Menakar Nasib Gambut dan Komitmen Riau Hijau pasca Omnibus Law
Oleh Romes IrawanBisa jadi situasi memang mengharuskan hampir segala hal bermuara pada Covid-19. Namun, melupakan ancaman lain terhadap kehidupan bersama, apalagi yang pernah berdampak luas dengan kerugian berlimpah, yang bisa datang lagi tentulah sebuah sikap yang harus dilihat ulang. Kerugian itu adalah kebakaran hutan dan lahan atau karhutla.
Penanganan kebakaran hutan dan lahan (karhutla) pun patut menjadi perhatian serius pemerintah daerah di Kalimantan Selatan. Jika tidak, masyarakat harus merasakan bencana berlipat karena saat ini warga Kalsel juga tengah menghadapi bencana serius berupa Pandemi.
Salah satu langkah yang konkret dilakukan pemerintah untuk meminimalisasi bencana karhutla yakni dengan cara memaksimalkan komunikasi pemangku kebijakan dengan perusahaan yang bergerak pada sektor perkebunan.
Bukan tanpa alasan, selama ini, perusahaan -khususnya yang bergerak pada sektor perkebunan kelapa sawit- masih menjadi temuan yang acapkali menjadi biang masalah karhutla.
Ini misalnya nampak pada temuan lapangan Walhi Kalsel. Selama sembilan bulan (Juli 2019 – Maret 2020) Walhi Kalsel memantau dan mengumpulan data titik panas dan karhutla di beberapa wilayah Kalsel. Kawasan yang dipantau adalah yang masuk Kawasan Hidrologis Gambut –bagian konsesi perusahaan perkebunan sawit berskala besar--, terjadi karhutla berulang, dan masih adanya konflik masyarakat versus perusahaan.
Pemantauan Walhi menemukan adanya kecenderungan peningkatan jumlah titik panas pada Juli – September 2019 di Kalsel. Pada bulan Juli jumlah titik panas hanya pada kisaran 300 dan meningkat menjadi lebih dari 5000 titik panas pada September dengan area gambut terbakar seluas 45911,2 hektare.
Kabupaten yang lahan gambutnya paling terbakar berada di Tapin dan Hulu Sungai Selatan yakni 32,5 dan 43,2 persen dari total gambut terbakar di Kalsel. Tapin dan HSS yang paling banyak konsesi sawit di lahan gambutnya, diduga kuat hal ini memengaruhi peningkatan luas kebakaran lahan di dua kabupaten itu.
Titik panas dan lahan terbakar di setiap perusahaan sebanyak 106 titik panas di wilayah konsesi sebuah perusahaan di Tapin yang menyebabkan 1972,2 hektare lahan terbakar. Sebanyak 39 titik api berada di konsesi di Hulu Sungai Selatan dengan luas area terbakar sebanyak 1073,7 hektare. Kebakaran terjadi di wilayah konsesi perusahaan yang belum ditamani. Tentu tanggungjawab perusahaan untuk menghentikan kebakaran.
Temuan Walhi menegaskan adanya semacam perbedaan penanganan ekosistem rawa gambut antara perusahaan dan non-perusahaan. Artinya, dari fakta serius ini mestinya pemerintah bisa memaksimalkan komunikasi serta pengawasan terhadap para pihak yang berpotensi mengakibatkan karhutla.
Pengawasan ini juga patut dibarengi dengan penegakkan hukum untuk para pelaku Karhutla. Dari data tahun 2019, Polda Kalsel menindak empat perusahaan perusahaan sawit dan puluhan individu. Tahun ini, mestinya aparat bisa lebih tegas menindak lebih banyak lagi.
Jangan sampai, pada tahun ini, hanya karena dominannya perhatian dan energi berbagai pihak pada pandemi Covid-19, persoalan karhutla yang pernah terjadi menjadi terabaikan.
*Penulis ialah Direktur Eksekutif Walhi Kalsel dan Koordinator Simpul Jaringan Pantau Gambut Kalsel
**TULISAN INI SEBELUMNYA DIPUBLIKASIKAN DI KOLOM OPINI RADAR BANJARMASIN PADA TANGGAL 13 AGUSTUS 2020 DAN DIMUAT DI PORTAL MEDIA ONLINE PROCAL.CO**