Oleh Donny Muslim
dari Pantau Gambut

Empat perusahaan kelapa sawit di Kalimantan Selatan diduga lalai menjaga kebun mereka dari insiden kebakaran hutan dan lahan (karhutla) tahun 2019 lalu. Polisi pun akhirnya menyegel ke empat perusahaan tersebut guna mendukung langkah penyidikan. Lantas, sudah sampai mana proses penegakkan hukum di tangan aparat pada tahun 2020 ini?

Peristiwa kebakaran hutan dan lahan yang terjadi awal bulan September 2019 kemarin masih terekam jelas dalam memori Abdullah (52 tahun), warga Desa Lamimar, Kecamatan Astambul, Kabupaten Banjar. Asap tersebut menyeliputi Desa Laminar sekitar satu pekan lamanya dengan ketebalan asap yang bervariatif. Paling parah terjadi pada awal bulan, tepatnya pada 2 September 2019.

"Asapnya sampai meolah (bikin) sesak kalau lama. Jarak pandangnya pun hanya sekitar 2 meter," kenang Abdullah. Selain Lamimar, diakuinya desa-desa tetangga seperti Lokgabang dan Kalampayan juga terimbas. Sebab, Lamimar berlokasi di pertengahan Kecamatan Astambul.

Dari hasil penelusuran tim kepolisian, sumber asap yang menyeliputi Desa Lamimar dan sekitarnya itu rupanya berawal dari lahan terbakar milik PT Monrad Intan Barakat (MIB) dan Borneo Indo Tani (BIT) yang berada sekitar 2,5 kilometer dari permukiman. Akibat keadaan angin yang kencang, api cepat menjalar dan membakar sekitar 1192 hektar lahan PT MIB dan 92 hektare lahan PT BIT sehingga menyebabkan kabut asap yang pekat hingga menyelimuti Desa Laminar dan wilayah sekitarnya.

PT MIB dan BIT merupakan dua perusahaan yang berbeda. Namun, lokasinya bersebelahan. Tepatnya di Desa Sungai Rangas Ulu hingga membentang sampai Desa Sungai Batang Ilir, Kecamatan Martapura Barat, Kabupaten Banjar.

Hasil Analisa Pantau Gambut terhadap area bekas terbakar (burned area) di dalam wilayah kerja dua konsesi tersebut memperlihatkan banyaknya bekas area terbakar dari tahun 2015 – 2019. 

Hampir setiap tahun dua wilayah konsesi tersebut selalu mengalami kebakaran yang menghanguskan lebih dari 50% area kerja pada periode 2015-2019. Bahkan, area gambut lindung dan budidaya yang masuk dalam wilayah kerja perusahaan ikut terbakar, tak terkecuali ditahun 2019.

Kejadian karhutla di kedua perusahaan pada 2019 lalu langsung ditangani oleh Kepolisian Daerah (Polda) Kalimantan Selatan melalui Tim Satgas Terpadu Penegakan Hukum Karhutla. Tim langsung memasang police line di lokasi tersebut guna penyelidikan lebih lanjut. Dua ahli forensik untuk kasus karhutla, Prof. Bambang Hero Saharjo dan Ir Basuki Wasis turut hadir untuk pengambilan sampel tanah yang akan dilakukan uji laboratorium. 

Dua perwakilan perusahaan juga sempat memberikan komentar dalam kasus kebakaran hutan dan lahan di wilayah kerjanya. Divisi Hubungan Masyarakat (Humas) PT Monrad Intan Barakat, Johansyah, menyebut kebakaran lahan milik mereka dipicu lantaran kebakaran lain di luar konsesi. Angin yang cukup kencang membuat api pun membakar lahan mereka.

"Api datang dari lahan warga dan masuk ke HGU lain. Kita sebenarnya jaga. Tapi, karena kencangnya angin, kami kewalahan dan akhirnya masuk HGU kami," ucap Johansyah saat kegiatan penyegelan tahun 2019 silam.

Sementara, Manajer PT Borneo Indo Tani, Valentine, tak ingin menuding siapa-siapa dalam kasus ini. Ia menyerahkan sepenuhnya kepada kepolisian untuk menindaklanjutinya.

Direktur Reserse Kriminal Khusus (Direskrimsus) Polda Kalsel, Kombes Pol Masrur, berkomitmen pihaknya akan menuntaskan perkara dua perusahaan ini. Sebab, manajemen memang diduga lalai menjaga lahan sawit dari api.

Hal tesebut tertuang di dalam Undang-Undang No 41 Tahun 1999 tentang kehutanan disebutkan bahwa “Pemegang hak atau izin bertanggung jawab atas terjadinya kebakaran hutan di areal kerjanya.”

"Jadi memang terbakar bukan dibakar. Kanal atau parit di lahan itu kering, sehingga memicu api" ujar Masrur saat ditemui di ruang kerjanya, pada Jum'at (20/3/2020).

Selain PT MIB dan PT BIT, menurut Masrur, kepolisian juga akan menindaklanjuti perkara dua perusahaan lainnya. Ia tak menyebut detail dua perusahaan itu

Namun dari informasi yang berhasil dihimpun, dua korporasi itu yakni PT Tasnida Agro Lestari (TAL) dan PT Agri Bumi Sentosa) yang beroperasi di Kabupaten Barito Kuala yang sebagian area kerjanya masuk dalam lahan gambut.

"Totalnya ada empat kasus. Jadi untuk MIB sudah tahap 2 kejaksaan (P-21) sedangkan tiga lainnya sudah penyidikan dan tinggal menunggu keterangan ahli. Ini yang cukup membuat menunggu. Intinya penegakkan hukum tidak ada masalah ya. Kita berkomitmen. Secepatnya akan selesai," tambah Masrur.

Mengacu data Ditreskrimsus Polda Kalsel, sampai saat ini ada 43 perkara karhutla yang tengah dan sudah ditangani kepolisian. Empat dari korporasi dan sisanya berasal dari perorangan.

Dengan total perkara sebanyak itu, dia menyatakan bahwa 2019 merupakan tahun terbanyak penanganan kasus karhutla di Kalsel. Dorongan ini juga menurutnya berasal dari instruksi Bareskrim Polri yang kini sedang gencar membidangi perkara ini.

Perihal jerat hukum yang akan diterima manajemen perusahaan, pihaknya menyangkakan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 32 tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup yaitu Pasal 98 dan atau Pasal 99.

Pasal 98 ayat 1 berbunyi setiap orang yang dengan sengaja melakukan perbuatan yang mengakibatkan dilampauinya baku mutu udara ambien, baku mutu air, baku mutu air laut, atau kriteria baku kerusakan lingkungan hidup dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 tahun dan paling lama 10 tahun dan denda paling sedikit Rp3.000.000.000 dan paling banyak Rp10.000.000.000.

Sedangkan, Pasal 99 ayat 1 berbunyi setiap orang yang karena kelalaiannya mengakibatkan dilampauinya baku mutu udara ambien, baku mutu air, baku mutu air laut, atau kriteria baku kerusakan lingkungan hidup, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 tahun dan paling lama 3 tahun dan denda paling sedikit Rp1.000.000.000 dan paling banyak Rp3.000.000.000.

 

Ramai-ramai kasus karhutla juga disoroti Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Kalimantan Selatan. Melihat fakta yang terjadi selama insiden kebakaran 2019, mereka mendorong kasus problem ini ditangani secara serius oleh pemerintah untuk ke depannya.

"Penanganan tidak dilakukan secara komprehensif sampai ke akar permasalahannya. Pemerintah hanya fokus menangani setelah kabut asap terjadinya," kata Manajer Kampanye Walhi Kalsel, Jefri Raharja.

Jefri mencontohkan, untuk pemadaman kebakaran, pemerintah menggelontorkan 30 juta rupiah untuk setiap jam penerbangan helikopter water boombing. Namun, menurut dia usaha berbiaya besar itu tidak diarahkan untuk pencegahan di awal sebelum terjadinya kebakaran.

Walhi juga mengingatkan bahwa ada kasus ISPA yang naik pesat selama bencana karhutla itu. Mengacu data Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) tahun 2019 total ada 40.374 orang di Kalsel yang positif terserang gangguan pernafasan akut.

Sementara itu, Sekretaris Eksekutif Gabungan Asosiasi Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (GAPKI) Kalimantan Selatan, Ahmad Yuliani, tak banyak berkomentar menanggapi hal itu. Ia hanya menegaskan bahwa tak mungkin perusahaan (apalagi anggota GAPKI) sengaja membakar lahan.

Instruksi Presiden (Inpres) tentang Penundaan dan Evaluasi serta Peningkatan Produktivias Perkebunan Sawit, menurut Yuliani, juga menjadi perhatian serius GAPKI Kalsel. Pemerintah melakukan penudaan pemberian izin baru sawit selama tiga tahun.

"Jadi tidak mungkin ada pembukaan lahan baru. Apalagi dengan cara dibakar. Yang ada malah terbakar," ujarnya.

Yuliani pun terus mendorong perusahaan-perusahaan sawit yang belum menjadi anggota untuk segera bergabung. Hal ini dilakukan untuk membina perusahaan melakukan manajamen terbaik dalam pengelolaan kebun sawit di Kalsel agar tak berdaya rusak lingkungan.

Dukung Kami

Bagikan informasi ini kepada keluarga dan teman-temanmu.