Dari Minnesota ke Indonesia
Oleh Admin Pantau GambutPerlakuan yang seragam terhadap masyarakat petani tanpa melihat kaidah adat menjadi pemicu timpangnya penegakan hukum terkait larangan membakar lahan. Bahkan seringkali, masyarakat adat yang berdiam di pegunungan justru yang disalahkan atas kebakaran yang terjadi di dataran rendah. Padahal mereka membakar lahan untuk kepentingan pertanian dalam bingkai adat dan aturan-aturan adat yang ketat dengan sanksi yang jelas dan tegas.
“Untung sekarang sudah masuk musim penghujan. Kami tak lagi was-was. Proses membakar lahan untuk persiapan menanam padi juga sudah dilakukan beberapa bulan lalu. Sekarang tinggal manugal (menanam benih di ladang) dan melanjutkan tahapan pertanian yang biasa kami lakukan. Dalam setiap tahapan kami menggelar upacara sebagai bentuk ‘permisi’ dan memohon keselamatan dan kesuksesan panen pada Tuhan,” ujar Parlihan, sekretaris Lembaga Adat Dayak Pitap, Kabupaten Balangan, Kalimantan Selatan.
Parlihan wajar merasa lega. Musim hujan yang kini mengguyur dan merata terjadi di hampir seluruh wilayah Kalimantan Selatan membuat kabut asap akibat kebakaran hutan dan lahan (Karhutla) tak lagi terjadi. Karhutla cukup mengkhawatirkan beberapa bulan silam saat musim kemarau mencapai puncaknya. Karhutla terjadi di sejumlah wilayah, seperti di sekitar Bandara Syamsuddin Noor di Kota Banjarbaru. Kabut asap yang berasal dari lahan gambut di Guntung Damar yang tak jauh dari bandara ini sering mengganggu kegiatan penerbangan. Karhutla juga terjadi di beberapa kabupaten di Kalsel seperti di Hulu Sungai Utara, Banjar, Barito Kuala, Hulu Sungai Selatan, dan Tanah Laut.
Walau karhutla rata-rata terjadi di lahan gambut yang letaknya berada di dataran rendah di Kalimantan Selatan, masyarakat yang tinggal di dataran tinggi turut disalahkan membakar secara sengaja. Dalam beberapa kasus, masyarakat adat diamankan karena dituding membakar lahan dan menyebabkan kabut asap. Padahal mereka membakar lahan di tanah mereka sendiri dan dalam skala yang sangat kecil. Apalagi jika dibandingkan dengan skala yang kebakaran yang disebabkan kegiatan land clearing yang jamak dilakukan perusahaan perkebunan skala besar di berbagai wilayah.
Hal inilah yang membuat Parlihan dan sebagian besar masyarakat Dayak di Pegunungan Meratus di Kalsel was-was. Karena dalam tradisi dan adat masyarakat Dayak Meratus, pembukaan lahan pertanian dilakukan dengan cara manyalukut dalam bahasa lokal yang berarti membakar lahan secara terbatas berdasarkan kaidah dan aturan-aturan adat.
“Membakar lahan di pegunungan sangat berbeda dengan yang terjadi di daerah di bawah. Di sini tak ada lahan gambut. Adanya tanah gunung. Namun ketika kabut asap terjadi karena lahan gambut terbakar, kami di atas (di pegunungan) turut disalahkan,” ujar Parlihan.
Pada umumnya, masyarakat Dayak di Pegunungan Meratus mengembangkan sistem pertanian (perladangan) yang disesuaikan dengan karakter alam sekitar mereka. Karena umumnya mereka tinggal di pegunungan, maka pertanian yang dikembangkan berbentuk perladangan. Untuk mengolah tanah yang relatif kering namun kaya unsur hara, orang Dayak Meratus membuka lahan dengan cara membakar. Lalu pada tahapan berikutnya menebarkan benih, menyiangi lahan secara rutin, menjaga padi yang tumbuh dari serangan binatang seperti kera, bangkui (kera berukuran lebih besar), dan babi hutan. Dalam setiap babak peralihan tahapan pertanian mereka menggelar ritual atau dalam bahasa lokal disebut Aruh. Tahapan Aruh berakhir ketika padi telah masuk ke Upak atau lumbung.
Sistem pertanian yang dikembangkan orang Dayak Meratus inilah yang menurut Kepala Adat Dayak Pitap, Ali Udar, sering disalahartikan sebagian orang. Orang luar sering menuding komunitas Dayak Meratus sebagai penyebab datangnya kabut asap karena mereka membuka lahan dengan cara membakar. Tudingan lainnya, orang Dayak Meratus lah yang menyebabkan hutan-hutan rusak karena perladangan berpindah yang mereka lakukan.
Ali Udar juga meminta berbagai pihak untuk tak lagi menyalahkan sistem pertanian berpindah yang dilakukan masyarakat Dayak Meratus.
“Itu bukan berpindah semaunya. Pindah tempat berladang ada ritual dan periodenya. Biasanya kami akan kembali ke tempat semula membuka ladang dalam waktu tujuh sampai 15 tahun. Karena itu, ini bukan perladangan berpindah. Tapi perladangan gilir balik. Kami kembali ke tempat asal membuka ladang dengan hitungan tertentu," ujarnya.
Secara hukum, pembukaan lahan dengan cara membakar sendiri sebenarnya telah dilarang oleh pemerintah. Namun, ada pengecualian dalam pelaksanaan kebijakan ini, yaitu bahwa ada perlindungan terhadap kearifan lokal masyarakat terkait pembukaan lahan.
Menurut Undang Undang Nomor 32/Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup Pasal 69 ayat 1 poin h, setiap orang dilarang melakukan pembukaan lahan dengan cara membakar. Pasal ini disertai dengan ancaman hukuman pidana dan penjara yang tak pelak menjadi “teror” bagi para petani di berbagai wilayah di Kalimantan Selatan. Namun ayat 2 pada pasal yang sama mengatur bahwa, “Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf h memperhatikan dengan sungguh- sungguh kearifan lokal di daerah masing- masing.”
Perlindungan terhadap kearifan lokal ini juga tertuang dalam Peraturan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor 10/Tahun 2010 Tentang Mekanisme Pencegahan Pencemaran dan Kerusakan Lingkungan Hidup. Dalam Pasal 4 ayat 1 dan 2 Peraturan Menteri ini mengizinkan masyarakat adat membakar lahan dengan sejumlah syarat tertentu. Syarat-syarat tersebut antara lain adalah pembakaran lahan dengan luas lahan maksimum 2 ha per kepala keluarga untuk ditanami jenis varietas lokal wajib memberitahukan kepada kepala desa. Kepala desa menyampaikan pemberitahuan tersebut kepada instansi yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup kabupaten/kota. Syarat yang perlu diperhatikan juga adalah bahwa pemberian izin pembakaran lahan tersebut tidak diperbolehkan pada kondisi curah hujan di bawah normal, kemarau panjang dan iklim kering.
Berdasarkan peraturan perundang-undangan ini jelas ada semacam pengecualian dalam hal membakar untuk membuka lahan pertanian bagi masyarakat adat. Tentu dengan syarat tertentu. Namun, di Kalsel khususnya, sosialisasi tentang membakar lahan yang diyakini pemerintah sebagai salah satu penyebab munculnya kabut asap, berlangsung tak seimbang. Sanksi, larangan, dan ancaman ditulis dengan tinta lebih tebal, dibanding memberi ruang bagi masyarakat adat.