Oleh Donny Muslim
dari Pantau Gambut

Lewat tangan-tangan terampil anak muda, tanaman gambut di Teluk Karya disulap menjadi bahan pewarna alami untuk kain Sasirangan, khas dari Kalimantan Selatan. Bagi mereka, ini cara sederhana untuk memanfaatkan sekaligus menjaga gambut agar tetap lestari.

Di bawah terik matahari pagi, Laila Hayati bersama empat orang temannya berjalan menapaki lahan gambut di Desa Teluk Karya, Kecamatan Lampihong, Kabupaten Balangan, Provinsi Kalimantan Selatan.

Pada lahan gambut seluas 111,90 hektare yang berlokasi sekitar 250 meter dari pusat desa tersebut terdapat tanaman padi dan aneka pohon seperti karet, rambai, dan lainnya. Namun pagi itu, Laila dan kawannya mengajak Pantau Gambut untuk mengenali sejumlah tanaman yang menjadi sumber mata pencaharian mereka, yaitu tanaman yang menjadi bahan baku pewarna alami kain khas sasirangan.

Kain sasirangan adalah kain khas Kalimantan Selatan yang digambar dengan berbagai macam motif dan pola yang terinspirasi dari nilai-nilai kebudayaan orang Banjar. Kain tersebut direndam menggunakan pewarna alami, dan dijahit dengan teknik jahit jelujur untuk dibentuk sebagai kemeja, kaos, celana dan selendang.

Sepanjang perjalanan Laila tak bosan untuk memberi tahu apa saja tumbuhan yang biasa warga Teluk Karya gunakan dalam membuat pewarna alam.

"Kalau yang ini pohon bangkal. Batangnya biasa kita pakai untuk warna alami kuning," kata Laila sembari menunjukkan tumbuhan tersebut.

Kulit batang dari pohon bangkal berwarna coklat dan batang bagian dalamnya berwarna krem. Namun, ketika direbus dan diproses menjadi pasta, mereka akan mendapat warna kuning yang lazim digunakan pada kain sasirangan.

Tidak cuma bangkal, Laila menyampaikan bahwa tanaman khas gambut seperti galam juga digunakan sebagai warna alami abu.

"Beberapa tanaman kita ambil dari pulau (sebutan warga sekitar untuk lahan gambut). Sebagian kita memesannya dari pasar misalnya di Jawa. Karena beberapa memang tidak ada di sini," tambahnya.

Sudah satu tahun terakhir para remaja Teluk Karya mengembangkan kerajinan sasirangan dengan bahan pewarna alami, khususnya dari tanaman yang berasal dari lahan gambut. Mereka tergabung dalam kelompok Aneka Karya Sasirangan, dengan total anggota sebanyak 20 orang.

Menangkap Peluang

Awalnya, gagasan mengolah kerajinan dicetuskan oleh program pemberdayaan pemerintah pada sekitar bulan Juni tahun 2020 silam, yang kemudian dilanjutkan oleh warga setempat secara mandiri.  

Laila mengatakan bahwa program ini jelas membawa manfaat besar. Selain mendorong perekonomian remaja sekitar secara mandiri, kerajinan ini menjadi momen bagi mereka untuk memanfaatkan seperlunya tanaman-tanaman gambut yang ada di sekitar yang selama ini tumbuh liar.

Belakangan, warga setempat sudah mampu membangun galeri di dekat kantor desa sebagai wadah penjualan produk kain sasirangan dengan pewarna alam. Galeri berukuran 4x4 meter itu sekaligus menjadi tempat pelatihan anak muda yang tergabung dalam kelompok Aneka Karya Sasirangan.

Para pemuda Desa Teluk Karya juga tak sungkan berbagi ilmu kepada warga di desa-desa lainnya. Sebagai contoh, pada awal Juni 2021, mereka baru saja menuntaskan pelatihan sasirangan pewarna alam di Desa Tatakan, Kecamatan Tapin Selatan, Kabupaten Tapin, Provinsi Kalimantan Selatan, yang lahannya juga didominasi lahan gambut.

Untuk akses pasar, para pemuda ini sudah memiliki jaringan ke kantor-kantor pemerintahan kabupaten sebagai wadah penjualan utama kain yang mereka garap. Agar tidak cuma menjangkau pasar lokal, mereka juga sudah merambah penjualan melalui media sosial seperti Instagram dan Whatsapp untuk membidik calon konsumen luar.

“Kalau dari segi (bantuan) dana belum ada, tapi pemerintah membantu dalam hal pemasaran misalkan seluruh instansi pemerintah diminta memakai produk kami. Jadi seluruh pengrajin diminta data anggota dan kemampuan produksinya,” kata Laila.

"Untuk satu kainnya rata-rata 200 ribu. Kalau yang sudah jadi (produk fashion) bisa lebih dari itu" tambahnya.

Meski terbilang mematok ongkos tinggi, Laila yakin usaha yang mereka geluti lebih ramah lingkungan karena jauh dari penggunaan bahan-bahan kimia.

"Pernah sempat belajar pakai pewarna sintetis, ada kawan yang gatal-gatal. Mungkin karena ada beberapa orang yang memiliki kulit sensitif dan tidak cocok dengan bahan pewarna sintetis," kata Laila.

Ia menambahkan, penggunaan bahan pewarna alami juga memiliki nilai tawar tersendiri karena pasar ekspor belakangan lebih berminat dengan pewarna alam. “Tentu kami punya keinginan besar ke arah ekspor, pelan-pelan ke arah sana. Dimulai dari menjual di dalam daerah dulu” ujarnya.

Sekadar catatan, beberapa negara seperti Jerman, Belanda, Amerika, Inggris memang mulai melakukan pelarangan terhadap penggunaan bahan pewarna sintetis. Ini mengingat dampak dari limbah cair berpotensi memicu kanker kulit dan beberapa penyakit generative lainnya.

Larangan ini juga selaras dengan hasil Konferensi Geneva pada tanggal 20-23 Juni 1995 yang diikuti oleh Indonesia. Dalam pertemuan tersebut, disepakati bahwa jual beli tekstil dan produk tekstil yang masih menggunakan zat pewarna sintetis direkomendasikan untuk dilarang.

"Kita punya peluang di situ. Jadi bertahap. Kita mulai tata satu per satu dulu," lanjutnya.

Tantangan Kedepan

Meski memiliki kekayaan alam berupa lahan gambut ratusan hektare, warga Teluk Karya, khususnya pengrajin sasirangan masih memiliki tantangan ke depan karena lahan gambut di desa mereka rentan terhadap terjadinya kebakaran.

Sebagai contoh, pada tahun 2019, terjadi kebakaran di Teluk Karya selama tiga bulan berturut-turut. Dari bulan Juli (7,80 hektare lahan), Agustus (26,84 hektare), dan September (26,46 hektare).

Dari catatan dari M Ikhsan, fasilitator Desa Teluk Karya, kebakaran mengakibatkan semakin berkurangnya tanaman gambut seperti galam dan bangkal.

Kebakaran ini diklaim bukan karena kesalahan pengelolaaan lahan di wilayah setempat. Tapi Teluk Karya acapkali terimbas insiden kebakaran hutan dan lahan (karhutla) yang terjadi di kawasan-kawasan tetangga.

Selain itu, tantangan lainnya ada pada lahan gambut utama yang masih jauh dari permukiman. Sehingga para pengrajin masih memilih memanfaatkan hasil tanaman yang berada di sekitar kantor desa.

"Lokasinya 20 menit dari pusat desa dengan menggunakan kendaraan bermotor. Jadi ini terkait dengan akses. Karena itulah selama ini yang dimanfaatkan cuma sebagian lahan gambut yang dekat kantor desa", ujarnya.

Di sisi lain, para pengrajin juga berharap penuh agar bisa meningkatkan keahlian misalnya terkait dengan desain grafis, strategi pemasaran, dan fotografi untuk produk agar barang yang dijual semakin menarik bagi calon konsumen.

 

Dukung Kami

Bagikan informasi ini kepada keluarga dan teman-temanmu.