Oleh Hairul Sobri
dari Simpul Jaringan Pantau Gambut

Karhutla di Sumsel terus berulang, pemerintah seharusnya menyelesaikan permasalahan gambut dari sisi hulunya, yakni perlindungan gambut. Pemetaan kawasan gambut terutama yang terbebani izin konsesi hendaknya menjadi perhatian serius. Pemerintah bisa memberikan efek jera kepada pelaku pembakar seperti halnya perusahaan yang lalai menjaga lahan konsesi

Perlindungan kawasan gambut menjadi bagian tolak ukur dari kebakaran hutan dan lahan (Karhutla). Saat gambut terlindungi maka ancaman karhutla diyakini akan bisa dicegah dengan maksimal.

Provinsi Sumatera Selatan (Sumsel) mencatat pengalaman buruk akan kebakaran hutan dan lahan (Karhutla) selama ini. Daerah ini pun telah menyumbang asap dari bencana ekologis musiman tersebut. Sementara ancaman karhutla akan memperburuk situasi dimana pandemi coronavirus (covid19) masih berlangsung saat ini.

Karhutla di Sumsel telah terjadi berulang kali. Pada tahun 2019, luasan hutan dan lahan terbakar meningkat dibandingkan tiga tahun sebelumnya. Kebakaran tahun 2019 seolah mengulang kebakaran pada tahun 2015 yang juga dipengaruhi oleh iklim kering (el-nino). Hampir sebagian besar kebakaran tersebut terjadi di lahan gambut.

Pada tiga bulan kebakaran di Sumsel tahun lalu, seluas 105,782 hektar (ha) lahan gambut terbakar. Dari luasan itu, seluas 12.271,69 ha gambut dengan kedalaman lebih 300 cm atau dikenal gambut sangat dalam terbakar. Selain itu, 18,032 ha gambut dalam yakni gambut dengan luasan 200-300 cm juga terbakar. Gambut berstatus gambut sedang, dengan kedalaman 100-200 cm seluas 26,038 ha terbakar dan seluas 49,441 ha gambut dangkal kedalaman 50-100 cm juga turut terbakar (Data Hutan Institute, HaKI, November 2019).

Dengan data tersebut, memperlihatkan pemulihan gambut yang telah dilaksanakan setelah Indonesia mengalami karhutla terbesarnya di 2015 lalu, ternyata belum banyak berefek.

Gambut berfungsi sangat penting, terutama perlindungan karbon yang dikandungnya. Fungsi perlindungan inilah yang mengharuskan gambut tidak diperkenankan untuk dialihfungsikan. Jika disimpulkan, karhutla tahun ini disebabkan empat hal penyebab kerusakan gambut, yaitu:

Pertama, perlindungan gambut tidak dilaksanakan atas dasar bentang alam (lanskap)

Pemerintah sendiri pada tahun lalu, melalui Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) menerbitkan pengelolaan puncak kubah gambut berbasis kesatuan hidrologis. Merujuk pada komitmen itu, maka seharusnya pemulihan gambut juga dilaksanakan dengan aspek kesatuan kawasan, baik itu gambut yang berada di konsesi ataupun yang berada di luarnya.

Permasalahannya, sampai saat ini, kita belum banyak mendengar upaya pemulihan gambut berdasarkan satu kesatuan. Badan Restorasi Gambut (BRG) hanya mampu memberikan rekomendasi kepada pemilik lahan konsesi (perusahaan) yang berada di kawasan gambut. Rekomendasi itu mesti diketahui oleh KLHK sebagai lembaga pemberi izin kepada pemilik konsensinya.

Dengan hubungan yang demikian, upaya pemulihan gambut juga perlu transparansi, terutama yang dilaksanakan oleh perusahaan. Dengan instrumen hukum yang telah diterbitkan oleh pemerintah, akan bisa  mendesak perusahaan mematuhi  pemulihan gambut secara lanskap.

Kedua, penegakkan hukum yang lemah

Pemerintah sebagai pelaksana dari peraturan bernegara, hendaknya melaksanakan peraturan yang telah disahkan. Pada UU Lingkungan Hidup UU 32 tahun 2009 diterangkan sangat jelas bagaimana penegakkan hukum terhadap pemegang izin konsesi yang lalai. Di Sumsel, meski mencatat pengalaman sebagai penyumbang karhutla, namun tidak satupun perusahaan yang memperoleh sanksi atas kelalaian terjadinya karhutla. Sanksi pencabutan izin usaha menjadi sanksi yang dinilai akan tepat memberikan efek jera kepada perusahaan sekaligus contoh bagi perusahaan lalai lainnya dalam menjaga lahan konsensinya.

Pada tahun lalu, KLHK sempat menyegel lebih dari lima perusahaan di Sumsel, akan tetapi sampai setahun proses penyegelan, publik sama sekali tidak mengetahui sanksi yang diberikan kepada perusahaan pemilik izin konsesi. Seharusnya, pemerintah berani mencabut izin usaha perusahaan yang lalai. Penegakkan hukum yang lemah dan kompromis mencerminkan keberpihakan pada perusahaan. Pemerintah seharusnya lebih berpihak kepada keselamatan, kesehatan masyarakat dan lingkungan hidup.

Di sisi lain, pemerintah daerah juga bisa melaksanakan amanat dari pelaksanaan UU tersebut. Pemerintah daerah berkewenangan dan berkemampuan merekomendasi perusahaan lalai menjaga lahan konsensinya. Rekomendasi ini menjadi desakan bagi pemerintah pusat, terutama KLHK  dalam menegakkan hukum bagi pelaku pembakar sekaligus perusahaan yang lalai melaksanakan kewajiban lahannya. Pemerintah daerah seharusnya bisa lebih tegas atas hak dan kewenangan tersebut. Sayangnya, selama ini, pemerintah daerah tidak pernah memberikan sanksi perusahaan lalai dengan lebih tegas.

Ketiga, program ramah gambut tak satu-kesatuan

Permasalahan lainnya, perlindungan gambut belum menjadi satu-kesatuan program akan penanganan gambut yang lebih lestari. Misalnya saja, mulai membentuk visi pencegahan karhutla dari sisi pemahaman gambut di daerah. Pengalaman karhutla berkali-kali, hendaknya bisa memetakkan kawasan yang memiliki kubah-kubah gambut yang jika sampai terbakar akan menjadi kebakaran besar dan luas. Pencegahan atas kesadaran menjaga gambut terutama di kalangan perusahaan, belum menjadi satu-kesatuan dari visi bersama. Utamanya menilai kawasan gambut dengan kedalaman tertentu sebagai kawasan yang perlu mendapatkan perhatian serius. Pemerintah perlu pemetaan kawasan gambut agar menjadi perhatian pada aspek pencegahan termasuk penanggulangan.

Keempat, Situasi pandemi mempengaruhi

Saat ini, hampir seluruh perhatian pemerintah tercurah pada pandemi covid 19. Alokasi anggaran juga banyak dialihkan guna mencegah dan menanggulangi pandemi ini. Situasi pandemi mengharuskan setiap orang menjaga jarak (physical distancing) sekaligus mengurangi pertemuan dalam jumlah yang ramai. Terlebih lagi, saat api telah menghasilkan asap karhutla, maka situasi itu menjadi ancaman kesehatan pernapasan masyarakat.

Saat karhutla tidak terkendali, seperti beberapa tahun yang lalu, asap yang dihasilkan juga sangat parah. Berdasarkan pengukuran kualitas udara yang dilakukan, asap karhutla beberapa kali mengakibatkan udara masuk dalam kategori udara tercemar (buruk bagi pernapasan). Sehingga, saat bencana asap terjadi saat situasi bencana pandemi maka akan sangat  buruk bagi masyarakat. Mereka  yang rentan, seperti halnya anak-anak, masyarakat dengan penyakit penyerta pada saluran pernapasan dan kaum lanjut usia, akan sangat sulit beraktivitas.

Dari saling hubungannya permasalahan ini, maka pemerintah harus mulai mencegah karhutla sebagai satu kesatuan program dengan menyelesaikan permasalahan dari hulunya, yakni perlindungan kawasan gambut. Saat gambut terlindungi dengan baik, maka ancaman karhutla akan bisa diminimalisir, tentu perlindungan gambut yang dilaksanakan secara satu kesatuan wilayah (lanskap) dan satu kesatuan pemahaman mengenai pentingnya menjaga kawasan esensial seperti halnya gambut di Sumsel.

 

Opini ini disampaikan oleh Direktur Eksekutif Walhi Sumsel sekaligus Koordinator Pantau Gambut Sumsel, Hairul Sobri.

**TULISAN INI SEBELUMNYA DIPUBLIKASIKAN DI MEDIA ONLINE GATRA.COM PADA TANGGAL 30 JUNI 2020**

Dukung Kami

Bagikan informasi ini kepada keluarga dan teman-temanmu.