Sumsel Dalam Kepungan Bencana Ekologis
Oleh Hairul SobriPara pengrajin purun menghadapi tantangan dalam mengakses pasar, tetapi hal tersebut tidak membuat mereka menyerah. Persoalan yang sama tetap melingkupi para pengrajin purun di Kalimantan Selatan. Mereka tetap kesulitan menjangkau akses pasar dan modal dan tak banyak pihak yang membantu membangun jaringan pemasaran dan modal bagi para pengrajin itu.
Kapal Gandengan Taksi, oleh H Anang Ardiansyah
Kapal mabajangkar
Rapat gandengan di tangah sungai
Masin bakukus
Bandirat kabus
Roda baputar batagar
Marabahan tujuannya
Ada dua pang dua minggu
Babulang bulik ka Barito
Sungai Saluang di kampung Wangkang
Banyak batahan kada tumpangan
Kipit wadahnya barabutan
Harap tiada landas banyunya
Harap tiada talanggar gosong
Harap banyak naik tumpangan
Harap banyak duit tambangan
Takumpul kasugihan
Kapal gandengan taksi
Labuh jangkar di Margasari
Manukar tikar barang salambar
Wan tali ayunan kakanakan…
Anyaman dari purun yang dibeli dari berbagai kampung di tepian sungai di Kalimantan Selatan, terabadikan dalam banyak lagu Banjar. Salah satunya adalah dalam lagu berjudul ‘Kapal Gandengan Taksi’ yang diciptakan H. Anang Ardiansyah pada tahun 1910-an.
Lagu ini berkisah tentang perjalanan sebuah kapal penumpang yang melayani rute Banjarmasin menuju pedalaman Barito di Kalimantan Tengah. Dalam perjalanannya, kapal bermotor diesel berbahan bakar solar itu singgah di Marabahan, Kabupaten Barito Kuala, dan Margasari di Kabupaten Tapin.
Di dua kota yang kini berkembang pesat itu, para penumpang turun. Mereka membeli tikar beberapa lembar dan tali ayunan anak-anak berbahan sabut kelapa. Hingga kini, Marabahan dan Margasari menjelma menjadi sentra penghasil kerajinan dari purun. Jamak diketahui, purun adalah sejenis tanaman rerumputan yang banyak tumbuh di atas lahan gambut di Kalimantan Selatan. Kerajinan dari purun kemudian berkembang menjadi berbagai bentuk, dari tikar, tas, bakul, topi, sendal, hingga pemanis ornamen pada kursi, meja, dan lemari.
Karena sebagian besar lahannya berupa ekosistem rawa dan gambut, purun tumbuh subur dan menyebar di hampir semua kabupaten di Kalimantan Selatan. Daerah yang tak disebutkan dalam lagu ‘Kapal Gandengan Taksi’ seperti Amuntai di Kabupaten Hulu Sungai Utara dan Banjarbaru, kini juga menjelma menjadi sentra penghasil kerajinan berbahan purun. Seiring dengan berbagai program, baik yang dilaksanakan kalangan LSM dan pemerintah lokal, kini purun menjadi produk unggulan yang turut mewakili identitas suku Banjar dan Kalimantan Selatan.
Namun, persoalan yang sama tetap melingkupi para pengrajin purun di Kalimantan Selatan. Mereka tetap kesulitan dalam menjangkau akses pasar dan modal. Masih tak banyak pihak yang membantu membangun jaringan pemasaran dan modal bagi para pengrajin itu. Namun, hal inilah yang justru menarik perhatian Mariatul Asiah MA dan kawan-kawannya di Komunitas Pelangi, Banjarmasin. Atul, begitu Mariatul Asiah biasa disapa, menjadikan kelemahan para pengrajin ini sebagai tantangan yang harus ditaklukkan.
Perempuan kelahiran 31 Mei 1976 di Barabai, Kabupaten Hulu Sungai Tengah, Kalimantan Selatan ini, bersama teman-teman komunitasnya membangun jaringan ke para pengrajin purun di berbagai daerah. Mereka mendatangi para pengrajin itu dan mengumpulkan berbagai informasi, termasuk tentang motif, ketersediaan bahan, harga, dan ragam produk purun. Atul juga ikut secara langsung dalam pelatihan pembuatan anyaman purun. “Ternyata menganyam purun menjadi satu kerajinan saja sulitnya luar biasa,” katanya.
Dari memahami berbagai kesulitan para pengrajin purun itu, Atul dan kawan-kawan, termasuk Ida Mawardi, jurnalis senior dan pengacara, menyusun konsep. Konsep itu mereka laksanakan dengan membeli langsung berbagai produk kerajinan dari purun. Harga yang mereka tawarkan lebih dari layak. Kisaran harga antara Rp 6000,- hingga Rp 35.000,-. Hubungan dengan para pengrajin berbentuk beli putus. Kerajinan langsung dibayar di tempat. “Ini dalam rangka membangun kepercayaan dan tanggung jawab kepada para pengrajin,” kata Ida Mawardi.
Atul yang merupakan lulusan S1 IAIN Antasari, Banjarmasin, Fakultas Tarbiyah, Jurusan Pendidikan Agama Islam dan S2 Fakultas Ilmu Budaya, Jurusan Antropologi, Universitas Gadjah Mada Yogyakarta itu kemudian membangun jalur pemasaran. “Purun ini kan seperti produk yang berada di pinggiran. Nah, saatnya purun di bawa ke tengah,” katanya, awal pekan silam di Banjarmasin.
Ke tengah yang dimaksud Atul adalah, purun bisa berharga mahal ketika masuk ke pusat perbelanjaan modern, mall misalnya. Atul kemudian menjalin kerjasama dengan sebuah jaringan supermarket besar di Banjarmasin. Supermarket itu merupakan jaringan dari Jakarta. Kerjasama itu bersambut. Kala pembukaan supermarket bulan silam misalnya, ratusan tas dari purun menjadi salah satu buah tangan bagi para undangan.
Usai pembukaan supermarket, Atul dan kawan-kawan tetap dipercaya memasok kerajinan purun. Atul kian optimis ketika Walikota Banjarmasin, Ibnu Sina memberi syarat supermarket itu bisa beroperasi di Banjarmasin asalkan memberi ruang bagi kerajinan lokal. Ibnu Sina juga menjadikan purun sebagai salah satu pelengkap dalam acara-acara yang digelar Pemko Banjarmasin. Map dan plastik yang digunakan dalam seminar misalnya, kini digantikan purun.
Kini Atul yang juga dosen di UIN Antasari Banjarmasin, penggiat kerukunan antar umat beragama dan dan isu perempuan itu, mencoba meluaskan jaringan ke berbagai kabupaten di Kalimantan Selatan. “Kita tak sekadar membeli produk pengrajin. Kita juga menggelar berbagai pelatihan bagi mereka. Harapannya mutu, motif, dan keanekaragaman bentuk kerajinan dari purun berkembang melalui pelatihan yang digelar itu,” ujar Atul yang mengorganisir ibu-ibu kepala keluarga dari berbagai agama untuk mendorong kepeloporan perempuan di ruang publik yang tergabung dalam Komunitas Pelangi itu.
Komunitas Pelangi bersama Atul kini juga mendirikan dan mengembangkan sebuah galeri di Banjarmasin. Di galeri ini mereka menyediakan berbagai kerajinan dari purun. Ini merupakan langkah lain di luar pemasaran melalui mall. Galeri yang letaknya tak jauh dari pusat kota Banjarmasin itu, dipadukan dengan perpustakaan dan ruang diskusi berbagai hal, terutama tentang isu perempuan. “Yang kami lakukan mungkin kecil, tapi semoga bermanfaat dan mampu membawa purun ke tengah,” katanya.