3 Alasan Food Estate Belum Menjawab Agenda Ketahanan Pangan dan Gizi
Oleh Tim Pantau Gambut dan FOLUPemerintah tidak pernah mengeluarkan fakta dan data yang komprehensif tentang nilai ekonomi sawit. Yang dimunculkan selama ini hanyalah angka pendapatan devisa Negara dari pajak ekspor CPO. Sementara itu, nilai kerugian negara atas praktik-praktik sawit illegal yang masih berlangsung hingga saat ini pun tidak pernah ditindaklanjuti.
Perkebunan sawit dipercaya dapat menjadi salah satu tonggak ekonomi negara, sehingga perkembangannya menanjak lebih cepat dalam 1 dekade terakhir. Percepatan perkembangan perkebunan sawit tidak lah selicin minyaknya. Status perijinan, praktek mengkonversi hutan alam dan lahan gambut, kebakaran hutan/ gambut, serta konflik tenurial masih menjadi pertanyaan besar untuk diselesaikan. Jika perkebunan sawit diharapkan menjadi bagian dalam mewujudkan pertumbuhan ekonomi rendah karbon dan juga ramah secara sosial, tentu saja persoalan-persoalan mendasar di atas tidak bias ditunda-tunda lagi penyelesaiannya.
Pemerintah juga tak pernah mengeluarkan fakta dan data yang komprehensif tentang nilai ekonomi sawit. Tidak cukup adil rasanya jika yang dimunculkan selama ini hanyalah angka pendapatan devisa Negara dari pajak ekspor CPO. Bagaimana dengan nilai kerugian Negara atas praktek-praktek sawit illegal yang masih berlangsung hingga saatini.
Ekspansi perkebunan sawit di kawasan hutan juga diyakini memberikan kontribusi signifikan pada laju deforestasi Indonesia.
CIFOR mencatat setidaknya 4 juta hektar perkebunan sawit yang masih produktif dibangun melalui deforestasi. Mengutip Laporan Greenpeace yang berjudul Certifying Destruction, Why Consumer Companies need to go Beyond the RSPO to Stop Forest Destruction disebutkan perusahaan-perusahaan yang menjadi anggota RSPO turut terlibat dalam praktek tersebut, dan telah merusak 20.000 hektar lahan gambut kaya karbon pada tahun 2009.
Penulis melihat ada 2 hal yang akan terus memicu terjadinya deforestasi di perkebunan sawit:
Ancaman penghilangan hutan alam sudah di depanmata, niat pemerintah untuk menggandakan produksi CPO menjadi 40 juta ton per tahun dilakukan dengan menambah 4 juta hektar luas perkebunan sawit.
Jika tidak di-antisipasi sedari awal maka penjarahan hutan secara massif untuk perkebunan sawit akan terus terjadi. Dan untuk kesekian kalinya Pemerintah akan gagal memenuhi komitmen perlindungan hutan berikut keanekaragaman hayati yang dimilikinya.
Kasus perambahan taman nasional Teso Nilo seluas 36.353 hektar untuk perkebunan sawit illegal seharusnya bias menjadi guru bagi perlindungan hutan dan pembangunan sawit yang lebih bertanggung jawab, tanpa harus saling menyalahkan kenapa hal tersebut terjadi dan masih berlangsung.
Praktek perkebunan sawit illegal dalam artian mengkonversi hutan dan gambut kaya karbon telah merusak citra Indonesia dipergaulan internasional, ditengah kuatnya komitmen perlindungan lindungan dan penurunan emisi yang disampaikan oleh Presiden sejak 2009. Sehingga seruan Sekretaris Jendral GAPKI pada Koran Bisnis Indonesia tanggal 8 Oktober 2013 menjadi sangat relevan dan mendesak untuk ditindaklanjuti.
“Oleh karena itu, GAPKI meminta agar pemerintah sebagai penentu kebijakan segera melakukan tindakan terhadap berbagai temuan yang menyebutkan adanya perkebunan yang dilakukan di lahan yang tidak semestinya, seperti di kawasan hutan” – Joko Supriyono, Sekretaris Jendral GAPKI
Hal senada juga disampaikan oleh Sekretaris Jendral Kementerian Kehutanan, meminta pihak yang terkait dengan mata rantai CPO untuk bertindak memerangi perambahan hutan dan tidak membeli bahan baku yang berasal dari kebunsawit yang merambah taman nasional.
Dua pernyataan di atas bias menjadi sebuah awal yang baik, jika para pihak bersepakat untuk merealisasikannya. Satu kemenangan kecil hari ini adalah seruan untuk tidak membeli minyak sawit illegal dan merusakl ingkungan turut dikumandangkan oleh pemerintah dan kalangan pengusaha sawit itu sendiri.
Bisakah kita mencintai sawit dengan jujur dan tanpa paksaan? Tentunya sesuatu yang sangat sulit dijawab saat ini. Mungkin saja nanti atau bahkan tidak akan pernah sama sekali.