Habis Asian Games Terbitlah Karhutla
Oleh ZamzamiLebak Lebung merupakan rawa pasang surut dan gambut yang menjadi wilayah budidaya padi dan ikan masyarakat di Kabupaten Ogan Komering Ilir (OKI), Sumatera Selatan. Pada bagian dalam lebak lebung terdapat rawang (gambut) yang biasanya ditumbuhi berbagai jenis pohon dan digunakan sebagai lokasi untuk mengumpulkan ikan saat air pasang. Dulu, lebak lebung dikelola dengan prinsip komunal budal, siapa saja dapat mengambil manfaat hasil alam selama menghasilkan manfaat bagi masyarakat. Namun, sistem yang terbuka ini kemudian diubah dengan sistem lelang rakyat yang dikuasai oleh tuan tanah karena mahalnya harga sewa areal rawa yang dikelola oleh pemerintah daerah OKI.
Masyarakat OKI khususnya bagi Orang Rena terbiasa dengan sistem lelang untuk memperoleh akses kelola di lebak lebung. Awalnya, sistem lelang menggunakan sistem lelang rakyat dengan mengumpulkan uang sebanyak 300-400 ribu rupiah/ penggarap untuk memperoleh hak kelola selama satu tahun. Besaran biaya yang perlu dibayarkan oleh penggarap ditentukan dari harga lelang dibagi jumlah penggarap yang ada.
Kini, sistem lelang rakyat telah hilang, seiring waktu pemerintah mematok harga lelang yang tinggi.
Pemerintah kecamatan dan desa berperan sebagai panitia pelaksana lelang dan dapat memberikan rekomendasi ke pemerintah kabupaten dalam mengeluarkan izin kelola areal Lebak Lebung ke pemenang lelang (Perda Kab. OKI No.18/2010). Rekomendasi tersebut termasuk harga standar lelang berdasarkan usulan panitia tingkat kecamatan. Beberapa warga Desa Belanti mengakui bahwa camat dan desa dapat menetapkan harga lelang hingga mencapai 50 hingga 200 juta rupiah per tahun.
Perda tersebut menyebutkan, calon pengemin atau peserta lelang yang tidak dapat membayar kontan (akan) dikenakan sanksi berupa denda sebesar 10% dari penawaran yang tidak dapat dibayar atau pidana kurungan paling lama 3 bulan. Kondisi itu menyebabkan penurunan kemampuan sewa masyarakat karena risiko lelang yang tinggi.
Pemenang lelang umumnya adalah tuan tanah yang bermodal besar. Ia kemudian akan menyewakan lahan hasil lelangnya ke petani penggarap yang dapat dibayarkan dalam bentuk gabah padi. Salah seorang penggarap di wilayah lebak lebung Desa Belanti mengakui biaya sewa mencapai 200 kaleng (2 ton/ @10 kilogram) untuk lahan seluas 12 lining atau setara dengan satu hektar (1.111 m2 = 1 lining) per tahunnya. Pada kasus lain, pengumpul ikan di wilayah rawa dengan cara bekarang (memancing atau menangkap ikan liar) juga harus menjual hasil tangkapannya ke pemenang lelang dengan harga yang jauh lebih rendah dari pasaran.
Selain penguasaan tanah oleh pemenang lelang lebak lebung, keberadaan perkebunan sawit yang melakukan kanalisasi juga semakin merusak lahan gambut di wilayah budidaya masyarakat. Pada tahun 2009, pemerintah mengeluarkan izin HGU untuk untuk oleh PT Waringin Agro Jaya (WAJ) di sekitar Desa Belanti, yang kini digarap oleh PT Gading Cempaka.
Sejak perkebunan sawit ada, petani dari sekitar areal konsesi merasakan dampak buruk terhadap lahan bercocok tanam padi dan bekarang di lebak lebung.
Petani tidak dapat melakukan panen dengan maksimal karena lahan sawah terus tergenangi dari pembuangan air kanal perkebunan sawit. Sektor budidaya ikan air tawar pun juga terkena imbasnya. Kanalisasi yang dibuat oleh perkebunan sawit di sekitar lahan rawa dan gambut merusak siklus pasang surut air di ekosistem gambut.
Periode musim kemarau, ketika lebak kering menjadi kesempatan berbagai jenis ikan untuk menetaskan telur di lahan gambut dan persawahan yang berlumpur. Kini, ikan tidak dapat lagi berkembangbiak karena lahan selalu tergenang oleh air. Petani menjadi kesulitan untuk bekarang karena populasi ikan semakin berkurang. Meskipun begitu banyak petani padi mengalihkan tumpuan mata pencahariannya pada bekarang meski dengan hasil yang sedikit.
Himpitan antara tuan lebak dan perkebunan sawit semakin mempersulit Orang Rena untuk memperoleh pendapatan harian dan musiman dengan bertumpu kepada ekosistem gambut di Kabupaten OKI. Perhatian pemda kabupaten dan provinsi tampaknya perlu dilakukan untuk mengatasi ketimpangan tenurial yang terjadi di ekosistem gambut lebak lebung.
Penulis merupakan peneliti klaster Sosial-Ekonomi di Epistema Institute, email: [email protected] dan [email protected]