Bertumbuh di Tengah Krisis
Oleh Pantau GambutSPEEDBOAT merapat di Teluk Inggris, Kalibandung, Usman, warga desa dan Ketua Lembaga Pengelola Hutan Desa (LPHD) Kalibandung, menambatkan perahu mesin yang kami tumpangi itu di pinggiran perairan tersebut. Setelah suara mesin kapal berhenti kami langsung bisa mendengar kicauan burung merbak yang seakan-akan memberi penyambutan. Merbak atau Merbah dikenal sebagai jenis burung penyenandung kicauan merdu. Unggas berukuran kecil tersebut sering ditangkar dan dilombakan sebagai burung pengicau karena suaranya yang khas.
Dari sana, kami menuju Hutan Desa Kalibandung yang berlokasi di dataran gambut dan memiliki luas kurang lebih 7.000 hektare. Areal itu meliputi sekitar 4.000 hektare HPK (hutan produksi yang dapat dikonversi), dan sekitar 3.000 hektare hutan lindung.
Sepanjang perjalanan, banyak sekali keanekaragaman hayati yang dijumpai. Lempilik, kempas, jelutung, bintangor, gerunggang, ramin, meranti, dan kantong semar adalah beberapa spesies vegetasi di antaranya. Kemudian, Usman berhenti sejenak dan menjelaskan soal medang yang berguna bagi masyarakat Kalibandung karena kayunya dapat dimanfaatkan sebagai material bangunan, dan daunnya sebagai obat pereda tukak lambung atau maag.
Berbagai keanekaragaman flora tersebut juga mendukung kehidupan fauna di Kalibandung, salah satunya adalah orang utan.
Pada akhir Juli 2020, survei yang dilakukan oleh LPHD Kalibandung bersama dengan tim dari Kesatuan Pengelolaan Hutan (KPH) Kubu Raya, dan Jari Indonesia Borneo Barat menemukan 37 sarang orang utan beserta pepohonan yang menjadi sumber pakan primata.
Keberadaan sarang orang utan tersebut menjadi rujukan utama para ahli dan pegiat konservasi dalam menelusuri populasi serta habitat orang utan. Penemuan sarang baru menjadi petunjuk kuat bahwa orang utan masih bercokol di kawasan yang rawan terbakar tersebut.
“Sarangnya ada yang besar, dan ada yang kecil. Beberapa di antaranya merupakan sarang baru. Dedaunannya masih terlihat hijau dan segar serta tercium bau (aroma) urin orang utan,” ungkap Usman.
Sarang tersebut dijumpai pada pohon malam, bintangor, pacat-pacat, kempilik, mengkaang, rengas, medang, mentibak, ara, jungkang, dan mentapis dengan jarak antarsarang berkisar 30-50 meter di kawasan lindung yang relatif masih berhutan lebat.
Populasi tersisa
Orang utan di Kalibandung diketahui berasal dari subspecies Pongo pygmaeus pygmaeus. Subspesies ini paling terancam populasinya di antara dua subspesies orang utan Kalimantan di Kalimantan Barat. Populasi mereka saat ini diperkirakan tidak lebih dari 1.500 ekor. Perambahan dan alihfungsi kawasan hutan merupakan ancaman terbesar bagi kelangsungan hidup Pongo pygmaeus pygmaeus.
Keberadaan Orang utan di Kalibandung pertama kali dipublikasikan melalui Laporan Akhir Penilaian Kelayakan Habitat dan Populasi (PHVA) Orang utan 2016 yang disusun dan diterbitkan oleh Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK).
Laporan tersebut juga menyebutkan bahwa populasi orang utan di selatan Kalimantan Barat hanya tersisa 10 dari sekitar 1.000 ekor pada 100 tahun sebelumnya. Itu berarti laju penyusutan populasi mereka rata-rata sebanyak 10 ekor setiap tahun.
“Orang utan di zona selatan terisolasi akibat pembukaan hutan. Kawasan Hutan Desa Kalibandung seharusnya terhubung hingga ke (Kecamatan) Sungaiambawang. Di sana juga ditemukan orang utan dan dalam populasi serta habitat terbatas pula,” kata Ketua Forum Konservasi Orang utan Kalimantan Barat (Fokkab) Tito Indrawan, saat dihubungi bulan lalu.
Keberadaan Hutan Desa Kalibandung, menurut Tito menjadi salah satu upaya strategis dan taktis untuk menyelamatkan populasi orang utan beserta kekayaan hayati lainnya. Skema Hutan Desa dapat meningkatkan keterlibatan masyarakat dalam memperkuat dan mengefektifkan pengawasan. Sejauh ini masyarakat terlibat dalam kegiatan patroli dan ikut serta dalam kegiatan restorasi di Hutan Desa Kalibandung.
“Di sekitar kawasan tersebut terdapat konsesi besar perkebunan kelapa sawit. Saya sarankan dibuatkan koridor sehingga kawasan hutan kembali terhubung. Apalagi, setiap perusahaan pemegang konsesi berkewajiban mencadangkan 10% areal mereka sebagai kawasan konservasi,” jelas Tito.
Kepala KPH Kubu Raya M Ari Susandi sependapat bahwa populasi dan habitat orang utan beserta keanekaragaman hayati di Kalibandung harus dilestarikan. Karena itulah, mereka mengikutsertakan seorang staf pada survei potensi Hutan Desa Kalibandung.
“Kami ingin mendapat informasi mendalam dari lapangan. Kami juga akan mengomunikasikan hasilnya, termasuk upaya pembangunan koridor kepada pihak BKSDA (Balai Konservasi Sumber Daya Alam), dan Pemerintah Kabupaten Kubu Raya,” kata Ari dalam wawancara terpisah, bulan lalu.
Karhutla dan pembalakan
Sekitar 4.000 hektare luas Hutan Desa Kalibandung merupakan eks lahan konsesi perkebunan kelapa sawit milik PT Bina Lestari Khatulistiwa Sejahtera (BLKS). Mereka hengkang sejak 2011 dan menelantarkan areal tersebut karena tidak mengantongi izin usaha budi daya perkebunan. Namun, karena sudah dialihfungsi, sebagian besar kawasan itu kini menjadi areal terbuka dan semak belukar sehingga rentan terbakar sewaktu kemarau panjang.
Pada kebakaran hutan dan lahan Agustus 2018, tidak kurang dari 200 hektare lahan gambut hangus, termasuk lahan gambut di kawasan Hutan Desa Kalibandung.
Selain terjadinya kebakaran, Hutan Desa Kalibandung juga masih menjadi incaran para perambah liar. Aksi para perambah tersebut baru berhenti setelah polisi menggerebek dan menyita sebanyak 1.000 batang kayu gelondongan di salah satu lokasi perambahan pada September 2020. Sebanyak tiga pelaku kemudian ditetapkan menjadi tersangka pembalakan.
Meskipun telah terjadi kerusakan di Hutan Desa Kalibandung, namun tidak berarti bahwa upaya-upaya pelestarian berhenti. “Kami sedang mengupayakan restorasi lahan gambut, terutama di sekitar areal hutan lindung supaya tidak rentan terbakar. Targetnya seluas 42 hektare dan ditanami sekitar 24 ribu bibit pohon lokal,” kata Usman.
Hal lain yang Usman dan masyarakat Kalibandung lakukan adalah mengubah titian atau jalan bekas pembalakan liar menjadi jalur patroli anggota LPHD. Titian tersebut membentang sekitar 4 kilometer hingga ke kawasan lindung.
“Galang (titian) ini sudah tidak digunakan lagi (oleh pembalak) sehingga akan kami manfaatkan untuk jalur patroli anggota LPHD. Namun, kami baru sekali menggelar patroli yaitu pada tanggal 14 Januari 2020 karena keterbatasan dana. Tapi kami harapkan ini akan rutin kami lakukan.” ujar Usman.
Untuk mempertahankan populasi orang utan yang saat ini masuk dalam kategori critically endangered, setidaknya ada beberapa hal yang perlu diperhatikan oleh seluruh pemangku kebijakan. Pertama, terkait jaminan keberadaan habitat orang utan yang semakin berkurang dan terisolasi. Pemerintah harus terus memantau aktivitas perusahaan yang area kerjanya bersinggungan langsung terhadap tempat hidup orang utan. Area yang menjadi tempat hidup orang utan harus dipertahankan dan tidak dialih fungsikan. Kedua, pengawasan spesies orang utan tersisa harus terus dilakukan oleh pemerintah dengan melibatkan partisipasi masyarakat sekitar. Kegiatan patroli, survei dan inventarisasi species orang utan harus rutin diperhatikan. Terakhir, kegiatan restorasi gambut dan aktivitas pemulihan habitat orang utan yang rusak harus segera dilaksanakan agar kerentanan rusaknya habitat dimasa mendatang dapat diminimalisir.