Oleh Agiel Prakoso
dari Pantau Gambut
Gambut seharusnya bisa menjadi solusi permasalahan iklim, tapi eksploitasi berlebih bisa menjadikannya bom waktu yang dapat meledak sewaktu-waktu. Dampaknya pun serius, mulai dari kebakaran hutan dan lahan (karhutla), kabut asap lintas batas (transboundary haze), hingga permasalahan sosial dan ekonomi yang nyata mengancam manusia.

Atas nama pembangunan, lahan gambut Indonesia sering menjadi korban dari kegiatan eksploitasi alam. Alih fungsi lahan gambut terjadi akibat dorongan peningkatan ekonomi yang tak jelas untuk siapa manfaatnya. Sementara, ketersediaan lahan mineral produktif di Indonesia makin menyusut. Fakta inilah yang menyebabkan gambut menjadi sasaran perluasan lahan. Padahal, idealnya lahan ini tidak boleh terintervensi oleh aktivitas manusia.

Gambut memiliki sifat alami yang unik. Sebagai ekosistem lahan basah, gambut mampu menyimpan cadangan air dalam jumlah besar, bahkan lebih besar dari bobot keringnya. Jika gambut terlanjur kering, gambut akan sulit untuk basah kembali. Kekeringan yang dialami gambut menyebabkan bahan organik yang terkandung di dalamnya menjadi bahan bakar yang masif ketika disulut api. Cadangan karbon yang tersimpan di dalamnya pun akan terlepas dan semakin memperparah perubahan iklim global.

Indonesia seharusnya berbangga sebagai pemilik gambut tropis terluas di dunia. Sayangnya gambut Indonesia masuk dalam kategori kritis. Catatan inventarisasi oleh Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) menyatakan bahwa 24 juta hektare lahan atau 84% dari total luasan Kesatuan Hidrologis Gambut (KHG) Indonesia kritis. Kekritisan lahan gambut di Indonesia terbesar terjadi di pulau Sumatra dan Kalimantan khususnya provinsi Riau, Jambi, Sumsel, Kalimantan Barat dan Kalimantan Tengah.

Proporsi tingkat kekritisan gambut di Indonesia 
(Sumber: Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan)

 

Kerusakan ekosistem gambut di Indonesia umumnya terjadi akibat ulah manusia yang sengaja mengeringkan lahan gambut. Motifnya agar lahan gambut mudah diolah menjadi lahan produksi industri eksploitatif seperti perkebunan sawit dan akasia. Tanaman ini bukan tanaman ramah gambut yang tahan dengan genangan air dan tingkat keasaman yang tinggi. Modifikasi ekosistem dengan pengeringan lahan pun harus dilakukan agar tumbuhan ini bisa tumbuh subur. Proses pengeringan dilakukan dengan membuat kanal sedalam 1 m hingga lebih dari 5 m agar air yang terkandung dalam gambut bisa mengalir keluar. Setelah kering, tumbuhan ekstraktif pun bisa tumbuh subur karena akarnya tidak lagi terendam air gambut.  Keasaman gambut yang membuat tumbuhan tidak subur juga berkurang. Selain itu, gambut yang kering akan memadat dan kehilangan fungsinya sebagai penyimpan air dan akan menyebabkan limpasan air ke area sekitarnya bila terjadi hujan dengan intensitas tinggi.

Ekspoitasi dan intervensi serampangan terhadap lahan gambut akan menjadi bom waktu yang bisa kapan saja meledak dan menimbulkan malapetaka bagi ekosistem di sekitarnya. Ketika kebakaran terjadi, api yang berkobar akan sangat sulit dipadamkan. Api akan menjalar pada lapisan bawah (ground fire) tanah gambut yang kering. Upaya pemadaman secara manual melalui darat dan udara tidak akan efektif memadamkan kebakaran di gambut karena hanya hujan dengan intensitas tinggi yang mampu memadamkan api hingga bawah permukaan tanah gambut.

Tahun 2015 merupakan tahun kelam bagi Indonesia akibat bencana yang menghanguskan 194.787 hektare lahan gambut. Fenomena El Nino memperparah kondisi gambut yang sudah terlanjur kering sehingga menyebabkan api semakin cepat berkobar. Api yang berkobar di gambut tidak hanya melepaskan simpanan karbon di dalamnya namun juga memicu keluarnya gas rumah kaca ke udara yang memperparah perubahan iklim. Selain itu, kebakaran gambut juga menyebabkan penurunan unsur hara yang dibutuhkan tanaman gambut, yaitu nitrogen.

Kebakaran gambut juga menyebabkan gambut kehilangan kemampuan menampung air sehingga akan mudah terjadi kekeringan saat kemarau tiba. Dari aspek kesehatan, ribuan masyarakat terdampak menderita penyakit infeksi saluran pernapasan, iritasi mata, batuk bahkan mengancam nyawa masyarakat yang masuk dalam kategori rentan. Peneliti Harvard University menyebutkan bahwa kebakaran hutan dan lahan yang terjadi tahun 2015 dapat menyebabkan kematian dini 100.000 jiwa bagi masyarakat Indonesia, Singapura dan Malaysia apabila tidak ada penanganan yang serius terkait api.

Kebakaran hutan dan lahan yang terjadi di Indonesia tahun 2015 juga berkontribusi terhadap kerugian negara sebesar kurang lebih Rp 221 triliun. Asap pekat yang menyelimuti juga menyebabkan aktivitas masyarakat jadi terhambat. Bahkan, anak-anak juga kehilangan hak untuk mengenyam pendidikan karena sekolah diliburkan selama asap masih merajalela.

Hari Penanggulangan Degradasi Lahan dan Kekeringan Sedunia yang jatuh pada tanggal 17 Juni setiap tahun, sudah semestinya menjadi refleksi bersama bahwa perlindungan ekosistem gambut harus terus ditegakkan. Jangan sampai gambut Indonesia yang masih tersisa menjadi korban dan diperas habis-habisan dengan alasan kepentingan investasi, ekonomi dan pembangunan. Selain itu, pemenuhan komitmen pemulihan ekosistem gambut yang terdegradasi oleh pemerintah dan swasta harus terus dipantau agar tujuan utama mencapai gambut yang lestari bisa tercapai. Kesadaran bahwa gambut rusak akan sangat sulit untuk dipulihkan kembali, harus diikuti dengan pemahaman untuk tidak semakin merusak gambut.

Dukung Kami

Bagikan informasi ini kepada keluarga dan teman-temanmu.