Perjalanan Gambut di Teluk Meranti
Oleh Simpul Jaringan RiauMinggu pagi di Desa Hiyung, Aminah bergegas menuju pelataran rumah miliknya. Di teras itu terhampar bibit cabai Hiyung yang telah bertunas dan meninggi. Ia baru saja menyelesaikan panen dua bulan yang lalu, dan akan memulai kembali proses penanaman cabai pada masa awal tahun.Wanita berusia 45 tahun ini merupakan satu dari ratusan petani yang rajin menanam cabai di lahan gambut. Ia mengaku telah melakoni pekerjaan tersebut selama 12 tahun.
"Ya seperti inilah. Kami menggantungkan hidup dari cabai. Alhamdulillah bisa menghidupi keluarga," kata Aminah saat ditemui di Desa Hiyung, Minggu (8/3/2020).
Aminah mulanya tak pernah menyangka, tanah gambut yang berada di depan rumahnya bisa seproduktif ini jika ditanam cabai. Dulu, kata dia, lahan miliknya itu hampir selalu gagal ditanami padi. Mengingat cabai merupakan dryland species, budidaya tanaman cabai harus tetap memperhatikan kaidah pengelolaan lahan gambut lestari dengan tidak melakukan pengeringan yang beresiko menyebabkan kebakaran gambut.
"Tanaman padi kurang subur di lahan gambut sini dan banyak hama. Jadi masyarakat memilih pasrah waktu itu. Tapi sekitar tahun 1993 ada warga yang mencoba membawa cabai dari desa sebelah. Sekalinya (rupanya), tumbuh baik di sini," kenangnya.
Desa sebelah yang dimaksud adalah Desa Linuh, Kecamatan Bungur, Kabupaten Tapin. Dari tempat ini, seorang warga Hiyung, Soebarjo, membawa bibit cabai sekitar 200 batang untuk ditanam di kampungnya pada tahun 1993. Rupanya, bibit yang dibawa Soebarjo itu sangat cocok ditanam di lahan Hiyung. Sebab, tingkat kepedasannya meninggi ketika ditanam di desa ini. Sejak saat itu pula masyarakat setempat mulai berangsur-angsur beralih pekerjaan menjadi petani cabai.
"Ada yang bilang, kalau ditanam di lahan selain Hiyung tingkat kepedasannya bisa berkurang. Padahal ini cabai rawit biasa," ujar Aminah.
Masyarakat bisa meraup 2 ton per masa panen sebanyak 30 kali dalam satu tahun. Harga tertinggi cabai Hiyung pernah mencapai Rp.70.000,- hingga Rp. 90.000,- per kilogram. Harga di pasaran bisa jauh lebih tinggi dibandingkan harga tersebut.
Sama seperti Aminah, Ketua Asosiasi Cabai Rawit Hiyung, Junaidi, pun merasakan betul berkah menanam cabai Hiyung di desanya, meski hanya dengan bermodal satu hektare lahan. Dia bercerita hingga sekarang masyarakat dari luar tak henti-hentinya memesan cabai basah dari miliknya. Baik dari dalam dan luar Desa Hiyung.
"Saya sekarang punya sedikitnya 35 pelanggan. Itu dari pengepul, pengecer, dan rumah makan. Kalau lokasi pemesannya dari Kalsel sampai daerah Jawa juga ada," ceritanya.
Menurut Junaidi, banyaknya pesanan yang berdatangan lantaran cabai Hiyung memiliki tingkat kepedasan 17 kali lipat dari cabai rawit biasa. Ungkapan ini bukan mengada-ngada. Dari hasil penelitian Laboratorium Pengujian Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Pascapanen milik Kementerian Pertanian RI, kadar capsaicin pada cabai ini bahkan mencapai 2333,05 ppm.
Selain dikenal dengan rasa pedasnya, keunggulan lain cabai ini juga terletak pada keawetannya. Junaidi membeberkan, cabai Hiyung bisa tahan hingga 8-10 hari. Hal ini pernah ia buktikan kala mengantarkan cabai ini ke pameran tingkat nasional di sejumlah daerah Indonesia.
"Artinya, boleh dibilang cabai terpedas dan terawet di Indonesia menurut penelitian itu. Kalau di tingkat dunia, belum lah ya. Tapi kita bangga punya cabai ini," ucap Junaidi.
Untuk memaksimalkan penjualan cabai, Junaidi juga bercerita para petani di Hiyung mulai mengembangkan sektor hilir cabai basah berupa abon cabe lokal. Satu botol abon dilego dengan harga Rp. 15.000,-
Menurut Junaidi, pengembangan sektor hilir cabai basah Hiyung ini untuk menyiasati jika harga cabai milik mereka jatuh di pasaran. Pernah satu waktu tahun 2015, warga Hiyung harus gigit jari karena harga jual jatuh ke angka Rp. 7.000
"Akhirnya terpikir ide membentuk rumah produksi abon cabai. Dibantu pemerintah daerah Tapin, bantuan ini akhirnya difasilitasi dari Pemprov Kalsel," kata dia.
Ia dan petani-petani bahkan menolak tegas jika ada perusahaan-perusahaan lain mendekat ke lahan Hiyung.
"Lahan-lahan kami memang dekat dengan sawit. Tapi kami sudah perjanjian tidak tertulis agar tidak merambah lahan kami dengan batasan 2 kilometer. Kalau ada yang menyasar pasti kami tolak. Kami cukup bertanam cabai saja," tegasnya.
Hingga kini, tercatat ada 10 kelompok tani cabai yang ada di desa Hiyung. Dengan total mencapai 200 orang petani. Menurut data dari Pemerintahan Desa Hiyung, 80 persen masyarakat desa ini bekerja sebagai petani cabai. Beragam upaya juga telah dilakukan untuk mempertahankan eksistensi cabai dari Hiyung. Misalnya, dengan mendaftarkan hak intelektual varietas cabai rawit Hiyung dan abon cabai Hiyung di Kementerian Hukum dan HAM (Kemenkumham) RI. Agar tak ada yang menjiplak jenis cabai yang satu ini.
"Sekarang petani-petani sudah mulai berkembang. Tantangan kami ke depan cuma kebakaran. Soalnya, tahun 2019 lalu sempat terjadi api di lahan kami. Tapi untuk tahun ini kami sudah siapkan Barisan Pemadam Kebakaran (BPK) dan membentuk kelompok tani peduli api juga," ujarnya.