Oleh Zamzami
dari www.pantaugambut.id

Asap pekat masih melambung di atas lahan gambut walau hujan dengan intensitas sedang hingga lebat telah turun di sejumlah wilayah di Provinsi Riau. Meski sebaran hotspot mengalami penurunan di minggu awal Oktober, warga Riau harus tetap waspada untuk menghadapi iklim tahun 2020 yang diprediksi akan lebih kering.

Setelah sebulan lebih Riau dikepung asap dari kebakaran hutan dan lahan (karhutla), akhir September lalu, apa yang diharapkan-harapkan warga Riau dalam doa mereka terjawab sudah. Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG) Pekanbaru melaporkan sejumlah daerah di Riau sudah turun hujan dengan intensitas sedang hingga lebat. Sejumlah netizen di sosial media pun mengunggah video hujan dengan rasa syukur. Apakah asapnya hilang?

Andi, warga Indragiri Hulu, Riau mengatakan gambut masih mengeluarkan asap tebal meski hujan telah turun. Ia sendiri saat itu sedang memadamkan gambut yang terbakar di Rengat, Indragiri Hulu. Gambut dengan kedalaman lebih dari satu meter memang akan sangat sulit untuk padam jika hujan tidak masif dan api sudah meluas.

Api berhasil dipadamkan total setelah tim pemadam api bekerja keras selama satu hari penuh. Tim pemadam api memaksimalkan upaya memadamkannya api yang tersisa dengan bantuan lahan yang sudah basah karena hujan. 

Sejak turun hujan, kualitas udara membaik. Data Indeks Standar Pencemar Udara (ISPU) PM10 menunjukan penurunan status kualitas udara dari sangat berbahaya menjadi tidak sehat hingga baik. Pekan pertama Oktober, kualitas udara sudah berada di level sedang dan sesekali pada level baik.

 
Iklim pada Agustus-September 2019 tidaklah separah periode yang sama saat El Nino melanda tahun 2015 silam. Namun, upaya antisipasi cuaca ekstrim harus tetap dilakukan mengingat  kemarau panjang diprediksi masih terjadi di tahun 2020. Menurut Kepala Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT), Hammam Riza, kemarau akibat fenomena El Nino pada tahun 2020 diperkirakan jauh lebih kering dibandingkan tahun ini.
 
Kebakaran hutan dan lahan di Provinsi Riau sudah terjadi sejak awal tahun 2019. Analisis Pantau Gambut pada musim karhutla menunjukan 64% titik panas terdeteksi di kawasan gambut, sehingga api yang muncul sulit untuk dipadamkan. Bahkan, titik panas yang terdeteksi di periode Januari-Maret, dan Juli-September sudah lebih tinggi dibandingkan periode yang sama pada 2015, ketika karhutla hebat melanda Indonesia.
 

“Hidup di negeri di atas awan”, satir warga Riau atas kebakaran hutan tahunan, selalu dihantui ketakutan. Setidaknya itu dialami Yali, pekerja kreatif di Pekanbaru yang selalu dilanda trauma ketika asap gambut terbakar mulai tercium.

Kebakaran hutan gambut pada tahun 2015, anaknya bernama Dinar, terkena ISPA. Saat itu usianya satu tahun. Dan kini, pertengahan September 2019, Dinar (4,5) dan adiknya yang kecil, Caca (1,5) sudah dua pekan menderita batuk dan pilek.

“Iya berdahak. Tidurnya berbunyi kayak orang ngorok. Biasanya ndak. Pakai obat tetes hidung. (tapi ketika) di rumah sakit pakai itu, (nebulizer) diasapi,” ujarnya.

Yali menceritakan, Dinar terpapar asap akibat pulang pergi ke sekolah yang berjarak sekitar 1 kilometer. Saat itu, pemerintah belum mengumumkan kondisi darurat sehingga sekolah belum diliburkan meski jarak pandang karena kepekatan asap sudah semakin pendek. Sedangkan Caca terpapar asap meskipun sudah berada di dalam ruangan. Asap tak mengenal batas dan mampu menembus masuk hingga ke dalam kamar.

“Yang besar (Dinar) keluar rumah untuk pergi sekolah, sebelum diliburkan pemerintah. Dinar nggak mau pakai masker karena membuat sesak. Yang kecil (Caca) ke tempat saudaranya. Dia nggak  betah dikurung di rumah,” kata Yali.

Meski sangat terlambat, pemerintah memerintahkan aktifitas belajar dihentikan. Dan praktis, aktifitas anak-anak seperti Dinar dan Caca harus lebih banyak dihabiskan di dalam rumah. Berada berminggu-minggu di dalam rumah membuat mereka bosan. Sudah semua buku tamat dibaca dan diwarnai.

“Main handphone terus, mata pula (yang sakit). Baca buku, sudah seluruh buku habis diwarnai. Kalau di lingkungan rumah ramai anak-anak, langsung main bola dan lainnya. Dilarang emak bapaknya, nggak mau,” ujarnya.

Saat mereka bermain di luar rumah itulah, sakit batuk dan sesak nafas Dinar dan Caca semakin parah. Yali membawa anak-anaknya ke rumah sakit karena batuk semakin menjadi dan muntah-muntah. Dokter mendiagnosa mereka terkena ISPA.

Lima jam dirawat di IGD dan dokter spesialis, mereka diberi oksigen melalui alat bantu pernafasan (nebulizer). Sorenya mereka pulang meski dokter menyarankan Dinar dan Caca dirawat di rumah sakit.

“Dokter bilangnya ISPA. Sekarang kondisinya disehat-sehatkan. Pusing. Kayak kurang oksigen gitu. Kalau nginap, biaya lagi,” ujar Bayali.

Pekanbaru adalah kota dengan populasi terpadat di Riau yang warganya terpapar asap kebakaran hutan selama Agustus-September. Setidaknya telah ribuan orang terkena ISPA. Dinas Kesehatan Riau menyebut per 1 September hingga 11 September, tercatat 2.135 orang yang menderita ISPA di Kota Pekanbaru.

Bagi Yali dan ratusan ribu warga Pekanbaru, meski saat ini musim hujan telah tiba dan asap telah menghilang, namun trauma sesak dikepung asap terus membayang. Mereka harus siap menghadapi kemarau yang lebih kering pada tahun 2020 nanti.

“Masa setiap kebakaran selalu sakit. Tapi ya, gimana, kasihan anak-anak. Kita harus siap-siap lagi (menghadapinya),” katanya.

Afrizal, prakirawan iklim BMKG Pekanbaru, meski saat ini musim penghujan sudah masuk, namun Januari akhir, intensitasnya sudah menurun hingga Februari. Dan musim kemarau akan segera datang.

“Musim hujan sekarang ini puncaknya di November. Namun di bagian Utara seperti Kabupaten Rohil, Dumai puncaknya pada Oktober ini. Soal kondisi El Nino 2020 belum bisa diumumkan karena masih harus diteliti dengan data yang masuk,” katanya kepada Pantau Gambut.

 

Dukung Kami

Bagikan informasi ini kepada keluarga dan teman-temanmu.

Kabar Gambut Terkait