Pelatihan Kampanye Kreatif Digital Simpul Jaringan Pantau Gambut
Oleh AdminPRAKTIK perkebunan kelapa sawit selama ini acap kali abai terhadap pengelolaan lingkungan hidup yang baik, karena tanaman monokultur itu cenderung banyak menyerap air. Hal itu juga mengubah kondisi tata kelola air di ekosistem rawa gambut.
Penanaman sawit banyak dilakukan di ekosistem rawa gambut yang rentan rusak jika sudah mengering. Ini pun menjadi hal yang merepotkan. Akhirnya, kerusakan gambut menimbulkan bencana ekologis, seperti banjir dan kebakaran. Tak lepas dari ingatan mengenai banjir besar di Kalimantan Selatan pada 2021. Banjir melanda 13 kabupaten dan kota, termasuk Llereng Pegunungan Meratus hingga merendam ekosistem rawa gambut.
Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi menaksir kerugian yang ditimbulkan akibat banjir mencapai Rp 1,349 triliun. Kerugian ini meliputi sektor pertanian, perikanan, infrastruktur, pendidikan, kesehatan dan perlindungan sosial.
Pemerintah mengklaim bencana air bah terjadi karena intensitas hujan yang tinggi. Tapi, tidak dimungkiri pula, bahwa banjir dipengaruhi kerusakan kemampuan tampung dan daya dukung lingkungan di bagian hulu, termasuk masalah kerusakan ekologis di kawasan Pegunungan Meratus
Kerusakan itu tersebab industri ekstraktif berupa pertambangan batu bara, hutan tanaman industri (HTI) dan hak pengusahaan hutan (HPH) yang lazim ditemukan di area pegunungan. Adapun di bagian hilir (ekosistem rawa gambut), banjir terjadi karena lahan rawa gambut terbebani perkebunan monokultur kelapa sawit skala luas. Data dari Dinas Lingkungan Hidup Kalimantan Selatan menunjukkan, 60 persen gambut di Kalimantan Selatan rusak akibat alih fungsi lahan.
Merujuk data Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Kalimantan Selatan, hampir 50 persen wilayah provinsi ini sudah terbebani izin industri ekstraktif tambang dan perkebunan kelapa sawit. Walhi Kalimantan Selatan juga menemukan, bahwa kebakaran lahan terjadi di area milik perkebunan monokultur skala besar pada 2019.
Kawasan gambut yang paling banyak terbakar di dua kabupaten, yaitu Tapin 32,5 persen dan Hulu Sungai Selatan 43,2 persen dari total gambut terbakar di Kalimantan Selatan.
Tercatat ada 106 titik panas di wilayah PT. Plantindo Agro Subur (PAS) di Tapin dengan jumlah lahan terbakar 1.972,2 hektare. Adapun 39 titik panas di konsesi PT Subur Agro Makmur (SAM) di Hulu Sungai Selatan dengan jumlah lahan terbakar 1.073,3 hektare.
Berkaca dari peristiwa banjir juga kebakaran hutan dan lahan (karhutla), instruksi presiden terkait moratorium sawit semestinya penting diperpanjang lagi. Perintah moratorium izin perkebunan kelapa sawit seharusnya bisa menjadi ajang evaluasi menyeluruh terhadap praktik perusahaan yang memicu bencana ekologis.
Hasil dari evaluasi kemudian bisa dibuka kepada publik secara transparan. Sebab, selama ini data mengenai kerja perusahaan industri ekstraktif dan monokultur sulit untuk didapat. Data yang dipegang oleh pemerintah dan organisasi sipil bisa jadi rujukan. Hal ini supaya pemerintah tidak lagi membuka karpet merah bagi investor yang merusak tata kelola lingkungan hidup.
Pemerintah juga semestinya mulai berpikir untuk menyetop izin baru tanpa embel-embel moratorium. Instruksi itu hanya bersifat meredam sementara perizinan. Maka, perizinan yang ada ini saja sudah karut-marut, apalagi jika ditambah dengan izin baru.
Terakhir, Presiden Jokowi juga mestinya membuka mata saat mengunjungi Kalimantan Selatan. Seharusnya jangan hanya menghadiri kegiatan seremoni belaka, Presiden seharusnya hadir melihat kerusakan lingkungan hidup sesudah bencana ekologis, khususnya melakukan evaluasi penanganan banjir dan para korbannya pada awal tahun 2021 di Kalimantan Selatan.
*Penulis ialah Direktur Eksekutif Walhi Kalsel dan Koordinator Simpul Jaringan Pantau Gambut Kalsel
**TULISAN INI SEBELUMNYA DIPUBLIKASIKAN PADA TANGGAL 26 OKTOBERI 2021 DI MEDIA ONLINE JEJAKREKAM.COM**