Bank Plat Merah Mendanai Perusahaan yang Diduga Rusak Ekosistem Gambut
Oleh AdminBanyak hal yang berubah dengan masifnya perluasan lahan perkebunan sawit yang mulai masuk tahun 1992 di Kalteng. Dimulai dari semakin hilangnya lahan warga, semakin kecilnya ruang kelola masyarakat adat/lokal, karena telah berubah menjadi kebun monokultur sawit. Sungai dan danau (daerah perairan) yang mulai tercemar limbah ataupun ditimbun menjadi kawasan tanam. Akibat yang tak terhindarkan adalah konflik yang terjadi antara perusahaan dan masyarakat di sekitar konsesi perkebunan.
Berdasarkan data Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) Kalteng, dalam periode dua dekade terakhir, di Bumi Tambun Bungai terdapat 345 konflik antara masyarakat lokal dan perusahaan terkait pembangunan dan pengelolaan perkebunan kelapa sawit. Dari sisi perekonomian dan individu, konflik kelapa sawit ini merugikan secara signifikan kepada masyarakat lokal karena seringkali menjadi korban, karena mempertahankan wilayahnya agar tidak tergusur.
Maka muncul pertanyaan-pertanyaan, bagaimana karakter umum konflik kelapa sawit di Kalteng? Apa yang sudah dilakukan untuk menyelesaikannya? Dan seberapa efektif upaya-upaya penyelesaian konflik selama ini?
Laporan Riset Resolusi Konflik oleh tim yang terdiri dari 19 peneliti dan didukung oleh organisasi swadaya masyarakat di Kalbar, Kalteng, Riau, Jambi, serta akademisi dari Universitas Andalas, Universitas Wageningen dan KITLV Leiden (sejak Mei 2019) pada awal Desember 2020,mencoba menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut dengan menganalisa lintasan dan hasil dari 45 konflik. Penelitian terkait bagaimana konflik di sektor kelapa sawit selama ini diselesaikan,sejauh mana efektivitas mekanisme-mekanisme yang ada dalam menyelesaikan konflik tersebut, dan bagaimana hasil atau outcome yang sudah dicapai.
Hasilnya, didapati keluhan-keluhan yang dipicu ekspansi kelapa sawit, yaitu penyerobotan lahan, ini merupakan keluhan terbanyak yang ditemukan berkaitan dengan cara perusahaan mendapatkan (atau tidak mendapatkan) persetujuan di awal dari masyarakat lokal pada proses pembebasan lahan. Kemudian, bagi hasil (plasma) yang tidak memadai, pelaksanaan skema bagi hasil seringkali berujung pada konflik. Keluhan ini pada dasarnya muncul dalam tiga bentuk, yaitu pertama beberapa perusahaan tidak merealisasikan lahan plasma seperti yang sudah dijanjikan, kedua lahan plasma direalisasikan, tapi keuntungan yang dibagikan ke masyarakat tidak ada atau terlalu kecil.
Ketiga, koperasi yang dibentuk untuk mengelola skema plasma tidak berfungsi sebagaimana mestinya karena anggota masyarakat yang menjalankan koperasi tersebut tidak membagikan keuntungan secara transparan kepada anggotanya.
Dari riset juga diketahui, masyarakat mengadopsi strategi protes yang sangat bervariasi untuk menyuarakan keluhan dan menangani konflik dengan perusahaan sawit, mulai dari strategi yang konfrontatif hingga akomodatif. Total jumlah aksi protes di Kalteng tercatat 225 aksi protes. Masyarakat di Kalteng juga lebih sering menggunakan strategi protes yang konfrontatif.
Seperti aksi demonstrasi (mencapai 69 persen dari total kasus) dan pendudukan lahan atau blokade yang mencapai 56 persen dari total kasus. Selain itu, di masyarakat adat Dayak Kalteng ada satu jenis protes yang khas yang dikenal dengan ritual adat hinting pali. Dalam ritual ini, kepala suku atau damang memasang portal adat atau hinting yang digunakan untuk menutup lokasi tanah adat yang dalam sengketa dengan pihak perusahaan.
Masyarakat juga melibatkan pihak berwenang di tingkat lokal untuk mengadakan audiensi, di mana mereka meminta dukungan terkait kasus-kasus mereka (62 persen dari kasus). Temuan yang menarik adalah bahwa masyarakat sering mengarahkan aksi mereka kepada pemerintah daerah daripada ke perusahaan.
Memang awalnya kebanyakan masyarakat mencoba bernegosiasi langsung dengan perusahaan, namun karena perusahaan seringkali tidak merespon, masyarakat kemudian lebih sering menggelar unjuk rasa di depan kantor pemerintah kabupaten atau DPRD. Dengan kata lain, strategi masyarakat yang paling umum adalah mencoba mempertanyakan keputusan pemerintah daerah dalam mengeluarkan izin perkebunan, meminta dukungan pemerintah untuk menyelesaikan konflik dan agar memberi tekanan yang lebih kepada perusahaan.
Untuk konfrontasi terbuka dengan perusahaan atau pemerintah umumnya dihindari masyarakat di Kalimantan Tengah yang berkonflik dengan perusahaan perkebunan.
Karena kerap kali terjadi adalahkriminalisasi pemimpin protes ini. Hal ini seperti yang terjadi di Desa Laman Kinipan dengan korban Efendi Buhing dkk lalu atau kasus James Watt dkk yang juga dipolisikan karena disangkakan pasal pencurian karena memanen di lahan yang diakui warga sebagai lahan warga namun masuk dalam area konsesi perkebunan. Ini tentu menunjukkan bahwa pihak yang berwenang di daerah tidak cukup melindungi hak-hak masyarakat untuk menyuarakan keluhan mereka. Akhirnya, pemerintah dan penegak hukum (polisi) seringkali dinilai lebih memihak kepentingan investasi dibanding substansi perjuangan masyarakat adat.
Jika melihat konflik yang berpola sama di beberapa daerah di Kalteng, maka diperlukan strategi dan mekanisme yang sesuai dengan kebutuhan, sehingga tidak berlarut-larut bahkan tidak menemukan titik penyelesaian yang baik. Mekanisme penyelesaian konflik formal jarang digunakan.
Masyarakat sering mengungkapkan ketidakpercayaan terhadap pengadilan. Selain itu, biaya dan kompleksitas prosedur yang dirasakan juga tampaknya menjadi hambatan. Alasan lainnya adalah karena hukum Indonesia masih membatasi kepemilikan tanah bagi masyarakat pedesaan di Indonesia, padahal bukti kepemilikan formal semacam itu penting untuk memenangkan kasus pertanahan di pengadilan. Tidak adanya kesempatan untuk mendapatkan sertifikat tanah membuat masyarakat perdesaan enggan mengajukan keluhan terkait tanah mereka ke pengadilan.
Ditemukan pada 76 persen dari semua konflik di Kalteng, masyarakat lebih sering mengandalkan mediasi atau fasilitasi untuk mencapai solusi karena lebih mudah dan murah. Pada praktiknya, ada dalam beberapa bentuk mediasi dan fasilitasi, tapi yang terjadi di banyak kasus adalah politisi di DPRD dan birokrat memfasilitasi pertemuan antara perwakilan perusahaan dan masyarakat untuk mencapai kompromi di antara kedua pihak. Sayangnya, meskipun mekanisme ini tampaknya paling mudah dan sering diakses, upaya fasilitasi oleh pihak berwenang di tingkat lokal ini seringkali kurang berhasil.
Di Kalteng, di 29 persen kasus konflik, perwakilan masyarakat melaporkan bahwa mereka tidak berhasil mendapatkan apa-apa dan di 42 persen kasus mereka menganggap bahwa mereka nyaris tidak mendapatkan hasil sama sekali, hanya misalnya mendapatkan pemberian kecil sebagai isyarat simbolik niat baik perusahaan, seperti mempekerjakan warga sekitaryang tidak terkait langsung dengan klaim utama masyarakat. Dengan kata lain, di 32 kasus (71 persen) dari 45 konflik yang diteliti, masyarakat tidak (atau hampir tidak) berhasil dalam mendapatkan penyelesaian atas keluhan mereka. Temuan ini menunjukkan bahwa ketiga mekanisme resolusi konflik utama, yaitu pengadilan, fasilitas pengaduan RSPO dan fasilitasi oleh otoritas lokal masih tidak efektif.
Alasan utama mengapa otoritas lokal sering kali tidak berhasil menyelesaikan konflik yaitu tidak adanya metode yang sistematis;kurangnya kapasitas dan komitmen dari otoritas lokal dalam memediasi; dankurangnya sanksi bagi perusahaan yang tidak kooperatif, serta kurangnya aspek keterwakilan dan kepemimpinan di pihak masyarakat.
Dalam praktiknya, mekanisme penyelesaian konflik yang ada sebagian besar belum efektif dalam menyelesaikan konflik kelapa sawit, mengacu pada studi yang dilakukan atas 150 kasus konflik untuk memberikan sejumlah rekomendasi kebijakan tentang bagaimana konflik dapat dicegah, dan bagaimana membuat upaya penyelesaian konflik menjadi lebih efektif.
Sehingga diperlukan perlu perbaikan dalam proses mendapatkan persetujuan atas dasar informasi di awal dan tanpa paksaan (Padiatapa) dari masyarakat, yang memang belum dilakukan dengan benar selama ini. Pemerintah daerah perlu memantau secara lebih baik terkait implementasi kerjasama skema inti-plasma.
Sejumlah besar konflik (60 persen dari total) melibatkan keluhan tentang skema tersebutada yang disebabkan karena perusahaan mengingkari janji untuk membangun kebun plasma bagi masyarakat, karena mereka tidak membayarkan (atau hanya membayarkan sedikit) bagi hasil dari skema ini, atau pengelolaan skema plasma (melalui koperasi) yang sangat tidak transparan. Terlebih tidak secara ketat melakukan monitoring pelaksanaan skema plasma tersebut di lapangan.
Dalam penyelesaian konflik yang sebaiknya dilakukan adalah prosedur dan pelatihan yang lebih komprehensif untuk meningkatkan kapasitas pemerintah lokal dalam menyelesaikan konflik. Penegakan hukum yang lebih profesional dan terhindar dari tekanan informal dari aktor bisnis dan pemerintah harus berani memberikan sanksi kepada perusahaan yang tidak kooperatif dan terbukti melakukan pelanggaran. (*)
*Penulis adalah Direktur Walhi Kalteng dan Koordinator Simpul Jaringan Pantau Gambut Kalteng
**TULISAN INI SEBELUMNYA DIPUBLIKASIKAN DI MEDIA CETAK KALTENG POST (HALAMAN 12) PADA TANGGAL 31 DESEMBER 2020 DAN PORTAL BERITA ONLINE KALTENG POST PADA TANGGAL YANG SAMA**