Kisah Gambut di Meranti
Oleh Almo PradanaDalam dua dekade terakhir, lahan gambut di beberapa wilayah di Jambi perlahan hilang dikonversi untuk perkebunan kelapa sawit dan hutan tanaman industri skala besar. Pengeringan dan kebakaran yang terjadi ikut mempercepat hilangnya ekosistem gambut.
Data Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Jambi sekitar 70 persen dari total 751 ribu hektar lahan gambut di Kabupaten Tanjung Jabung Timur, Tanjung Jabung Barat dan Muaro Jambi telah dikeringkan dan digunduli untuk izin perkebunan sawit dan HTI.
Ironisnya, pemerintah justru memberi lampu hijau Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKS) untuk replanting sawit di kawasan gambut dalam yang semestinya direstorasi. Replanting sawit di Desa Mekar Jaya, Kacamatan Sungai Gelam, Kabupaten Muaro Jambi hanya akan memperparah kerusakan ekosistem gambut.
Gambut yang dikeringkan terus menerus sangat rentan terbakar. Lihat saja kebakaran lahan 2015 menjadi yang terburuk di Jambi setelah kebakaran 1997/1998. Dampaknya, Jambi mengalami krisis polusi dan kerusakan hebat pada ekosistem gambut.
Laporan World Bank 2016 menyebut jika kebakaran hutan dan lahan tahun 2015 menjadi salah satu kebakaran terbesar di Indonesia pasca kebakaran tahun 1997/1998, yang mengakibatkan kerugian global hingga Rp 221 triliun atau setara 16,1 miliar dolar AS. BNPB juga mencatat setengah juta orang masuk rumah sakit serta puluhan orang meninggal.
Data Dinas Kehutanan Provinsi Jambi menyebut 80% dari 900 ribu hektare total luas lahan gambut di Jambi rusak akibat kebakaran 2015. Kondisi ini semakin parah karena kebakaran terus berulang di tahun selanjutnya. Bahkan 2019 luas area kebakaran meningkat tajam dari tiga tahun sebelumnya.
Badan Restorasi Gambut punya target untuk merestorasi 200.772 hektare lahan gambut terdiri dari 46.415 hektare berada dalam kawasan lindung, dan 25.885 hektare di kawasan budidaya tak berizin, sisanya 128.472 hektar di kawasan budidaya berizin.
Sayangnya upaya pemulihan gambut di Jambi tak berjalan mulus. Jaringan Masyakat Gambut Jambi (JMGJ) menemukan pembangunan sekat kanal tidak sesuai standar bahkan rusak. Sumur bor yang dibangun juga tidak berfungsi dengan baik.
Hasil investigasi Walhi Jambi dan JMGJ menemukan 8 perusahaan perkebunan sawit terbukti mengabaikan upaya restorasi dan pencegahan karhutla. Tak ada sekat kanal, menara pantau hingga sarpras dan regu pemadaman yang tak mumpuni. Ironisnya 7 diantaranya masuk dalam peta indikatif restorasi.
Catatan KKI Warsi juga menunjukkan buruknya perlindungan gambut di lahan konsesi perusahaan. Ini dibuktikan lebih dari 20 konsesi perusahaan mengalami kebakaran berulang pada 2015 dan 2019.
Flora dan Fauna
Ratusan ribu binatang dan tanaman terancam seiring membesarnya tekanan dan ancaman terhadap lahan gambut di Jambi. Bertahun-tahun lahan gambut menopang kehidupan bagi ribuan flora dan fauna untuk mencukupi kebutuhan akan nutrisinya. Hutan di lahan gambut juga menjadi habitat yang satwa statusnya rentan bahkan terancam punah seperti harimau Sumatera.
Rawa gambut di Jambi juga sangat kaya ikan air tawar. Peneliti Swiss, Maurice Kottelat menemukan ikan terkecil di dunia Peadocypris progenetica di sekitar rawa dan sungai gambut di wilayah Kumpeh Ilir, Kabupaten Muaro Jambi. Ikan ini hanya memiliki panjang 7,9 militer untuk betina dan 9,8 militer untuk jantan.
Akan tetapi mala petaka terjadi hampir setiap tahun. Banyak binatang terusir dari habitatnya bahkan mati terbunuh akibat karhutla. Saat hutan Taman Nasional Berbak Sembilang di wilayah Tanjung Jabung Timur terbakar pada 2019, ditemukan jejak harimau Sumatera di pemukiman padat penduduk. Mereka diduga keluar untuk menyelamatkan diri akibat habitatnya terbakar.
Kondisi ini tentu sangat menghawatirkan bagi satwa dilindungi seperti harimau Sumatera, bukan hanya akan memicu konflik dengan manusia tetapi juga mereka akan diburu. Saat ini populasi harimau Sumatera diperkirakan hanya tersisa 400 ekor yang masih hidup liar.
Rawan Bencana
Hilangnya hutan dan kerusakan rawa gambut bukan hanya menjadi ancaman serius bagi raja hutan, tetapi juga ikut memicu terjadinya bencana.
Ketika tutupan hutan menurun dan gambut telah rusak, Jambi menjadi rawan bencana, bukan hanya karhutla tetapi juga banjir. Faktanya, banjir di Jambi terjadi seiring hilangnya lahan gambut serta tutupan hutan. Tahun 2020, KKI Warsi mencatat luas tutupan hutan di Jambi tak sampai 900 ribu hektar. Banyak hutan beralih fungsi menjadi perkebunan, HTI dan pertambangan.
Omnibus law membuat keadaan semakin buruk. Pemerintah seakan memberi karpet merah pada para pengusaha untuk mengeruk sumber daya tanpa perlu memerhatikan dampak lingkungan.
Undang-undang sapu jagat ini seperti memfasilitasi perusakan hutan. Batasan minimal 30% kawasan hutan terutama di daerah aliran sungai atau pulau kini dihapus. Perusahaan tidak lagi bertanggungjawablangsung atas kebakaran yang terjadi di konsesinya.
Omnibus law juga merampas kearifan lokal masyarakat adat. Kekhawatiran akan timbulnya masalah baru muncul. Dalam kasus karhutla, para petani kecil akan semakin mudah dikriminalisasi karena dianggap penyebab kebakaran akibat budaya merun. Dan pada akhirnya muncul masalah pangan karena petani tak bisa menggarap lahan. Pemerintah sepertinya tak sadar jika pelibatan masyarakat justru menjadi kunci keberhasilan mengelola lahan gambut.
Tahun ini ancaman karhutla kembali datang. Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG) di Jambi mengingatkan kemarau tahun ini diperkirakan lebih kering dari sebelumnya.
Pada 2020, Badan Penanggulan Bencana Daerah (BPBD) Provinsi Jambi telah memetakan setidaknya 258 desa masuk dalam daftar rawan karhutla. Lebih dari 100 desa berada di daerah gambut yang tersebar di wilayah Kabupaten Tanjung Jabung Barat, Tanjung Jabung Timur dan Muaro Jambi. Umumnya desa-desa ini berada di sekitar konsesi perusahaan perkebunan sawit.
Tantangan untuk menghentikan kebakaran yang terus berulang semakin berat. Meski pemerintah Provinsi Jambi telah menetapkan status siaga karhutla sejak 15 Maret hingga 31 Oktober 2021 sebagai langkah antisipasi dan pengendalian karhutla, tetapi yang lebih penting adalah memahami penyebab terjadinya kebakaran. Bukan hanya karena ada yang membakar, tetapi lahan gambut yang rusak sangat rentan terbakar. Restorasi perlu dilakukan secepatnya untuk mencegah kebakaran di Jambi terus berulang.
*Opini ini disampaikan oleh Direktur Perkumpulan Hijau Jambi dan Koordinator Simpul Jaringan Pantau Gambut Jambi
**TULISAN INI SEBELUMNYA DIPUBLIKASIKAN DI AKSESJAMBI, JAMBI-INDEPENDENT, JAMBERITA, SWARANESIA, JAMBIONE, DAN PATRIOTIK PADA TANGGAL 30 APRIL 2021