Galeri Foto Acara HAPPI KLHK
Oleh Pantau GambutEkosistem gambut di Kalimantan memiliki keanekaragaman flora yang tidak hanya berperan secara ekologis, tetapi juga menjadi sumber penghidupan bagi masyarakat sekitarnya. Salah satu spesies tanaman ekosistem gambut adalah gemor (Nothaphoebe coriacea),tanaman kayu keras asli rawa gambut yang dimanfaatkan bagian kulitnya untuk dijual oleh masyarakat. Sayangnya, penurunan populasi spesies ini di habitat aslinya menjadi ancaman yang perlu diperhatikan oleh seluruh pihak.
Gemor adalah tanaman endemik yang tumbuh subur di kawasan rawa gambut Kalimantan. Tanaman ini umumnya dijumpai pada daerah berhutan yang cukup lebat dan agak basah atau tanah galeget, istilah yang biasa disebutkan oleh warga Dayak Ngaju.
Aswin Usup, Dosen Fakultas Pertanian dan Ketua Lembaga Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat (LPPM) Universitas Palangka Raya menuturkan pada Pantau Gambut bahwa tanaman dengan rata-rata tinggi 10-15 meter ini, sudah sangat jarang dijumpai pada daerah hulu dan sulit tumbuh pada daerah yang tandus serta tak berhutan.
Gemor masuk dalam salah satu jenis tanaman paludikultur yang dikembangkan dalam rangka mengembalikan kelestarian ekosistem gambut dengan tetap memperhatikan kepentingan masyarakat sekitar. Setidaknya terdapat dua jenis gemor yang biasa dimanfaatkan warga Dayak Ngaju di Kalimantan Tengah, yaitu: gemor merah (Nothaphoebe ciriacea Koserm), yang berwarna merah kekuningan setelah dikupas dan gemor putih (Nothaphoebe cf Umbelliflora) yang memiliki warna kulit putih pada bagian kulit.
Menurut Balai Penelitian Kehutanan Banjarbaru, penghasil utama kulit gemor di Pulau Kalimantan adalah Provinsi Kalimantan Tengah. Daerah penyebaran gemor di Kalimantan Tengah berada di lima kabupaten, yaitu di Pulang Pisau, Kapuas, Kotawaringin Timur, Barito Selatan dan Katingan.
Apa saja Manfaat Gemor?
Gemor dikenal sebagai salah satu jenis Hasil Hutan Bukan Kayu (HHBK) yang bermanfaat bagi manusia. Bagian kulit tanaman ini diketahui memiliki khasiat untuk meningkatkan daya tahan tubuh (imunitas) manusia, sebagai antivirus, antioksidan, untuk detoksifikasi, dan bahkan memiliki bahan aktif insektisida alami yang bermanfaat untuk memberantas nyamuk. Kandungan bermanfaat tanaman gemor juga terdapat dalam biji buah gemor dan telah diteliti di Balai Penelitian dan Pengembangan LHK, Banjarbaru, Kalimantan Selatan bersama tim. Hasil penelitian tersebut menunjukkan bahwa biji gemor mengandung flavonoid yang berperan dalam menangkap radikal bebas atau berfungsi sebagai antioksidan alami.
Selain berfungsi sebagai tanaman herbal, Aswin juga menuturkan bahwa gemor ternyata bermanfaat secara ekologis pada rawa gambut dimana tanaman ini mampu mengabsorbsi kandungan alumunium dan besi dalam jumlah yang banyak pada kulit dan daunnya. Dengan demikian, maka tanaman Gemor mampu mengendalikan unsur-unsur beracun dalam tanah gambut sehingga wilayah di sekitarnya dapat ditumbuhi oleh tanaman lainnya. Saat tumbuh subur, gemor akan sulit terbakar karena struktur batang dan kulitnya yang tebal serta berlendir.
Dari segi ekonomi, masyarakat di Kalimantah Tengah telah mengambil gemor dari hutan sejak tahun 1970. Mereka hanya mengambil kulit gemor untuk dijual kepada pengepul, dan tidak pernah mengolah untuk dimanfaatkan sendiri. Yang mereka tahu, setelah dijual, kulit gemor akan didistribusikan lagi ke sejumlah industri sebagai bahan baku macam-macam produk. Di antaranya dijadikan bahan pembuatan obat nyamuk, hio, dan bahan baku perekat/lem. Hingga saat ini belum ada pendampingan, baik dari lembaga ataupun pemerintah, untuk pengembangan gemor sehingga tanaman ini memiliki nilai tambah.
Harga jualnya yang cukup tinggi membuat pencarian kulit kayu gemor cukup banyak dilakukan oleh masyarakat dan merupakan suatu usaha yang menarik terutama di Kabupaten Katingan. Kini, harga kulit gemor di pasar internasional sekitar 231-385 USD per ton dalam kondisi basah. Di Kalimantan Tengah, pada tingkat lokal pengepul, kulit kering gemor dihargai pada kisaran Rp.10.000-14.000 per kg, ungkap Andy Liany, pengambil gemor alami Kabupaten Katingan. “Jika dalam bentuk tepung, maka harga mencapai 40-50 ribu rupiah,” imbuh Andy.
Sebelum menjadi pengambil gemor hutan, Andy seperti warga Katingan lainnya menjadikan hutan sebagai mata pencaharian utama, yang saat itu marak dengan pembalakan kayu. Bahkan sebelum kawasan desanya masuk dalam area Taman Nasional Sebangau (TNS), daerah Katingan adalah salah satu penghasil kayu ulin, meranti dan juga hasil hutan lain seperti rotan. Semenjak larangan untuk memanfaatkan kayu tanpa izin selain HPH dan HTI, maka warga beralih ke hasil hutan lain seperti rotan, karet, pantung dan juga gemor.
Untuk menghasilkan kulit gemor yang baik, tanaman ini perlu dipanen pada usia antara 5-10 tahun dan memiliki rata-rata diameter 10 cm. Jarang sekali pohon ini diambil dari batang yang besar, karena alasan kemudahan dalam pengambilan kulitnya. Pencari gemor akan mengeringkan dan menjual di pasar desa atau kecamatan, dengan harga yang ditentukan oleh pembeli/pengepul. .
Penurunan di Habitat Alami
Cara pengambilan kulit gemor umumnya dilakukan dengan menebang pohon gemor mengunakan beliung atau kapak. Setelah pohon gemor tumbang, lalu kulitnya dicincang, kemudian dipukul-pukul dengan kayu untuk memudahkan kulitnya terlepas dari batangnya. Setelah itu kulitnya dicungkil mengunakan parang dan disimpan di dalam lanjung lalu dibawa pulang ke rumah. Setelah sampai dirumah, kayu tersebut dicincang dengan panjang kira-kira 5 cm dan lebar 2-3 cm. Kegiatan mencincang kayu gemor ini biasa dilakukan oleh ibu-ibu atau dibantu oleh anak-anaknya. Kemudian, hasil pencincangan tersebut dikeringkan selama 2-3 hari. Setelah kering, kayu hasil cincangan tersebut kemudian disimpan dalam karung dan siap dipasarkan.
Permasalahan utama penurunan habitat pohon gemor adalah cara pengambilan yang harus menebang pohon yang sudah tumbuh bertahun-tahun. Akibatnya, pohon gemor semakin hari semakin langka, dan ketersediannya semakin jauh didalam hutan.
“Saat ini di Kamipang (Kecamatan di Katingan), ya mungkin hanya kami (yang masih mencari gemor),” tutur Andy. Ia menambahkan karena lokasinya yang cukup jauh hanya beberapa orang saja yang masih melakukan usaha pencarian gemor untuk menggantungkan kehidupan perekonomian mereka.
Penebangan juga berpengaruh pada jumlah tegakan hutan yang ikut mati (akibat tertimpa pohon gemor) dan rusak ketika pohon ditebang, bahkan penebangan pohon akan mengurangi pertumbuhan tanaman gemor karena kehilangan indukan yang akan menghasilkan biji.
Untuk mencegah menurunnya populasi pohon gemor, teknik pemanenan gemor secara lestari perlu diperkenalkan kepada masyarakat. Sejauh ini memang belum ada alternatif teknik pemanenan kulit gemor selain pemanenan pohon. Namun demikian, masyarakat telah menerapkan sistem tebang pilih yaitu hanya pohon yang berdiameter 20 cm keatas yang ditebang dan pohon yang ditebang disisakan kira-kira 50 cm dari tanah.
Dengan panen selektif, penebangan tidak dilakukan serentak sehingga pohon yang tersisa dapat terus tumbuh. Selain itu, sisa batang 50 cm dari tanah yang disisakan akan dibiarkan untuk selanjutnya tumbuh tunas baru. Kegiatan menebang pohon dengan menyisakan tunggul biasa disebut dengan sistem permudaan dengan trubusan (coppice system). Dengan sistem ini, regenerasi secara vegetatif akan terjadi di atas tunggul dan dibiarkan hingga dewasa untuk selanjutnya dapat dipanen di masa mendatang.
Pekerjaan rumah dalam pengembangan produk Gemor
Tantangan kedepan yang perlu diperhatikan terkait kelestarian gemor adalah teknik budi daya lestari sehingga kegiatan produksi yang dilakukan tidak menyebabkan kerugian ekologi. Aswin menuturkan bahwa upaya perlindungan kawasan dan tanaman lokal gambut perlu dilakukan.
“Saya pikir sangat perlu menjaga kawasan daerah yang belum terjamah, misal pola hutan desa atau hutan adat atau bahkan hutan lindung dan konservasi,” saran Aswin.
Aswin menambahkan bahwa kebijakan pemerintah terkait sistem panen lestari harus diterbitkan untuk mencegah punahnya gemor. Hilangnya gemor akan menyebabkan perubahan lingkungan yang signifikan, karena gemor adalah tumbuhan yg tumbuh dalam kondisi dan ekosistem yang khusus.
Purwanto Budi S, dari Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan Balai Penelitian Kehutanan Banjarbaru menuturkan bahwa tantangan untuk pelestarian gemor saat ini adalah semakin berkurangnya pohon-pohon induk yang menghasilkan biji untuk regenerasi alami; upaya penanaman dari bibit generatif masih kurang dan teknis perbanyakan vegetatif masal juga masih belum optimal. Purwanto menambahkan bahwa pada umumnya untuk jenis-jenis rawa gambut perlu pelestarian sehingga pohon-pohon induk di alam dapat melakukan regenerasi.
Disamping itu, upaya pelestarian menghadapi tantangan yakni adanya resiko terjadinya kebakaran musim kemarau setiap tahun. Oleh karena itu, upaya perbaikan untuk melestarikan gemor bukan hanya dilakukan dengan menanam, tetapi juga perlu melakukan upaya perbaikan ekosistem gambut dengan melakukan rewetting (pembasahan kembali). Kegiatan rewetting ini dapat dilakukan dengan meningkatkan tinggi muka air melalui pembangunan sekat kanal. Selain itu, upaya meningkatkan sumber pendapatan masyarakat lokal melalui kegiatan revitalisasi mata pencaharian masyarakat untuk mengurangi tekanan terhadap hutan rawa gambut, juga penting dilakukan.
Dari sisi kebijakan, Pemerintah perlu menerbitkan regulasi untuk menjaga kelestarian dan keberlanjutan tanaman yang hidup dan tumbuh dalam ekositem gambut. Semua stakeholder yang bekerja di lahan gambut perlu mematuhi peraturan tersebut dan bekerjasama untuk melestarikan jenis-jenis asli gambut.
Untuk menjaga kelestarian gemor, Balai Penelitian dan Pengembangan LHK Banjarbaru (BPPKB) pun melakukan pembibitan, baik secara generatif maupun secara vegetatif. Upaya restorasi dan rehabililitasi lahan gambut dengan jenis-jenis tanaman asli gambut seperti balangeran, punak, tumih, geronggang, pelawan, dan lain-lain juga dilakukan di Kawasan Hutan Dengan Tujuan Khusus (KHDTK ) Tumbang Nusa dan areal masyarakat.