Monster Putih: Si Pengganda Harta Konglomerat Negeri
Oleh AdminPemerintah Provinsi Kalimantan Selatan (Kalsel) tengah menyiapkan diri sebagai bagian dari lumbung pangan nasional atau proyek Food Estate, padahal isu-isu yang terkait dengan Food Estate di Kalimantan Tengah masih belum terjawab. Hal ini memunculkan kekhawatiran bahwa kawasan Food Estate di Kalsel akan mengakibatkan kerusakan ekosistem seperti di Kalimantan Tengah karena proyek ini dikhawatirkan tidak berorientasi pada kondisi lingkungan, serta sosio ekonomi masyarakat setempat.
Rencana Program Food Estate Kalimantan Selatan
Kepala Dinas Tanaman Pangan dan Hortikultura (TPH) Kalimantan Selatan, Syamsir Rahman menyatakan bahwa lahan yang dipersiapkan untuk lokasi Food Estate tersebar di dua kabupaten, Tanah Laut dan Kabupaten Batola, yang memiliki daya dukung sumber daya petani, salah satu elemen penting dalam pengembangan program Food Estate.
"Untuk di Tanah Laut, kita proyeksikan di Kecamatan Kurau. Kalau di Kabupaten Batola itu, ada di kawasan Anjir. Masing-masing 5 ribu hektare. Jadi kalau digabung totalnya ada 10 ribu hektare," ungkap Syamsir kepada Pantau Gambut, baru-baru ini.
Kondisi tersebut, menurut Syamsir, berbanding terbalik dengan petani di daerah Kalteng yang terbilang sedikit. Ambil contoh, di Kecamatan Dadahup, Kabupaten Kapuas, Kalteng yang mesti mencari petani dan penggarap lahan terlebih dulu.
"Selanjutnya, lahan (Kurau dan Anjir) juga subur-subur kalau ditanami. Jadi ya jelas kami tawarkan dua daerah itu," terang Syamsir. Lagi pula, lanjut dia, Kalsel tak perlu melakukan mencetak lahan ulang seperti di Kalteng lantaran sebelumnya kawasan ini sudah dipakai untuk pertanian.
Dia menambahkan, pengembangan Food Estate Kalsel nantinya akan memakai model korporasi pertanian seperti yang digadang-gadang pemerintah pusat. Dengan model seperti ini, Syamsir mengklaim para petani yang terlibat dalam program akan lebih paham dengan pola pertanian dari hulu ke hilir.
"Mulai tanam, produksi, sampai pasar petani yang paham. Kalau bukan dari petani buat apa," kata Syamsir.
Lalu, kapan proyek ini terlaksana? Syamsir tak bisa memastikan. Ia menjelaskan, pengembangan proyek Food Estate di Kalsel mesti tetap menunggu keberhasilan Pemerintah mengembangkan lahan di Provinsi Kalteng. Syamsir juga mengaku tak ingin terburu-buru merealisasikan hal ini tanpa adanya contoh di daerah lain.
"Food Estate ini tahap pertamanya ada di Kalteng dan Sumatera Selatan. Nah, Kalimantan Selatan dan sejumlah provinsi lainnya diminta menyiapkan lahan juga. Sambil menunggu progres yang ada di Kalimantan Tengah itu," ujarnya.
Konsep Yang Belum Matang dan Khawatir Merusak Ekosistem
Penggiat isu lingkungan Banjarmasin, Hamdi, mengatakan bahwa ia mendorong pemerintah provinsi terlebih dahulu melakukan kajian secara komprehensif dan melibatkan ahli-ahli. Menurut dia, menanam di lahan yang berada di ekosistem lahan gambut perlu treatment tertentu.
“Sifat gambut itu rentan ya kalau ditanam-tanami. Meski pada akhirnya ini termasuk menggarap lahan yang sudah ada atau intensifikasi, tetap saja perlu diperhatikan langkah-langkahnya. Misalnya soal penggunaan bibit dan pestisidanya gimana? Jangan sampai justru akhirnya fungsi alamiah dari gambut itu sendiri,” kata Hamdi yang juga mantan Kepala Dinas Lingkungan Hidup Banjarmasin ini.
Disisi lain, ketua DPW Serikat Petani Indonesia (SPI) Kalsel, Dwi Putra Kurniawan, menjelaskan bahwa sedari awal rencana ini mencuat, pihaknya sudah tegas menolak lantaran konsep pengembangan Food Estate tak berorientasi ekonomi kerakyatan karena menggunakan konsep korporasi pertanian yang dikhawatirkan bakal menjadikan petani hanya sebagai buruh semata.
"Industri pangan yang menguasai pasti perusahaan. Petani dikhawatirkan hanya akan menerima upah. Kalau dari SPI sendiri kami menolak sistem seperti ini. Karena konsepnya tidak memakai sistem ekonomi kerakyatan," ujar Dwi.
Polemik Bibit dan Lokasi Food Estate
Tidak hanya masalah konsep. Dwi juga ragu jika program ini terealisasi, bibit padi lokal yang sebelumnya rutin ditanam oleh petani bakal tergantikan dengan bibit yang tak cocok dengan kondisi alam sekitar.
Kata Dwi, pemerintah acapkali sering memaksakan bibit pilihan pemerintah untuk tumbuh di lokasi yang tak cocok dengan kondisi tanah yang digarap oleh petani. Dengan dalih sudah melalui berdasarkan hasil riset.
"Seperti di Pulang Pisau, Kalteng. Ketika gagal (panen), akhirnya pemerintah diam. Tidak pernah dievaluasi. Padahal bibit-bibit yang direkomendasikan itu cocoknya cuma di Jawa. Bukan di Kalimantan. Lahan kita kan emang beda kondisinya. Akhirnya petani yang rugi," jelasnya.
Hal lain yang dikhawatirkan oleh Dwi adalah karena lokasi Food Estate di kawasan Anjir, Kabupaten Batola, masuk ke dalam ekosistem rawa gambut. Pola tanam dan bibit tanaman pangan yang dipaksakan tumbuh di lahan rawa gambut dikhawatirkan bakal merusak kondisi tanah yang sudah ada.
Dwi sendiri mengaku masih bingung dengan konsep yang diusung pemerintah lewat Food Estate. Sebab, kalau alasan negara menggarap proyek Food Estate karena merespons ancaman krisis pangan, toh menurutnya, Kalsel sendiri sampai saat ini acapkali mengalami surplus pangan, khususnya untuk komoditas seperti padi.
"Dalam setiap tahun ya, Kalsel itu mampu menghasilkan kurang lebih 1,6 sampai 2 juta ton gabah kering giling. Kalau jadi beras itu sekitar 1,4 juta ton. Nah kebutuhan warga Kalsel sendiri setiap tahun hanya 400 ribu ton. Jadi kita masih surplus banyak," papar petani kopi ini.
Terakhir, Dwi juga mendesak agar Pemprov Kalsel, khususnya Dinas TPH setempat agar lebih detail lagi menjabarkan rencana ini kepada publik, khususnya untuk kalangan petani yang nantinya bakal menjadi kelompok yang terdampak program.
"Sampai sekarang (sosialisasi) belum ada. Harusnya segala pembangunan, meski baru wacana, hanya wacana saja, tetap harus diundang. Ibaratnya minta approval dulu lah ke kelompok petani, ke aliansi, ke serikat. Jadi ada keputusan kolektif," tandasnya.