Jejak Orang Utan Terakhir di Rimba Gambut Kalibandung
Oleh Aries MunandarSumber daya hutan dan lingkungan berperan penting dalam peningkatan mata pencaharian rumah tangga, konsumsi lokal, dan komersialisasi. Pendapatan hutan ini merupakan solusi atas kesejahteraan masyarakat. Oleh sebab itu, deforestasi dan degradasi hutan dan lahan merupakan ancaman signifikan bagi ekosistem dan kesejahteraan masyarakat yang hidupnya bergantung pada hutan.
Hutan dan lahan di dunia menyumbang 30% permukaan bumi yang menyediakan sumber kehidupan seperti makanan, ternak, air, tempat tinggal, nutrisi, serta potensi budaya dan rekreasi. Tidak hanya itu, hutan juga menyimpan banyak karbon, menyediakan habitat bagi beragam spesies flora dan fauna, serta membantu meminimalisasi degradasi hutan dan lahan.
Degradasi hutan dan lahan sendiri merupakan perubahan lingkungan yang disebabkan oleh aktivitas manusia terhadap lahan; yang berdampak pada produktivitas pertanian, kualitas lingkungan, dan ketahanan pangan.
Hingga saat ini, diperkirakan 40% lahan pertanian di dunia telah mengalami degradasi. Padahal, pendapatan hutan berkontribusi sebesar 22% terhadap total pendapatan rumah tangga bagi 8 ribu rumah tangga di 24 negara berkembang.
The United Nations Framework Convention on Climate Change (UNFCCC), the United Nations Convention on Biological Diversity (CBD), dan United Nations Convention to Combat Desertification (UNCCD) dalam The Rio Conventions sepakat bahwa pendapatan hutan berkontribusi terhadap pencapaian sinergitas di sektor kehutanan.
Sumber daya hutan dan lingkungan berperan penting dalam peningkatan mata pencaharian rumah tangga, konsumsi lokal, dan komersialisasi. Dengan kata lain, pendapatan hutan merupakan solusi atas kesejahteraan masyarakat. Oleh sebab itu, deforestasi dan degradasi hutan dan lahan merupakan ancaman signifikan bagi ekosistem dan kesejahteraan masyarakat yang hidupnya bergantung pada hutan.
Salah satu potensi besar yang berkontribusi dalam menyejahterakan masyarakat adalah lahan gambut. Ekosistem gambut berperan penting dalam perubahan iklim karena menyimpan sepertiga cadangan karbon dunia. Indonesia sendiri memiliki lahan gambut seluas 14,9 juta hektar gambut yang menyimpan karbon sekitar 22,5 hingga 43,5 gigaton karbon. Sayangnya, potensi yang sangat besar ini rusak akibat alih fungsi lahan gambut menjadi perkebunan dan objek pembangunan infrastruktur tanpa memperhitungkan dampak luasnya terhadap ekosistem sekelilingnya.
Kebakaran 2015 merupakan bencana ekologi terbesar yang melanda dua juta hektar hutan dan lahan di Indonesia, dengan lebih dari setengah lahan yang terbakar adalah lahan gambut. Kerugian yang diakibatkan oleh kebakaran ini mencapai 221 triliun rupiah dan mengakibatkan terkoreksinya pertumbuhan ekonomi sebesar 0,5%.
Hal inilah yang membuat pemerintah Indonesia mengeluarkan Peraturan Presiden Nomor 1/2016 tentang Badan Restorasi Gambut (BRG). Jika dilaksanakan sesuai komitmen yang telah disepakati, restorasi gambut merupakan solusi atas krisis berkepanjangan yang disebabkan oleh kebakaran lahan sehingga ekosistem alami dapat terjaga dan kesejahteraan masyarakat pun terjamin.
Izin restorasi hutan yang dikeluarkan oleh pemerintah Indonesia memungkinkan para pemegang konsesi untuk mengelola dan memperoleh pendapatan hutan melalui pemanenan berkelanjutan, jasa ekosistem, ekowisata, dan sumber daya noneksploitasi lainnya. Namun, pemegang konsesi bertanggung jawab untuk mendukung penghidupan masyarakat adat yang tinggal di wilayah konsesi.
Sebagai contoh, PT Restorasi Ekosistem Indonesia (Reki) merupakan sebuah perusahaan yang dibentuk oleh LSM Burung Indonesia untuk mengelola Hutan Harapan di wilayah Jambi dan Sumatra Selatan. Hutan Harapan sendiri merupakan hutan kayu dataran rendah yang dihuni lebih dari 307 jenis burung, 64 jenis mamalia, 123 jenis ikan, 55 jenis amfibi, 71 jenis reptil, dan 728 jenis pohon.
Hutan Harapan dibangun dengan model pengelolaan hutan berbasis ekosistem, bukan komoditas. Hutan ini dikelilingi oleh tiga perkebunan kelapa sawit dan ditinggali oleh masyarakat adat Batin Sembilan. Masyarakat Batin Sembilan merupakan kelompok masyarakat adat yang tinggal secara nomaden dan memiliki kearifan lokal dalam mengelola hutan. Kearifan lokal inilah yang menjadikan 300 kepala keluarga Batin Sembilan dapat bertahan hidup hingga sekarang.
Rata-rata, kelompok masyarakat adat Batin Sembilan memperoleh lebih banyak pendapatan dari sumber daya hutan alam (36%) daripada penduduk Melayu lokal dan imigran (masing-masing 10% dan 8%) yang juga tinggal di wilayah tersebut. Hasil hutan yang dipanen secara langsung dari hutan alam ini merupakan sumber pendapatan utama kedua bagi masyarakat adat tersebut dan menyumbang 29% pendapatan bersih tahunan mereka.
Pada 1970-an, konsesi kayu melingkupi seluruh kawasan hutan di Jambi. Pada 1980-an, kebijakan regional mengalihfungsikan lahan dengan mengembangkan perkebunan dan mengimplementasikan skema transmigrasi dengan pengadaan program budidaya kelapa swit bagi para transmigran Jawa. Pertumbuhan penduduk yang semakin meningkat menjadikan dua hektar lahan yang dialokasikan pemerintah bagi setiap rumah tangga transmigran tidak lagi cukup untuk mempertahankan mata pencaharian mereka. Hal ini membuktikan bahwa kemampuan masyarakat adat dalam mengelola lahan perlu diperhatikan sehingga pemerintah tidak serta-merta memberikan izin bagi perusahaan untuk mengalihfungsikan lahan yang ada atau mengadakan program yang tidak sesuai dengan kondisi lahan.
Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa pengelolaan hutan dengan mengedepankan ekosistem dan kearifan lokal dapat meningkatkan pendapatan masyarakat dibandingkan pengelolaan hutan berbasis komoditas. Untuk itu, mari bantu tingkatkan pendapatan masyarakat yang tinggal di lahan gambut dengan memantau komitmen pemerintah dalam melaksanakan restorasi gambut!