadili perkara menggunakan beban pembuktian dengan pertanggungjawaban mutlak. Putusan karhutla ini penting karena karhutla merupakan kejahatan luar biasa," kata Dirjen Penegakan Hukum Lingkungan Hidup dan Kehutanan (Gakkum) KLHK, Rasio Ridho Sani, saat mengomentari putusan PN Jambi.
Ironisnya, prinsip tanggung jawab mutlak tersebut telah direduksi pada UU Cipta Kerja dengan menghilangkan “tanpa perlu pembuktian unsur kesalahan”. Tentu semangat penegakan hukum pasca-UU Cilaka ini akan mendapat tantangan berat dengan regulasi kontroversi ini.
Pasal lain yang akan menghambat upaya perlindungan hutan dan gambut di Riau dalam UU Cipta Kerja adalah kewenangan pemerintah daerah yang diambil alih pemerintah pusat. Dalam hal tata ruang misalkan, UU Nomor 26 tahun 2007 mengatur tentang penetapan minimal 30 persen kawasan hutan dari luas daerah aliran sungai di satu daerah. Tujuan penetapan paling sedikit 30 persen ini adalah untuk menjaga kelestarian dan daya tampung dari dampak kegiatan ekonomi dan pembangunan di satu wilayah kabupaten/kota maupun provinsi. Ketentuan ini telah direduksi dalam UU Cipta Kerja dengan menghilangkan angka kuncian penyelamatan kawasan. Sehingga dengan berbagai alasan investasi dan pembangunan, kawasan hutan akan dengan mudah menyusut karena batas minimal perlindungannya sudah tidak ada.
Hal lain adalah bagaimana prosedur AMDAL yang biasanya diputuskan di tingkat pemerintah daerah kini menjadi tanggungjawab pemerintah pusat. Sementara instrumen AMDAL yang dulunya “cukup” mudah diakses publik sehingga memungkinkan untuk berpartisipasi dalam penyusunannya kini dalam UU Cipta Kerja tereduksi dengan menyebut “masyarakat yang terdampak langsung”. Unsur publik yang lebih luas namun berpotensi berdampak secara langsung seperti kebakaran hutan dengan asap polutannya yang menyebar luas bisa dianggap tidak berkepentingan. Dengan demikian masyarakat umum termasuk LSM dan perguruan tinggi tidak akan bisa memberi masukan apalagi menggugat AMDAL.
Bagi Riau, yang Gubernurnya sudah mengikrarkan pembangunan berkelanjutan dengan jargon “Riau Hijau dan Bermartabat” harusnya gelisah dengan UU Cipta Kerja ini. Sayangnya kita tidak melihat kekhawatiran itu. Daripada berharap Pemprov Riau menolak UU Cipta Kerja, sebaiknya Gubernur Syamsuar segera merampungkan konsep Riau Hijau itu sendiri. Di tahun kedua setelah melontarkan janji kampanye, saya kira, masih ada waktu untuk mewujudkan janji dan membahasnya secara terbuka serta melibatkan publik.
Kini UU Cipta Kerja telah disahkan dan berdampak serius pada upaya perlindungan gambut, dengan mempelajari beleid ini siapa tahu ada celah regulasi yang bisa diperkuat dalam konsep Riau Hijau. Dan tentu saja rakyat riau akan mendukung segala upaya perlindungan menyeluruh terhadap gambut sehingga terhindar dari risiko paparan bencana kabut asap. Wallahu A’lam.
*Penulis merupakan Koordinator Simpul Jaringan Pantau Gambut Riau dan Direktur Kaliptra Andalas
**TULISAN INI SEBELUMNYA DIPUBLIKASIKAN DI PORTAL MEDIA ONLINE ANTARA PADA TANGGAL 16 NOVEMBER 2020**