Oleh Zamzami
dari Pantau Gambut

Pantau Gambut bersama Kaliptra Andalas melihat lebih dekat bagaimana kinerja restorasi gambut pada 11 dari 52 perusahaan sawit dan Hutan Tanaman Industri (HTI) di Riau. Hasil temuan ini disampaikan dalam diseminasi di Pekanbaru akhir Februari lalu. Tiga hal yang menjadi objek pemantauan adalah sejauh apa realisasi rencana restorasi di bidang infrastruktur, analisis kebakaran dan pembukaan baru di konsesi mereka.

Kaliptra Andalas dan Pantau Gambut baru saja menyelesaikan pemantauan lapangan untuk mencari tahu bagaimana perkembangan program restorasi di 11 konsesi yang berada di Provinsi Riau. Hasil pemantauan kedua organisasi tersebut menyebutkan bahwa implementasi rencana restorasi di wilayah konsesi baik HTI maupun perkebunan sawit belum terlaksana. Hal ini dapat dilihat dari rencana restorasi yang diserahkan ke pemerintah, di mana tim Pantau Gambut dan Kaliptra tidak menemukan satu pun infrastruktur restorasi yang dibangun.

 

Sebelas perusahaan yang diteliti adalah PT Sumber Sawit Sejahtera Kabupaten Pelalawan, PT Arara Abadi Distrik Merawang Kabupaten Pelalawan, PT Riau Andalan Pulp dan Paper Estate Teluk Meranti Kabupaten Pelalawan, PT Satria Perkasa Agung Unit Gaung Kabupaten Pelalawan, PT Satria Perkasa Agung Unit Serapung Kabupaten Pelalawan, PT Musim Mas Kabupaten Pelalawan, PT Sumatera Riang Lestari Unit Rangsang Kabupaten Kepulauan Meranti, PT Arara Abadi Distrik Rasau Kuning Kabupaten Siak, PT Arara Abadi Distrik Melibur Kabupaten Bengkalis, PT Palma Satu Kabupaten Indragiri Hulu dan PT Agro Sarimas Indonesia Kabupaten Indragiri Hulu.

 

Hal ini sangat disesalkan karena dalam surat kesepahaman antara Badan Restorasi Gambut bersama dengan Gubernur Riau yang ditandatangani pada Juli 2017, Gubernur Riau berkomitmen untuk melibatkan pengusaha perkebunan dan kehutanan yang beroperasi di Riau dalam upaya restorasi gambut.

 

Berdasarkan surat tersebut, porsi target restorasi gambut Riau dari 2016 sampai 2020 mencapai 900.000 hektar dibagi menjadi kewajiban BRG sebesar 109 ribu hektar di luar konsesi dan sekitar 800 ribu hektar yang berada di dalam konsesi menjadi tanggung jawab pemegang konsesi.

 

Selain itu kesepahaman tersebut juga mencakup koordinasi dan perencanaan restorasi ekosistem gambut, pemetaan Kesatuan Hidrologis Gambut, pelaksanaan konstruksi infrastruktur pembasahan gambut dan segala kelengkapannya, penataan ulang pengelolaan dan edukasi restorasi gambut dan pelaksanaan supervisi dalam konstruksi-operasi-dan pemeliharaan infrastruktur di lahan konsesi.

 

Titik Api di Area Konsesi

 

Data kebakaran hutan selama periode 2015 hingga 2019 menunjukkan titik api ditemukan di dalam area semua konsesi. Pada tahun 2019 contohnya, tujuh dari sebelas konsesi masih ditemukan titik api, padahal ini merupakan tahun ketiga pasca ditandatangani komitmen restorasi bersama BRG dan KLHK.

 

Setelah dicek ke lapangan terkonfirmasi bahwa ada bekas kebakaran di lahannya. “Dua perusahaan yakni PT Palma Satu di Indragiri Hulu dan PT Sumatera Riang Lestari di Rangsang, hampir tiap tahun terbakar. Kawasan yang terbakar cukup luas. Bukti ini dijadikan basis untuk mempertanyakan komitmen mereka dalam merestorasi gambut. Kementerian LHK dan Dinas LHK Provinsi Riau harus segera bertindak meminta keseriusan perusahaan,” ujar Romes Irawan Putra, Direktur Eksekutif Kaliptra Andalas.

 

Laporan kondisi lapangan juga ditumpangsusunkan dengan peta tutupan hutan. Dari sini, tim menemukan masih adanya pembukaan baru di lahan konsesi bergambut tersebut. Padahal dalam peraturannya, lahan yang terbakar harus direstorasi bukan ditanami akasia atau sawit.

 

“Kami juga menemukan adanya penanaman baru pada lahan bekas terbakar dalam areal konsesi HTI dan perkebunan sawit. Bahkan 10 dari 11 perusahaan itu masih terdapat pembukaan lahan baru di areal fungsi lindung ekosistem. Dan itu terus berlangsung tiap tahun sejak 2015 hingga 2018,” tambah Romes.

 

Menurut dia, temuan-temuan ini, baik ketaatan pada komitmen restorasi gambut maupun tidak lagi membuka lahan, sangat mengecewakan. Apalagi perusahaan yang dipantau dalam laporan ini punya kebijakan global tentang perlindungan gambut dan hutan.

 

“Kami berpikir, perlu adanya tim independen yang secara kolaboratif membantu proses pengawasan bagaimana komitmen restorasi perusahaan ini bisa terlaksana dengan baik. Oleh karena itu, pemerintah harus segera mengambil inisiatif agar tidak dibohongi oleh pernyataan komitmen di atas kertas dari perusahaan tersebut,” kata Romes.

 

Mekanisme Self Approval

 

Sementara itu, Dinas LHK Provinsi Riau, Rizda Fauzana mengatakan bahwa saat ini sudah ada mekanisme self approval bagi perusahaan untuk menjalankan program restorasi gambut di areal konsesinya. Ini berlaku bagi perusahaan yang sudah memberikan rencana pemulihan ke Kementerian LHK.

 

“Sekarang ada self approval. Mereka wajib berikan laporan bulanan itu ke KLHK. Mereka wajib mengawasi kegiatan mereka sendiri untuk melindungi ekosistem gambut. (seperti kegiatan) pemulihan, dari sekat kanal, debit muka air, pokoknya laporan itu harus ada,” ujar Rizda dalam desiminasi tersebut.

 

Namun bagi yang belum menyerahkan rencana kerja restorasi gambut, maka pengawasan dilakukan oleh Dinas LHK provinsi. Fungsi pemantauan itu juga sangat bergantung pada kesediaan sumberdaya anggaran. “Bagi yang belum self approval, itu masih kita yang mengawasi. Kita bersurat ke perusahaan HTI dan perkebunan untuk melakukan laporan bulanan ke kita (tentang) apa saja kegiatan untuk pemulihan ekosistem gambut,” tambah Rizda.

 

“Sebagai langkah percepatan, Kita sedang menyusun rencana perlindungan dan pengelolaan ekosistem gambut yang sudah ditetapkan. Tugas kita sebagai pemerintah daerah, menyediakan dokumen perencanaan itu untuk semua pihak. Itu yang sedang kita usahakan, berisi rencana pengelolaan untuk 30 tahun kedepan yang bisa kita revisi per lima tahun. Selain itu, Dinas LHK Riau juga sedang coba menyiapkan platform yang secara periodik dapat memantau progres restorasi atau rehabilitasi lahan, misalnya dimana saja bibit yang sudah ditanam dan perkembangannya sehingga dapat memudahkan proses monitoring” katanya.

 

Sementara itu Edwin Pratama Putra, anggota DPD Riau mengatakan perlu audit kepatuhan bagi perusahaan perkebunan dan HTI untuk memastikan keberlanjutan lingkungan hidup yang lebih baik. Di sisi lain, ia menilai pemerintah provinsi baiknya menyediakan informasi dan data hasil pengawasan kinerja pemulihan. Data tersebut penting untuk mendorong transparansi dan inklusifitas publik terlibat aktif dalam mengawasi perlindungan ekosistem gambut.

 

“Kalau seandainya pemerintah provinsi merilis (data hasil pengawasan) ini, dan memberikan ruang diskursus luas bagi masyarakat, publik akan berterima kasih. Dengan begitu beban fungsi kontrol itu bisa dilakukan masyarakat juga. Informasi dan data ini jarang sekali dibuka kepada publik. Kalaupun dibuka, pasti setengah-setengah. Ini harus jadi catatan keras bagi kita,” katanya.

Dukung Kami

Bagikan informasi ini kepada keluarga dan teman-temanmu.