Oleh Pantau Gambut
dari www.pantaugambut.id

Menjadi petani yang merawat kehidupan di tengah gempuran krisis iklim dan kebijakan yang kerap tidak berpihak pada petani bukanlah perkara mudah. Dalam rangka memperingati Hari Krida Pertanian, Pantau Gambut berbincang dengan Dipa (@tanikelana), seorang anak muda yang memilih jalan sebagai petani.

Kenapa kamu memilih untuk bertani?

Awal mula aku ngeh sama pertanian itu sekitar SMP saat melihat nenekku sering menanam dan tanamannya tumbuh. Aku penasaran kenapa sebagian orang bisa menanam, sedangkan sebagian lainnya nggak. Awalnya, aku ikut coba menanam namun gagal. Tapi akhirnya, pas berhasil rasanya senang banget. Makin ke sini aku sadar, pekerjaan yang paling aku suka adalah pekerjaan merawat sesuatu. Di situ aku merasa santai dan nyaman. 

Sebelumnya aku juga aktif di komunitas Sekolah Tani Muda, disana kami belajar soal pertanian agroekologi yang mengupayakan bagaimana kita bisa membangun kedaulatan pertanian yang selaras dengan alam, tanpa menimbulkan banyak emisi karbon.

Lalu, setelah lulus di bulan November 2019 dan pulang kampung di bulan Januari 2020, aku coba melamar kerja tapi lamaran nggak ada yang masuk satupun. Di kondisi kayak gitu aku stres banget dan akhirnya mulai bertani aja. Kadang aku kepikiran tentang gimana kondisi kita nanti: 20 tahun kerja, nggak bisa menabung karena harga lahan naik terus, dan misal sudah punya lahan, dengan perubahan iklim sekarang, iklimnya udah nggak mungkin lagi buat bertani. Jadi, waktu itu kemauanku bertemu dengan keterdesakan. 

Selama setahun bertani, tantangan apa saja yang kamu hadapi?

Berat banget, sih. Ibaratnya, pertanian itu jatuh dan terperosok karena tantangannya banyak banget. Aku mulai bertani di masa pandemi saat daya beli orang nurun sedangkan pertanian itu sebenarnya usaha juga, kan. Sedangkan, setahunan ini angkanya ancur-ancuran. Aku menanam sawi hijau (caisim) namun hanya dihargai Rp400,00 per kilo. Menanam padi, hanya dihargai Rp3.800,00 per kilo. 

Tantangan paling besar yang kuhadapi adalah ketika tenaga serta modal yang dikeluarkan besar banget dan nggak sebanding dengan keuntungan serta resikonya. Sedangkan, di produk lain keuntungannya jauh lebih besar daripada modal. Bahkan hitungannya, kerja sehari-hari petani nggak dibayar dan upah untuk tenaga kerjanya seringkali nggak dihitung sebagai bagian dari harga pokok produksi. Makanya jarang kita melihat petani sejahtera, paling-paling yang menang judi kayak cabe. Itupun sekali untung, tapi lima kali rugi. 

Sekarang, karena biaya untuk bertani semakin mahal kemungkinannya petani akan berhutang dan susah bayar. Aku juga berhutang dan pernah rugi dua musim terakhir. Petani akan merugi terus kalau sistemnya tidak diubah. 

Menurut kamu, apa penyebab dari tantangan tadi?

Pertama, masalah tata niaga. Tata niaga di Indonesia itu ramai banget. Mulai dari petani, pengepul, pedagang pasar, pedagang kecil, baru sampai ke konsumen. Di tiap tahapan itu, setiap pihak pasti minta jatah masing-masing. Biasanya, tengkulak yang mengambil peran distribusi nggak ngasih harga yang sepadan dengan kerja yang petani lakukan. Alhasil, petani nggak dapat surplus dari produksi yang dilakukan, yang dapat adalah tengkulak dan tuan tanahnya. 

Kedua, ada ketimpangan dalam kepemilikan dan penguasaan lahan di Indonesia. Di Jawa, rata-rata petani banyak yang nggak punya lahan dan harus menumpang ke tuan tanah. Satu hektar lahan bisa dihargai 15 juta hingga 30 juta per tahun. Harga sewa lahan tersebut bisa mencapai 30% hingga 50% dari total biaya produksi. Jadinya, harga sewa tanah mahal banget hitungannya. 

Ketiga, krisis iklim. Sekarang lagi La Nina sehingga curah hujan tinggi banget dan membuat beberapa tanaman jadi lebih rentan terserang hama dan penyakit.

Dulu misalnya, petani bisa mengacu ke bintang waluku atau bintang layang-layang, serta pola migrasi beberapa serangga. Kalau lagi banyak belalang, artinya musim hujan. Kalau lagi banyak capung, artinya mau kemarau. Tapi hal ini udah nggak berfungsi lagi karena perubahannya udah ekstrim banget.

Sayangnya percakapan soal krisis iklim ini minim banget di Indonesia, terutama dari kementerian terkait. Tapi, petani itu sadar dan tahu iklim berubah.

Berarti sekarang bertani berdasarkan apa acuannya?

Sekarang lebih nabrak peraturan hitungannya. Misalnya dulu, menanam padi menunggu musim hujan pertama di bulan muharram karena iramanya pas dan manusia bisa mengikuti. Di satu pihak alam memang berubah, tapi cara manusia bertani juga berubah semenjak revolusi hijau sehingga pola-pola sosial yang biasa dipakai untuk bertani itu hancur. 

Sudah sejauh mana kebijakan pemerintah selama ini mendukung kesejahteraan petani?

Kebijakannya makin mundur sebenarnya. Sekarang pemerintah sedang fokus food estate dan mendorong korporatisasi petani, di mana petani dibuat tergantung sama perusahaan penyedia kebutuhan. 

Ada nggak sih perusahaan besar yang ambil budidaya pertanian? Palingan sawit. Tapi di bidang pangan hampir nggak ada karena kebanyakan mengambil skema kemitraan. Petani menanam, perusahaan yang mengambil. Perusahaan tahu kerja di bidang budidaya nggak menguntungkan mereka, modalnya gede, tapi profitnya nggak cepat. 

Dulu juga ada Koperasi Unit Desa, tapi hal ini nggak berjalan di kita. Ini karena pemerintah seringkali mengambil pendekatan yang akhirnya bergantung pada patronase dan nggak sadar tentang adanya perbedaan kelas serta perbedaan kepentingan di kalangan petani. 

Misalnya, di satu kelompok tani ada satu tokoh yang dipercaya dan punya kekuatan. Akhirnya, dia dianggap bisa memimpin masyarakat sekitar padahal sebenarnya dia adalah elit atau tuan tanah yang kepentingannya pasti beda dengan buruh tani dan penggarap kecil. Kondisi ini membuat narasi pertanian dari pemerintah nggak masuk. Terkadang juga ketika pemerintah ngasih alat-alat, akhirnya dimiliki oleh si tuannya. 

Menurutmu, sistem pertanian yang ideal itu seperti apa?

Pertanian kita itu sangat bergantung kepada cuaca dan lingkungan. Jadi seharusnya, kita bisa membuat sistem pertanian yang lebih tahan terhadap dampak perubahan iklim. Akan lebih baik lagi kalau ada upaya mitigasi, pertanian rendah karbon, pembenahan tata niaga dan regulasi lahan, serta kesinambungan bidang budidaya sampai konsumsi.

Kalau pemerintah berani, sebenarnya mereka bisa membuat Peraturan Daerah (Perda) atau Undang-Undang soal pengaturan batas biaya sewa lahan dan upaya redistribusi lahan. Kedua, pemerintah bisa membuat alur tata niaga yang diperhatikan oleh pemerintah melalui BUMD atau BUMN. Meskipun kenyataannya, BUMN di lapangan lebih predator dari tengkulak.

Ada nggak sih inisiatif dari masyarakatnya atau sistem alternatif yang sepatutnya kita dukung?

Ada beberapa kelompok petani yang mencoba membangun pasar sendiri. Ini juga yang coba aku lakukan di sini lewat Community Supported Agriculture (CSA) yang membangun kontak langsung antara petani dengan konsumennya. Banyak bermunculan juga kebun-kebun kolektif di berbagai kota. Karena itu mengusung sistem pangan lokal, maka perlu didukung.

Apa pesan dari kamu untuk Hari Krida Pertanian ini?

Petani, anak muda, dan masyarakat sekarang mewarisi suatu masalah pertanian yang sangat kompleks. Kita mesti berubah sekarang, karena kalau nggak, kita semua akan dalam bahaya.

Aku merasa masih banyak yang bisa diupayakan. Misalnya, teknologi bisa banget berguna sebagai upaya mengatasi masalah-masalah sosial dan pertanian.

Tapi, hasil yang kita harapkan akan sangat dipengaruhi dengan bagaimana kita memposisikan petani, apakah sebagai objek atau sebagai orang yang berdaya di dalam sistem.

Dukung Kami

Bagikan informasi ini kepada keluarga dan teman-temanmu.