Oleh Oriz Putra
dari www.pantaugambut.id

Kebakaran hutan dan lahan (karhutla) gambut merupakan hal yang sangat merugikan terutama bagi masyarakat sekitar area kebakaran. Ketika kebakaran terjadi, asap tidak hanya mengganggu kesehatan warga tapi juga mengusik aktivitas ekonomi warga setempat.

Bukhari, salah satu anggota Masyarakat Peduli Api (MPA), sudah pasrah. Dia sudah tiga hari bermalam di lokasi kebakaran.

“Beginilah keadaan kami apabila terjadi kebakaran. Kami harus selalu siap sedia melaksanakan kegiatan pengawasan dan pemadaman jika terjadi karhutla. Di malam hari pun kami terkadang melakukan pemadaman, meski badan sudah lelah karena bekerja di siang hari,” kata Bukhari.

Teluk Makmur merupakan daerah yang wilayahnya sebagian besar adalah lahan gambut sehingga rawan karhutla di musim kemarau. Kelurahan ini juga salah satu area yang terbakar parah saat kebakaran besar melanda sejumlah wilayah di Indonesia pada tahun 2015. Setelah tiga tahun cukup tenang dari kebakaran hutan 2015, Teluk Makmur kembali mengalami kebakaran sejak awal tahun 2019. Menurut data yang tercatat sensor VIIRS, NASA, enam titik panas terpantau di lokasi dengan koordinat berbeda dalam wilayah Desa Teluk Makmur pada Januari - Mei 2019. 

“Sudah kaya Teluk Makmur apabila tidak terjadi kebakaran hutan. Kebakaran hutan di Teluk Makmur tak jarang membakar lahan penduduk, yang mana lahan tersebut merupakan sumber penghasilan masyarakat setempat” kata Jumari, ketua MPA Teluk Makmur.

Karhutla tidak hanya merugikan masyarakat secara finansial, tapi juga tenaga dan waktu yang sudah pasti terkuras. Kesehatan masyarakat sekitar area kebakaran turut terganggu karena terlalu banyak menghirup asap.  

Pemilik lahan yang terbakar akan mengalami kerugian yang sangat besar dalam bentuk gagal panen, omset berkurang, dan kehabisan modal. “Kebun saya pernah terbakar, sekitar 4 hektar. Akibatnya, waktu itu saya tidak bisa panen sama sekali” ujar Syahril, warga petani sawit di Teluk Makmur.  

Masyarakat yang tidak memiliki lahan pun akan mendapat kerugian ekonomi. Pasalnya, upaya pemadaman juga melibatkan warga yang bukan pekebun. Saat turut serta memadamkan api, mereka meninggalkan pekerjaan utama, misalnya berdagang. Tanpa bekerja, mereka tentunya tidak mendapatkan penghasilan.

Selain itu, kebakaran hutan yang terjadi sangat mengganggu aktivitas masyarakat. Ayu yang merupakan salah satu penduduk setempat mengatakan, “Kabut asap sangat mengganggu, karena jarak pandang yang sangat terbatas sehingga harus berhati-hati ketika berkendara. Selain itu sekolah diliburkan ketika kebakaran hutan besar terjadi.”

Karhutla terus terjadi di sejumlah wilayah di Riau. Pada 11 Juni 2019 saja, total titik panas dengan tingkat kepercayaan tinggi yang terpantau di seluruh wilayah Riau mencapai 27 titik. Masyarakat tentunya berharap Pemerintah lebih serius dalam hal penanganan karhutla dengan lebih terkoordinir sehingga karhutla tidak terulang kembali.

Dukung Kami

Bagikan informasi ini kepada keluarga dan teman-temanmu.