Menampung Cerita Dari Kampung
Oleh Almo PradanaDi saat hampir semua pejabat tengah menikmati liburan pergantian tahun, Edwar yang merupakan Kepala Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Riau, justru harus mempersiapkan kesiagaan baru. Sebenarnya bukanlah kesiagaan baru, namun kesiagaan yang terus berulang, yaitu gambut Riau kembali terbakar.
"Ini sudah hari ketiga kebakaran itu terjadi, daerahnya masuk ke Desa Mamugo, Kecamatan Tanah Putih, Rokan Hilir. Luasnya sekitar 15 hektar," kata Edwar.
Lokasi terbakar, menurut Edwar, adalah daerah terbuka atau open access. Kawasan itu merupakan bekas konsesi perusahaan yang izinnya sudah habis. Meski demikian, ia belum bisa memastikan bagaimana kebakaran itu bisa terjadi; apakah karena ulah manusia atau memang karena cuaca yang tidak bersahabat.
Laporan dari Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) Pekanbaru pada Jumat (4/1/2019) menyebutkan ada 7 titik panas di Riau. Lima titik panas diyakini terjadi kebakaran dengan tingkat kepercayaan di atas 70%. Di Rokan Hilir terdapat tiga titik dan di Dumai dua titik. Kedua daerah ini memiliki wilayah gambut yang sering terbakar pada musim kemarau.
Berdasarkan analisis cuaca BMKG Pekanbaru, curah hujan pada satu dasarian (sepuluh hari) di awal Januari ini sedikit. Selain itu, ada fenomena siklon tropis yang terjadi di teluk Thailand yang berpengaruh pada cuaca khususnya di Riau.
Risiko terjadinya kebakaran hutan dan gambut awal tahun ini memang telah diperkirakan oleh BMKG. Pasalnya, Riau memasuki masa musim kemarau tahunan fase pertama. Kemarau ini akan berlangsung hingga puncaknya Februari. Sementara fase kemarau kedua diperkirakan terjadi pada Juli hingga September nanti.
“Kami sudah kirim laporan (tim penanggulangan kebakaran daerah). Sudah kami ingatkan tentang musim kemarau. Yang berbahaya itu di pesisir timur, karena gambut. Juga di Pelalawan dan Indragiri Hilir,” kata Aristya Ardhitama, analis iklim BMKG Pekanbaru kepada Pantau Gambut.
Tim penanggulangan kebakaran daerah ini terdiri dari berbagai macam instansi, seperti Pemerintah Daerah, Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD), dan Dinas Lingkungan Hidup dan Kehutanan.
Faktor iklim akan menjadi tantangan berat untuk pencegahan dan penanganan karhutla di Riau, dan tentunya di Indonesia secara umum, pada 2019 ini. Fenomena El Nino juga sudah mulai terjadi sejak Desember lalu dan diperkirakan berlangsung hingga April nanti.
“El Nino kita posisinya (pada) kategori lemah hingga moderat. El Nino sudah terjadi dari akhir tahun lalu dan diperkirakan berlangsung hingga April 2019. Mudah-mudahan tidak menguat, sehingga musim kemaraunya tidak akan panjang. Saat ini belum terimbas pada iklim di Riau,” ujar Ardhi.
Organisasi Meteorologi Dunia WHO, memperkirakan El Nino tahun ini tidaklah sebesar kejadian 2015-2016. Meski iklim pada 2019 diperkirakan tidak akan sekering tahun 1997 dan 2015, El Nino tahun ini tetap punya dampak signifikan terhadap perubahan curah hujan dan suhu di sejumlah kawasan. Selain itu, Jika dikombinasikan dengan perubahan iklim yang terjadi, El Nino 2019 akan meningkatkan suhu global.
Sejumlah pihak telah mulai mempersiapkan diri untuk kejadian yang lebih buruk. Akhir tahun lalu, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan Indonesia, mulai mempersiapkan diri.
"Siklus lima tahunan kemarau seharusnya terjadi pada 2020, tapi setahun lebih cepat karena ada El Nino juga pada 2019," kata Kepala Balai Pengendalian Perubahan Iklim, Kebakaran Hutan dan Lahan (BPPIKHL) Wilayah Sumatera, Israr Albar beberapa waktu lalu.
Indonesia mengalami karhutla hebat pada 2015, di mana 2,6 juta hektar lahan hangus terbakar dan bahkan timbul korban jiwa. Saat itu, Riau merupakan salah satu provinsi dengan situasi kebakaran yang mengkhawatirkan. Kebakaran di Riau di awal 2019 ini hendaknya menjadi alarm penting untuk semua pihak agar kejadian 2015 tidak terulang.