Membaca Alam di Tengah Teror Hantu Pembangunan
Oleh AdminKongres JMGR III digelar untuk mendukung kebijakan pemerintah dalam memberikan kehidupan yang lebih baik bagi masyarakat di lahan gambut. Dalam kongres ini, hadir 300 orang dari berbagai kabupaten dan latar belakang masyarakat untuk memperjuangkan hak-hak masyarakat gambut dalam memperoleh informasi dan transparansi terkait kegiatan restorasi gambut.
Jaringan Masyarakat Gambut Riau (JMGR) selaku organisasi masyarakat gambut pertama dan terbesar di Riau menggelar Kongres III dengan mengusung tema “Lindungi Gambut Selamatkan Kehidupan, Gambut Terjaga Masyarakat Sejahtera”. Kegiatan ini secara resmi dibuka oleh Kepala Badan Restorasi Gambut (BRG) Riau, Nazir Foead, dan Gubernur Riau yang diwakili Kadis Lingkungan Hidup dan Kehutanan Provinsi Riau, Yulwiriati Moesa.
Kongres yang dihadiri oleh 300 orang dari enam kabupaten, LSM, dan mahasiswa bertujuan untuk mendukung kebijakan pemerintah dalam memberikan kehidupan yang lebih baik bagi masyarakat di sekitar lahan gambut, menggerakkan kekuatan untuk memperjuangkan hak-hak masyarakat, serta membuka akses informasi secara luas untuk kepentingan masyarakat melalui upaya kerja sama multipihak.
Kongres III ini merupakan perhelatan besar yang berfungsi sebagai wadah bagi masyarakat gambut Riau dan mitra pemerintah dalam mendorong pengelolaan gambut yang lebih baik untuk masyarakat. Hingga saat ini, anggota JMGR terdiri atas enam kabupaten, yaitu Kabupaten Pelalawan, Indragiri Hilir, Indragiri Hulu, Siak, Kepulauan Meranti, dan Rokan Hilir. Pada kongres yang digelar dari tanggal 6-8 November 2017 ini, anggota JMGR akan bertambah dengan bergabungnya Kabupaten Bengkalis yang terdiri atas dua kecamatan dan sepuluh desa.
Dalam kongres ini, para pembicara mendiskusikan berbagai permasalahan terkait hutan dan lahan gambut yang ada di Riau. Salah satunya adalah bagaimana kondisi hutan dan lahan gambut Riau yang secara terus-menerus mengalami kerusakan akibat konversi lahan, subsidensi, abrasi, maupun kebakaran hutan dan lahan (karhutla).
Konversi lahan oleh perusahaan pun menjadi pembicaraan dalam kongres ini sehingga diperlukan pencabutan izin perusahaan yang menggunakan lahan gambut. Sayangnya, hal tersebut tidak dapat dilakukan dengan mudah karena pencabutan izin perusahaan hanya bisa dilakukan jika terbukti melakukan kesalahan fatal.
Oleh karena itu, BRG berupaya untuk melibatkan masyarakat dalam setiap proses kegiatan restorasi, seperti Program Desa Peduli Gambut yang diharapkan mampu menjadi wadah bagi masyarakat untuk menyalurkan aspirasi yang nantinya menjadi bahan pertimbangan dalam menentukan langkah restorasi yang tepat.
Komitmen perlindungan dan pengelolaan gambut berbasis masyarakat yang berkeadilan dan lestari juga menjadi salah satu pembicaraan dalam kongres ini. Josefhine Chitra sebagai perwakilan Tim Pantau Gambut turut mengisi satu sesi seminar bersama Walhi Riau yang diwakili oleh Fandy dan salah satu tokoh masyarakat, Abdul Manan. Ketiganya menjelaskan pentingnya pelibatan masyarakat dalam proses pemulihan dan pengelolaan lahan gambut dengan mempertimbangkan kearifan lokal. Isu-isu terkait pendampingan peningkatan ekonomi masyarakat, konflik batas desa dengan konsesi, ketidakhadiran peran langsung Pemprov Riau juga menjadi perbincangan hangat. Pantau Gambut pada kesempatan ini terus mendorong masyarakat untuk terlibat aktif memantau komitmen pemerintah dalam upaya perlindungan dan pemulihan lahan gambut.
Dengan demikian, perlu dilakukan penanganan yang lebih komprehensif agar pengelolaan lahan gambut dapat berjalan dengan baik. Dengan adanya kongres ini, dukungan dari pemerintah pusat dan daerah diharapkan mampu bersinergi dengan program kerja JMGR untuk empat tahun ke depan dan dapat melahirkan solusi untuk kehidupan masyarakat gambut yang lebih baik.