Putih Yang Tidak Baik
Oleh AdminSebagai ekosistem yang dianggap marginal, lahan gambut sering hanya dipandang dari kacamata pemanfaatan ekonomi. Namun, dengan semakin mengkhawatirkannya perubahan iklim global, aspek ekologi dan sosial dalam pemanfaatan lahan gambut juga perlu diperhatikan. Jika tidak, rencana mendapatkan manfaat ekonomi malah akan menimbulkan ongkos yang lebih mahal.
Sebagai ekosistem yang dianggap marginal, lahan gambut sering hanya dipandang dari kacamata pemanfaatan ekonomi. Namun, dengan semakin mengkhawatirkannya perubahan iklim global, aspek ekologi dan sosial dalam pemanfaatan lahan gambut juga perlu diperhatikan. Jika tidak, rencana mendapatkan manfaat ekonomi malah akan menimbulkan ongkos yang lebih mahal.
Hal tersebut menjadi salah satu fokus pembahasan dalam ‘Seminar Kebijakan Pengelolaan Gambut di Indonesia Ditinjau dari Aspek Ekologi, Ekonomi, dan Sosial’ yang diselenggarakan oleh Sekolah Ilmu Lingkungan dan Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Masyarakat Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia (LPEM FEB UI) pada 27 Februari 2018. Seminar ini menghadirkan beberapa pembicara ahli dan diikuti berbagai lapisan masyarakat.
Salah satu pembicara dalam seminar ini adalah Profesor Emil Salim, pakar lingkungan yang pernah menjadi ketua delegasi Indonesia dalam Konferensi PBB mengenai Perubahan Iklim pada 2007. Profesor Emil menyatakan bahwa masalah mendasar yang ada saat ini adalah adanya konflik antara upaya menaikkan kualitas perkebunan kelapa sawit dengan perlindungan terhadap ekosistem gambut dari ancaman kebakaran dan kerusakan.
Saat ini, kelapa sawit merupakan satu sektor komoditas yang sangat penting bagi perekonomian Indonesia. Namun, sayangnya, perkembangan industri kelapa sawit tersebut telah mendorong konversi lahan, termasuk lahan gambut untuk perkebunan. Tingkat konversi lahan gambut di Indonesia menjadi perkebunan skala industri seperti kelapa sawit memiliki intensitas tertinggi di kawasan Asia Tenggara. Konversi ini menyebabkan lahan gambut menjadi kering sehingga mudah terbakar.
Apalagi, menurut Emil, pengusaha perkebunan kelapa sawit memerlukan kondisi lahan gambut yang kering agar biji yang dihasilkan lebih baik. Kondisi yang dianggap baik bagi kelapa sawit adalah ketika tinggi muka air tanah antara 0,6-0,8 meter di bawah permukaan gambut. Hal ini mendorong pelaku bisnis menyatakan keberatan dengan Peraturan Pemerintah No. 57/2016 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Ekosistem Gambut yang menyebutkan tinggi minimal muka air adalah 0,4 di bawah permukaan gambut. Meskipun angka minimal ketinggian ini secara ilmiah sebenarnya masih diperdebatkan, pada prinsipnya semakin gambut basah maka semakin kecil kemungkinan terjadi kebakaran.
Sebelumnya, LPEM FEB UI memperkirakan bahwa pemberlakuan Peraturan Pemerintah No.71/2014 yang kemudian direvisi dengan Peraturan Pemerintah No.57/2016 tersebut dapat menyebabkan kerugian ekonomi sejumlah US$5.72 milyar dalam lima tahun setelah berlaku. Kerugian ini dihitung dari perkiraan penurunan produksi bahan baku akibat berkurangnya luas Hutan Tanaman Industri di Indonesia.
Namun, jumlah estimasi kerugian secara ekonomi tersebut masih jauh jika dibandingkan dengan kerugian jika terjadi kebakaran.
Misalnya saja, dari kebakaran hutan dan lahan yang terjadi pada 2015, World Bank melaporkan kerugian mencapai US$16.1 milyar atau setara dengan 1,9% total Produk Domestik Bruto (PDB) Indonesia, belum termasuk korban manusia dan dampak kesehatan akibat pencemaran udara di dalam dan luar negeri.
Dari 2,6 juta hektar lahan yang terbakar pada 2015 itu, setengahnya merupakan lahan gambut.
Menurut Emil, pengintegrasian faktor sosial dan lingkungan dalam pemanfaatan lahan gambut memang merugikan pelaku bisnis. Namun, hal tersebut penting demi keselamatan ekosistem gambut dan melindungi masyarakat dari dampak kerusakan lingkungan.
Lalu, bagaimana dengan nasib kelapa sawit yang merupakan komoditas unggulan? Pembicara lain dalam seminar ini yaitu Profesor Kosuke Mizuno dari Center for Southeast Asian Studies Kyoto University menunjukkan bahwa produktivitas sawit sebenarnya lebih tinggi jika ditanam di lahan non-gambut. Hasil penelitian ini telah dipublikasikan di buku berjudul Catastrophe & Regeneration in Indonesia’s Peatland: Ecology, Economy & Society. Penelitian yang ditulis dalam buku tersebut menjelaskan bahwa produktivitas tahunan kelapa sawit di desa-desa yang disurvei di Riau adalah 4.103 kg/ha di lahan gambut dan 5.305 kg/ha di lahan non-gambut.
Mizuno juga menjelaskan tentang transformasi pemahaman masyarakat terhadap lahan gambut. Sebelumnya, pandangan yang ada adalah lahan gambut yang basah tidak cocok untuk pengembangan agrikultur. Menurut riset yang dilakukan atas perubahan-perubahan historis di daerah Riau, pandangan ini ada pada periode 1930an hingga 1960an. Pandangan ini mulai berubah semenjak adanya migrasi ke daerah Sumatra dan pembangunan-pembangunan sejak 1980an untuk mendukung industri perkayuan. Pandangan baru yang muncul kemudian adalah bahwa drainase dapat membuat lahan gambut dapat dibudidayakan. Namun, pandangan ini menjadikan gambut rentan karena drainase yang dibangun malah membuat lahan ini kering dan tentunya mudah terbakar.
Nur Masripatin, pembicara seminar yang merupakan penasihat senior Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Bidang Pengendalian Iklim dan Konvensi Internasional, menggarisbawahi pentingnya pengelolaan gambut dalam kerangka target pengurangan emisi di sektor land use, land use-change, dan forestry (LULUCF). Menurut data dari Kementerian Lingkungan Hidup, terjadi peningkatan emisi pada 2015 di sektor LULUCF dan karena kebakaran lahan. Sedangkan pada 2016, terjadi penurunan drastis emisi terutama karena sektor LULUCF dan gambut.
Pemerintah Indonesia memiliki target untuk menurunkan emisi sebesar 29% dan berharap bisa mencapai penurunan 41% dengan bantuan internasional. Untuk mencapai penurunan tersebut komitmen pemerintah Indonesia atau yang disebut nationally determined contributions (NDCs) terdiri dari:
Selain target-target, NDCs Indonesia ini juga menekankan pada pentingnya partisipasi kelompok-kelompok masyarakat yang sangat rentan terhadap perubahan iklim, terutama masyarakat hukum adat dan perempuan. Ini berarti bahwa integrasi aspek sosial dan lingkungan telah menjadi komitmen dan tidak dapat dipisahkan lagi dalam setiap kebijakan terkait pemanfaatan sumber daya alam secara umum, termasuk di antaranya lahan gambut.