Mewarisi Tradisi Merawat Alam
Oleh Ibrahim ArsyadPemerintah berencana membangun jembatan penghubung antara Pulau Sumatera dan Kepulauan Bangka Belitung. Jembatan yang diusulkan bernama Jembatan Bahtera Sriwijaya inipun sudah disepakati lokasi pembangunannya.
Pemerintah Provinsi Sumatera Selatan dan Kepulauan Bangka telah menyepakati lokasi titik pangkal lokasi pembangunannya belum lama ini.
Berada di pesisir timur Pulau Sumatera, jembatan ini dinilai akan lebih erat menghubungkan interkoneksi jaringan tol Trans Sumatera. Dari tiga opsi lokasi pembangunan, jembatan ini akan berada Desa Tanjung Tapa Kabupaten Ogan Komering Ilir.
Titik Desa Tanjung Tapa dinilai lebih dekat pada jalan penghubung pintu tol Kayuagung, OKI.
Sehingga, keberadaannya dinilai akan mendekatkan jarak tempuh menuju ke Pulau Jawa dengan melewati tol. Pembangunan jembatan dengan panjang 15 km ini diperkirakan akan menelan biaya besar Rp15 triliun.
Nantinya, pengelolaan jembatan ini akan menjadi jembatan berbayar atau jembatan tol seperti halnya Jembatan Suramadu di Pulau Jawa.
Titik Desa Tanjung Tapa ialah kawasan dengan topografi gambut yang cukup dalam. Karena itu, pembangunannya dipastikan mengancam kelestarian gambut di Sumatera Selatan. Pemerintah tidak tepat jika memilih kawasan pesisir yang kaya akan gambut.
Diketahui, Kabupaten Ogan Komering Ilir di Sumatera Selatan termasuk kabupaten yang kaya akan gambut. Luasan gambutnya termasuk yang terluas. Pemerintah Kabupaten mencatat luasan gambut di kabupaten ini mencapai 6.830 hektar.
Dari luas itu, sebaran gambut terluas di lima kecamatan yakni Cengal, Tulung Selapan, Pampangan, Pedamaran dan Mesuji.
Desa Tanjung Tapa sendiri berada di Kecamatan Tulung Selapan. Keberadaan jembatan penghubung antar pulau ini dipastikan akan merusak gambut di daerah tersebut.
Pembangunanya akan semakin membuka kawasan gambut di Ogan Komering Ilir, Sumsel. Sangat jelas jika pemerintah tidak mengedepankan aspek wawasan lingkungan, seperti halnya kawasan gambut yang berperan sebagai penopang kawasan ekosistem pesisir Pantai Timur Sumatera.
Dengan kondisi saat ini, telah banyak gambut yang rusak, maka pembangunan jembatan Bahtera Sriwijaya akan memperparah kerusakan gambut di kawasan tersebut. Pembangunannya sebagai sarana transportasi dipastikan akan membuka pembangunan lainnya yang dipastikan akan berada di kawasan gambut di kabupaten Ogan Komering Ilir.
Pembangunan jembatan akan mendorong pembangunan sektor pemukiman, pergudangan hingga kawasan bisnis lainnya, seperti halnya dermaga.
Kerusakan kawasan pesisir timur Sumatera menjadi ancaman yang serius, mengingat kawasan itu ialah kawasan mangrove bagi Pulau Sumatera. Pemerintah sangat jelas menggunakan dalih ekonomi atau percepatan pembangunan namun mengesampingkan aspek lingkungan.
Kerusakan lahan gambut juga mendorong potensi kebakaran hutan dan lahan yang lebih banyak. Perubahan topografi gambut akan mengubah kawasan gambut Sumsel menjadi lahan-lahan mineral.
Kerusakan gambut merupakan kerusakan bagi ekosistem di Sumsel. Fungsi gambut yang sangat besar bagi lingkungan akan hilang dan mengakibatkan kerusakan lainnya, misalnya hilangnya habitat bagi fauna dan flora.
Belum lagi, berbicara potensi kerusakan alam ketika gambut hilang. Karena itu, Pemerintah hendaknya melakukan analisis dampak lingkungannya atas pembangunan jembatan ini.
Aspek lingkungan yang utama ialah kehilangan peran gambut bagi lingkungan. Hitung bagaimana habitat perairan berubah fungsi, satwa-satwa air kehilangan habitatnya, dan hutan mangrove yang menjadi benteng terakhir perlindungan akan abrasi laut menjadi tiada.
Bisa dikatakan pembangunan jembatan ini menjadi ancaman terendamnya pesisir Timur atau Pulau Sumatera.
Bisakah Pemerintah lebih mengutamakan peran gambut atas pembangunan jembatan tersebut? Rasanya itu, tidak mungkin.
*Opini ini disampaikan oleh Direktur Eksekutif Walhi Sumsel sekaligus Koordinator Pantau Gambut Sumsel, Hairul Sobri.
**TULISAN INI SEBELUMNYA DIPUBLIKASIKAN DI WongKito.co, PADA TANGGAL 17 DESEMBER 2020